Sungguh membanggakan, hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia selama kurun waktu 2001-2004, bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan yang signifikan (Laporan BI : 2005).
Peningkatan itu terutama terlihat dari segi volume usaha, ekspansi pembiayaan, aset dan pangsa pasar (market share). Survei tersebut menunjukkan bahwa bank syariah memiliki prospek yang baik dan telah diterima eksistensinya di tengah masyarakat. Di samping itu, yang tidak kalah menggembirakan adanya antusiasme perbankan konvensional untuk memasuki lembaga keuangan syariah. Fenomena ini, pada gilirannya akan mendorong industri keuangan syariah menjadi aspek penting dalam kehidupan nasional bahkan internasional.
Hanya yang perlu dipertanyakan adalah, apakah perbankan syariah telah menjadi bank alternatif, yang mampu melayani masyarakat secara profesional? Pertanyaan lain, apakah perbankan syariah telah dimanfaatkan sepenuhnya oleh lapisan masyarakat, kuhususnya umat Islam? Jawaban dari kedua pertanyaan itu nampaknya belum. Mengapa? Karena di satu sisi, eksistensi perbankan syariah di Indonesia belum sepenuhnya mapan (established). Hal ini mengingat masih relatif muda usianya ketimbang bank konvensional. Di sisi lain, masih seabregnya tantangan yang mesti dihadapi perbankan syariah di Indonesia.
Nampaknya peluang perbankan syariah ke depan akan semakin meningkat, ketika perbankan syariah mampu menghadapi dan memecahkan berbagai tantangan baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Sejarah dan Perkembangan Bank Syariah
Dalam historisnya di Indonesia, perbankan syariah lahir dari rahim MUI yang secara formal ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. BMI sebagai bank syariah pertama boleh dikatakan sebagai anak emas dari hasil kerja keras Tim Perbankan, yang dibentuk MUI. Selanjutnya, bank syariah semakin lama mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat hingga sekarang.
Adiwarman A. Karim (2001), seorang pejuang perbankan syariah berujar, “Perbankan syariah mulai menggeliat, persis ketika perbankan nasional sedang dilanda badai,” Tentu, kita masih ingat dengan mega krisis moneter cukup dahsyat pada 1997. Saat itu, banyak bank konvensional yang collaps, akan tetapi perbankan syariah mampu bertahan dan tetap eksis dari terpaan krisis. Rupanya dalam peristiwa itu ada semacam blessing in disquise. Bahkan pasca reformasi, perbankan syariah mengalami perkembangan yang membanggakan. Terutama semenjak diberlakukannya UU No 10 Tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dijalankan perbankan syariah, serta memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah.
UU No. 10 Tahun 1998 yang lahir di tengah ‘krismon’ itu, disambut gegap gempita oleh masyarakat perbankan, terutama yang peduli dan berada dalam pengelolaan perbankan syariah. Sejumlah bank konvensional membuka unit syariah. Diantaranya Bank Syariah Mandiri, yang membuka layanan syariah dengan sifat stand-alone (berdiri sendiri), BNI ’46 syariah, BPR syariah, BPD Jabar, BII syariah, Bank Danamon syariah dan IFI syariah. Bahkan tidak ketinggalan, sebuah bank milik asing ikut pula membuka unit syariah, yakni HSBC syariah.
Dibukanya unit syariah pada bank konvensional, baik pelat merah (milik pemerintah) maupun pelat kuning (milik swasta), ikut menumbuhsuburkan perbankan syariah, sekaligus memudahkan dan membantu sosialisasi kepada masyarakat. Sampai akhir 2004, tercatat ada 3 bank umum syariah, 15 unit usaha syariah, 355 KC/KCP dan 89 BPRS. Total aset bank syariah pada akhir November 2003 sebesar Rp 7,8 triliun naik menjadi Rp 14 triliun pada akhir 2004. Jumlah DPK (dana pihak ketiga) mencapai Rp 10.6 triliun atau meningkat 104,6 %, sedangkan dana yang berhasil disalurkan sebesar 10,9 triliun atau meningkat sebesar 97 % (Laporan BI, 2004). Diperkirakan total aset bank syariah secara nasional pada akhir 2005 mencapai Rp 20 sampai Rp 25 triliun. Kuantitas yang terus bertambah dan adanya kenaikan total aset yang signifikan tersebut, menjadi indikator pesatnya laju perkembangan bank syariah.
