القرآن الكريم
DEFINISI AL-QUR’AN
Ta’riful Qur’an
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti “bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni dalam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Kalamullah
Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4:
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…”
Tentang kesucian dan keunikan Al-Qur’an ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid[1] seorang jawara sastra pada masa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.” Demikian pernyataan Abul Walid.
Mu’jizat
Mu’jizat artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mu’jizat itu dianugerahkan kepada para nabi dan rasul dengan maksud menguatkan kenabian dan kerasulannya, serta menjadi bukti bahwa agama yang dibawa oleh mereka benar-benar dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khatthab masuk Islam setelah mendengar Al-Qur’an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat.[2]
Karena demikian tingginya bahasa Al-Qur’an, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengannya, apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah diluruskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala sendiri kemudian menegaskan bahwa tidak akan pernah ada seorang pun yang mampu menjawab tantangan ini (QS. 2: 24). Bahkan seandainya bekerjasama jin dan manusia untuk membuatnya, tetap tidak akan sanggup (QS. 17: 88).
Selain itu, kemukjizatan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Perhatikanlah, sampai saat ini Al-Qur’an masih menjadi sumber rujukan utama bagi para pengkaji ilmu sosial, sains, bahasa, atau ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Miftah Faridl, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apalagi ciptaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang ummi (7: 158) yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571-632 M)[3]
Berbagai kabar ghaib tentang masa lampau (tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba’, Tsamud, ‘Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa, dll) dan masa depan pun menjadi bukti lain kemu’jizatan Al-Qur’an. Sementara itu jika kita perhatikan cakupan materinya, nampaklah bahwa Al-Qur’an itu mencakup seluruh aspek kehidupan: masalah aqidah, ibadah, hukum kemasyarakatan, etika, moral dan politik, terdapat di dalamnya.
Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Al-Qur’an itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sedangkan kalam Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa tidak bisa dinamakan dan disebut sebagai Al-Qur’an. Demikian pula hadits qudsi[4] tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan berbagai cara[5]:
Berupa impian yang baik waktu beliau tidur.Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan perkataan (firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala) kepada beliau.
Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada beliau.
Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan beliau.
Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung dari Hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala sendiri.
Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari Hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala sendiri.
Al-Manquulu bi-ttawaatir
Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga pembukuannya seperti sekarang:
Pada masa Nabi Al-Qur’an dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Kemudian setahun sekali Jibril melakukan repetisi (ulangan), yakni dengan menyuruh Nabi memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diterimanya. Menurut riwayat, di tahun beliau wafat, ulangan diadakan oleh Jibril dua kali.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Maka ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ia kemudian mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya, Al-Qur’an ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman dengan merujuk kepada lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah, isteri Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah—dinamai “Mushaf Al-Imam”—dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan[6], dan satu tertib susunan surat-surat.
Al-Muta’abbadu bitilawatih
Membaca Al-Qur’an itu bernilai ibadah. Banyak sekali hadits yang mengungkapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah:
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah akan memberi pahala kepadamu karena bacaan itu untuk setiap hurufnya 10 kebajikan. Saya tidak mengatakan kepada kalian bahwa ‘Alif-Laam-Mim’ itu satu huruf, tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘Laam’ satu huruf dan ‘Miim’ satu huruf” (HR. Hakim).
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi cahaya bagimu di bumi dan menjadi simpanan (deposito amal) di langit.” (HR. Ibnu Hibban).
“Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan barangsiapa membaca Al-Qur’an, sementara ada kesulitan (dalam membacanya), maka baginya dua pahala. “ (HR. Bukhari & Muslim)
***
[1] Abul Walid adalah seorang sastrawan Arab yang jarang bandingannya. Suatu saat ia diperintahkan para pemimpin Quraisy untuk menghadap Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan maksud membujuk beliau supaya meninggalkan dakwah Islam dengan janji bahwa beliau akan diberi pangkat, harta dan sebagainya. Abul Walid menyampaikan bujukannya ini dan membacakan syair-syair. Tapi kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membacakan surat Fushilat dari awal sampai akhir. Abul Walid pun tertarik dan terpesona mendengarkan ayat itu sehingga ia termenung memikirkan keindahan gaya bahasanya. Ia kemudian datang kepada para pemimpin Quraisy dan mengatakan kata-kata di atas.