Peluang Perbankan Syariah
Perbankan syariah, sesungguhnya memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah (2005) menegaskan, ‘prospek perbankan syariah di masa depan, diperkirakan akan semakin cerah.’ Menarik untuk dicatat, Bank Indonesia telah merevisi proyeksi pertumbuhan aset dan jaringan kantor bank syariah. Pada tahun 2011 diperkirakan aset bank syariah mencapai Rp 171 triliun dengan share bank syariah sekitar 9,10 persen dari total bank di Indonesia (BI, 2005) dengan jumlah kantor cabang diperkirakan mencapai 817 buah. Untuk tahun 2005, menurut Ketua DSN, KH. Ma’ruf Amin (2005) akan ada tiga bank asing dan 14 BPD yang membuka layanan syariah.
Peluang yang besar dan terbuka lebar bagi perbankan syariah di Indonesia, merupakan sesuatu yang wajar. Setidaknya ada sejumlah argumentasi untuk menguatkan pendapat ini. Pertama, mayoritas penduduk Islam. Kuantitas ini, merupakan pangsa pasar yang begitu potensial. Ketika umat Islam mau memanfaatkan maka bank syariah akan berkembang lebih pesat dan dahsyat. Akan tetapi, bukan berarti menafikan pelanggan non-muslim, bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi insan perbankan syariah untuk meraihnya. Beberapa perbankan syariah luar negeri, sudah banyak memiliki customer non-muslim. Kedua, fatwa bunga bank. Fatwa ini, dapat menjadi legitimasi bagi perbankan syariah dalam mensosialisasikan kiprahnya. Umat perlu disadarkan bahwa ada alternatif pilihan, bahkan solusi untuk menghindari bunga, berganti sistem bagi hasil (profit sharing) yang lebih berkeadilan. Walaupun tidak lantas terjebak dengan sentimen emosional keagamaan tapi tetap mengedepankan rasional profesional dengan tampilnya bank syariah yang sehat dan terpercaya. Ketiga, menggeliatnya kesadaran beragama. Hal ini ditandai dengan maraknya acara keagamaan seperti pengajian dan umroh para eksekutif dan selebritis, diskusi aktual keislaman di kampus atau masjid, termasuk kuliah subuh di radio dan televisi.
Bahkan ada majelis atau instansi mengadakan acara keagamaan secara rutin. Tentunya, semua ini memberi andil cukup besar dalam menggugah kesadaran beragama, termasuk untuk menerapkan perekonomian Islam. Keempat, menjalarnya penerapan ekonomi Islam. Saat ini, hadir asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, MLM syariah (ahad net), koperasi syariah, pasar modal dan obligasi syariah termasuk bisnis hotel syariah. Pada gilirannya, memberi peluang begitu lebar bagi bank syariah untuk melakukan net working, sehingga akan lebih berkembang dan bisa saling menguntungkan. Kelima, berkembangnya lembaga keislaman. Kehadiran partai Islam pasca reformasi, setidaknya berpengaruh terhadap iklim kehidupan nasional. Terutama ketika politisi muslim tampil sebagai pembuat kebijakan (law maker). Diharapkan kebijakannya sesuai syariah dan mendukung penuh pada kemajuan bank syariah. Berdirinya sekolah tinggi ekonomi Islam atau sejumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam, serta maraknya sekolah Islam unggulan merupakan saham berharga untuk mencetak kader-kader ekonom dan bankir Islam.
Tantangan Masa Depan
i samping memanfaatkan peluang, perbankan syariah juga dituntut menghadapi berbagai tantangan, yang semakin kompleks. Seperti yang telah dipaparkan, usia perbankan syariah di Indonesia masih relatif muda, laksana ‘sosok’ remaja yang masih mencari ‘jati diri’. Tantangan yang dihadapinya pun tidaklah ringan dan mudah. Kalamuddinsjah (2005), Regional Manager BMI Jateng/DIY, mengibaratkan membangun perbankan syariah seperti membangun jaringan transportasi kereta api yang harus dimulai dari membuat rel. Mengapa? Oleh karena menciptakan satu landasan ekonomi syariah, harus dimulai dari nol. Berbeda dengan bank nasional yang telah mapan serta dukungan penuh dari pemerintah.