[2] Pokok-pokok Ajaran Islam, DR. Miftah Faridl, Pustaka Bandung hal. 9.
[3] Di antara ayat-ayat tersebut umpamanya QS. 39: 6, 6: 125, 23: 12-14, 51: 49, 41: 11: 41, 21: 30-33, 51:7, 49 dan lain-lain
[4] Menurut para ulama hadits qudsi ialah: “Sesuatu yang diberitakan Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan perantaraan Jibril, atau dengan jalan ilham atau mimpi waktu tidur, lalu oleh beliau disampaikan kepada ummat dengan lafadz dan ucapan beliau sendiri, berdasarkan taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Apabila Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meriwayatkan hadits qudsi, biasanya mengucapkan “Qaala-Llahu ta’aala” (Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman…), tapi firman itu tidak dimasukkan dalam Al-Qur’an. Begitu juga uslub-nya (susunan kata) tidak sama dengan uslub ayat-ayat Al-Qur’an.
[5] Lihat Kelengkapan Tarikh Muhammad (Gema Insani Press) hal. 142-143.
[6] Bacaan (qiraat) yang dikenal oleh masyarakat muslim saat ini bermacam-macam, tetapi bacaan yang berbeda-beda itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf Utsman.
__________________
Al-Qur'an adalah Kalamullah, Bukan Makhluk !!
Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala) yang diturunkan dengan huruf serta maknanya, dan bukan makhluk, berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Al-Qur’an adalah mukjizat yang membuktikan kebenaran apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan akan terpeliharan hingga hari kiamat. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berbicara/berfirman sesuai dengan kehendak-Nya, kapan Dia kehendaki, dan bagaimana Dia kehendaki. Ucapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah hakiki dengan huruf dan suara, hanya saja kita tidak tahu bagaimana hakikatnya serta tidak perlu menelusurinya.
Abu ’Utsman Ash-Shabuni berkata :
ويشهد أصحاب الحديث ويعتقدون أن القرآن كلام الله وكتابه، ووحيه وتنزيله غير مخلوق، ومن قال بخلقه واعتقده فهو كافر عندهم، والقرآن الذي هو كلام الله ووحيه هو الذي ينزل به جبريل على الرسول صلى الله عليه وسلم قرآنا عربيا لقوم يعلمون، بشيرا ونذيرا، كما قال. عز من قائل: (وإنه لتنزيل رب العالمين. نزل به الروح الأمين. على قلبك لتكون من المنذرين، بلسان عربي مبين) وهو الذي بلغه الرسول صلى الله عليه وسلم أمته، كما أخبر به في قوله تعالى: (يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك) فكان الذي بلغهم بأمر الله تعالى كلامه عز وجل، وفيه قال صلى الله عليه وسلم: أتمنعوني أن أبلغ كلام ربي " وهو الذي تحفظه الصدور، وتتلوه الألسنة يكتب في المصاحف، كيف ما تصرف بقراءة قارئ ? لفظ لافظ، وحفظ حافظ، وحيث تلي، وفي أي موضع قرئ وكتب في مصاحف أهل الإسلام، وألواح صبيانهم وغيرها كله كلام الله جل جلاله، غير مخلوق ق فهو كافر بالله العظيم.