Pendapat Kalamuddinsjah ini, memberi gambaran, betapa tantangan yang dihadapi bank syariah di Indonesia masih cukup berat. Secara umum, tantangan berat yang harus dipecahkan itu adalah bagaimana menjadikan industri keuangan syariah yang mapan (established), yakni perbankan syariah yang profesional, sehat dan terpercaya. Apabila diklasifikasikan, berbagai tantangan tersebut ada yang berasal dari dalam (internal), dan ada yang datang dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam adalah sejumlah tantangan yang harus dipecahkan, berasal dari ‘ diri ‘ bank syariah sendiri.
Sejumlah tantangan itu meliputi: Satu, pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan perbankan syariah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank konvensional dengan unit syariahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis. Dual banking system yang selama ini dijalankan perlu disempunakan, terutama karena belum adanya Deputi Gubernur khusus syariah. Bahkan ke depan perlu dipikirkan adanya BCS (Bank Sentral Syariah).
Dua, sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh ‘sosok’ bank syariah. Meminjam istilah Adiwarman A. Karim, setidaknya ada 3 kategori nasabah, yakni loyalis syariah, loyalis konvensional dan pasar mengambang (floating market). Potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun. Persoalan pada pasar mengambang adalah ada yang sudah tahu tapi belum paham, sudah paham tapi belum percaya, sudah percaya tapi belum sepenuhnya berpartisipasi. Proses sosialisasi perlu dilakukan secara continue. Promosi yang gencar dan menarik dengan memanfaatkan berbagai media, baik media bellow the line (event-event, seminar, brochure, spanduk, umbul-umbul) maupun media above the line (televisi, radio, koran, majalah). Promosi via televisi nampaknya masih jarang. Padahal promosi lewat media ini cukup efektif untuk pembentukan branch image dan branch awareness. Yang perlu digarisbawahi bahwa, sosialisasi dan promosi itu harus mampu membentuk image dan dapat mengubah pilihan pasar mengambang pada bank syariah
Tiga, perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas. Akan tetapi jumlah kantor syariah yang beroperasi hingga ke pelosok masih kurang. Rizqullah, praktisi BNI Syariah (Republika, 2005) mengakui, ‘ salah satu kendala pertumbuhan bank syariah adalah masih terbatasnya jaringan.’ Tantangan ini barangkali dapat dipecahkan dengan cara mensupport pemerintah mendirikan bank syariah, optimalisasi outlet pada setiap bank konvensional dan bank asing atau menggolkan konversi bank BUMN besar menjadi bank syariah.
Empat, peningkatan SDM. Harus diakui secara jujur, bahwa sumber daya insani perbankan syariah yang profesional, amanah, dan berkualitas belum sepenuhnya tersedia. Insan perbankan yang berkualifikasi syariah handal masih jarang. Nampaknya, sebagian besar SDM terutama level menengah ke atas masih hasil didikan ekonomi konvensional. Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya menguasai ekonomi/perbankan modern, tetapi sekaligus paham fiqih (syariah) serta mampu berinovasi dalam menyelesaikan ‘pernak-penik’ persoalan bank syariah yang sistemnya masih baru. Training, workshop, seminar, studi banding, serta berbagai pembinaan lain untuk meningkatkan kompetensi SDM harus mendapat perhatian serius.
Lima, peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank syariah di Indonesia. Ungkapan Ma’ruf Amin (2005) perlu direnungkan, ‘ jika bank-bank syariah berandai melakukan suatu sindikasi dalam mendanai proyek besar, masih belum mampu.’ Pernyataan seperti ini sungguh ironis, tetapi itulah kenyataannya. Para stake holder (pemegang saham) bank syariah perlu menambah modalnya, sehingga risk taking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya kemampuan pembiayaan bank-bank syariah, amat tergantung pada kemampuan modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank syariah.