”Ashhaabul-Hadits bersaksi dan meyakini bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalamullah, kitab-Nya, wahyu-Nya, yang diturunkan-Nya, dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk serta meyakininya, maka ia adalah kafir menurut mereka (Ashhaabul-Hadits). Al-Qur’an adalah Kalamullah, wahyu-Nya, yan diturunkan melalui perantaraan Jibril kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang dapat dipahami oleh kaumnya. Ia merupakan kabar gembira, sekaligus sebagai peringatan sebagaimana firman-Nya : ” Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” (QS. Asy-Syu’araa’ : 192-195). Ia adalah kitab yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam kepada umatnya sebagaimana dikhabarkan melalui firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu” (QS. Al-Maaidah : 67). Jadi, semua itu merupakan Kalamullah. Jadi, apa yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tersebut adalah Kalamullah. Oleh karena itu beliau Nabi Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Apakah kalian menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku ?” [1] . Al-Qur’an adalah yang dihafal di dalam dada, yang dibaca dengan lisan, dan yang dituliskan dalam mushhaf. Bagaimanapun qari’ membacanya, lafadh yang diucapkan dan yang dihafal oleh penghafal, mana saja dibacakan, di tempat mana saja dibaca atau tertulis dalam mushhaf umat Islam atau di papan tulis anak-anak mereka; semuanya itu adalah Kalamulah. Bukan makhluk. (Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk), maka ia kafir kepada Allah Yang Maha Agung” [selesai].
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitabnya As-Sunnah (no. 25) dari Al-Imam Sufyan bin ’Uyainah bahwa ia berkata :
القرآن كلام الله عزوجل من قال مخلوق فهو كافر ومن شك في كفره فهو كافر
”Al-Qur’an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia juga kafir” [selesai].
Diriwayatkan dari ’Utsman Al-Wasithi, ia berkata :
سمعت ابن عيينه يقول ما يقول هذا الدويه يعني بشر المريس قالوا يا أبا محمد بن أبي عمران القرآن مخلوق قال فقد كذب قال الله عز وجل ألا له الخلق والأمر فالخلق خلق الله والأمر القرآن وكذلك قال أحمد بن حنبل ونعيم بن حماد ومحمد بن يحيى الذهلي وعبد السلام بن عاصم الرازي وأحمد بن سنان الواسطي وأبو حاتم الرازي
”Aku mendengar Ibnu ’Uyainah berkata : ”Apa yang dikatakan oleh hewan kecil ini ?” – yaitu Bisyr Al-Marisi - . Mereka berkata : ”Wahai Abu Muhammad bin Abi ’Imran, (ia mengatakan) bahwa Al-Qur’an itu makhluk”. Ibnu ’Uyainah berkata : ”Dia dusta, karena Allah ’azza wa jalla berfirman : ”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS. Al-A’raf : 54)”.
Al-Khalqu adalah makhluk Allah dan amru adalah Al-Qur’an”.
(Setelah membawakan riwayat tersebut, Al-Imam Al-Laalika’i berkata : ) ”Begitulah yang dikatakan Ahmad bin Hanbal, Nu’aim bin Hammad, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhliy, ’Abdus-Salam bin ’Ashim Ar-Razi, Ahmad bin Sinan Al-Wasithi, dan Abu Hatim Ar-Razi” [Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Imam Al-Laalika’i hal. 219; Maktabah Al-Misykah].
Telah berkata Ar-Rabi’ :
سمعت الشافعي رحمه الله تعالى يقول : القرآن كلام الله عز وجل غير مخلوق ، ومن قال مخلوق فهو كافر
Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata : ”Al-Qur’an itu adalah Kalamullah ’Subhanahu Wa Ta'ala. Bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya ia adalah makhluk, maka ia telah kafir” [Asy-Syarii’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri hal. 59; Maktabah Al-Misykah].
Syaikhul-Islam Ibnu Tamiyyah berkata :
وأما المنصوص الصريح عن الإمام أحمد، وأعيان أصحابه، وسائر أئمة السنة والحديث، فلا يقولون: مخلوقة ولا غير مخلوقة، ولا يقولون: التلاوة هي المتلو مطلقًا، ولا غير المتلو مطلقًا كما لا يقولون: الاسم هو المسمى، ولا غير المسمى.