Enam, peningkatan pelayanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan pengambilan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau, merupakan keniscayaan. Ketujuh, pembinaan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan, bank syariah harus terus dibina dan sekaligus diawasi. Dibina untuk lebih berkembang, diawasi agar tidak timbul penyimpangan. Pengawasan pada bank syariah di daerah, termasuk pada bank konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan dengan ketat dan hati-hati. Jangan muncul kesan formalitas identitas syariah, praktek dan sistemnya tidak berbeda dengan konvensional.
Sejumlah tantangan di atas, merupakan kategori tantangan dari dalam (internal). Usaha perbankan merupakan industri yang menjual kepercayaan. Berbagai tantangan internal itu perlu dipecahkan, sehingga masyarakat lebih percaya dan mau berpartisipasi aktif. Selanjutnya ada juga tantangan yang datang dari luar dan tidak kalah penting untuk diselesaikan.
Kesatu, belum memadainya kerangka hukum. Tantangan ini bersifat mendesak, karena akan menghambat upaya pengembangan bank syariah. RUU perbankan syariah yang tengah digodok perlu diperjuangkan untuk segera diundangkan. Aturan tentang pasar modal syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah serta aturan lain sangat penting. Intinya, semua aturan yang akan memberikan ruang gerak lebih luas bagi pelaku bisnis syariah.
Kedua, dukungan pemerintah belum penuh. Pemerintah mendukung keberadaan perbankan syariah, tetapi dalam tataran kebijakan (political will) dan keseriusan (good will) belum optimal. Para menteri, gubernur, bupati belum memberi tempat yang layak. Di BI (bank Indonesia) belum ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan Syariah Nasional dan bankir syariah melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkret dan nyata pada perbankan syariah dapat terealisasikan.
Ketiga, sinisme masyarakat. Tidak terelakkan, masih ada masyarakat yang memandang dengan senyum sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah bank syariah itu eklusif (untuk umat Islam), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan susah prosesnya. Bank syariah perlu mempromosikan dirinya secara simpatik dan memikat. Berusaha mengubah mindset mereka dan yang penting mampu menampilkan sosok bank syariah yang profesional, berkualitas dan menguntungkan.
Tantangan dari luar bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi. Berbagai tantangan diharapkan akan memotivasi setiap insan perbankan syariah untuk terus belajar dan berkarya.
Penutup
Di usianya yang masih relatif muda, kehadiran perbankan syariah di Indonesia sungguh memberikan segudang harapan bagi umat, akan terciptanya kehidupan perekonomian nasional yang berkah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
Peluang perbankan syariah ke depan amat besar. Mengingat, banyaknya komponen yang mendukung terciptanya perbankan syariah yang sehat dan terpercaya. Berbagai komponen pendukung tersebut perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Peluang yang ada, sekecil apapun akan ikut berkontribusi dalam pengembangan perbankan syariah.Hanya saja, peluang untuk menjadi perbankan syariah yang mapan, tidak lepas dari berbagai tantangan. Baik yang berasal dari dalam, maupun datang dari luar. Kesemua tantangan perlu dihadapi, dipecahkan untuk selanjutnya dicari solusinya yang tepat demi kemajuan perbankan syariah. Akan tiba saatnya, di mana bank syariah menjadi ‘ primadona ‘, yang berperan penting dalam pembangunan nasional bahkan internasional. Wallahu a’ lam. ***
Daftar Pustaka
A. Karim, Adiwarman (2001) : Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, GIP, Jakarta Chapra, Umar (2001) : Masa Depan Ilmu Ekonomi (Sebuah tinjauan Islam), GIP, Jakarta Hafidhuddin, Didin (2003) : Islam Aplikatif, GIP, Jakarta Lubis, Suhrawardi K.(2000) : Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta Syafi’i, M. Antonio (2001) : Bank Syariah dari Teori ke Praktek, GIP, Jakarta Sumber Lain : Majalah Modal, edisi Pebruari, Maret 2003 Harian Umum Kompas, edisi Pebruari, Maret, April 2005 Harian Umum Suara Merdeka, edisi Maret, April 2005 Harian Umum Republika, edisi Juni 2004, Pebruari, Maret, April 2005 Harian Umum Pikiran Rakyat, edisi Maret, April 2005 On line internet.
Rating: 5
0komentar :
Posting Komentar