وذلك أن [التلاوة والقراءة] كاللفظ قد يراد به مصدر تلى يتلو تلاوة، وقرأ يقرأ قراءة، ولفظ يلفظ لفظًا، ومسمى المصدر هو فعل العبد وحركاته، وهذا المراد باسم التلاوة والقراءة. واللفظ مخلوق، وليس ذلك هو القول المسموع الذي هو المتلو. وقد يراد باللفظ الملفوظ، وبالتلاوة المتلو، وبالقراءة المقروء، وهو القول المسموع، وذلك هو المتلو، ومعلوم أن القرآن المتلو الذي يتلوه العبد، ويلفظ به غير مخلوق، وقد يراد بذلك مجموع الأمرين، فلا يجوز إطلاق الخلق على الجميع ولا نفي الخلق عن الجميع.
”Nash-nash yang jelas dari Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnyanya, para imam sunnah, serta para ahli hadits menyatakan bahwa mereka tidaklah mengatakan bahwa Al-Qur’an yang aku lafadhkan adalah makhluk atau bukan makhluk. Mereka juga tidak menyatakan bahwa bacaan itu identik dengan yang dibaca secara mutlak. Hal itu sebagaimana mereka tidak mengatakan bahwa nama itu identik dengan yang diberi nama atau tidak identik dengan yang diberi nama.
Hal tersebut dikarenakan tilawah dan qira’ah seperti lafadh, terkadang yang dimaksud adalah mashdar-nya :
تَلَى – يَتْلُوْ - تِلاوَةً، وَقَرَأَ - يَقْرَأُ - قِرَاءَةً، وَلَفَظَ – يَلْفَظُ - لَفْظًا
Dan dinamakan mashdar itu adalah karena ia merupakan perbuatan hamba dan gerakannya. Jadi itulah yang dimaksud dengan kata tilawah, qira’ah, dan lafadh itu adalah makhluk. Bukanlah hal itu merupakan ucapan yang terdengar, yaitu sesuatu yang dibaca. Terkadang maksud lafadh adalah sesuatu yang dilafadhkan, tilawah yang ditilawahkan, qira’ah yang dibacakan; yaitu ucapan yang didengar atau dibaca. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Al-Qur’an yang dibaca, yaitu yang dibaca dan yang dilafadhkan oleh seorang hamba. Al-Qur’an yang dibaca ini bukan makhluk. Dan terkadang maksudnya adalah kedua hal yang telah disebutkan. Tidak boleh memutlakkan untuk mengatakan semuanya adalah makhluk atau menafikkannya bukan makhluk” [Majmu ’ Fataawaa oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah 12/107; Maktabah Al-Misykah].
Terakhir kami tegaskan kembali bahwa : Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk. Tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, akrena sesungguhnya Kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya, dan tidak ada suatu bagian pun dari-Nya yang merupakan makhluk. Hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru dengannya, orang yang mengatakan lafadhku dengan Al-Qur’an adalah makhluk dan selainnya, serta orang yang tawaquf (abstain) tentangnya yang mengatakan : ”Aku tidak tahu Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, akan tetapi ia adalah Kalamullah”. Karena orang seperti ini adalah ahli bid’ah, serupa halnya dengan orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, dan bukan makhluk [2]
[1] HR. Abu Dawud no. 4734, At-Tirmidzi no. 2925 dan Ibnu Majah no. 197, Ad-Daarimi no. 3354, Ahmad no. 15229, dan Al-Hakim no. 4220 dengan lafadh :
فإن قريشاً قد منعوني أن أبلغ كلام ربي
“Sesungguhnya kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku” .
[2] Diambil dari perkataan Imam Ahmad dalam Ushulus-Sunnah.
_______________________
۩ AL-QUR’AN ۩
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya sebagaimana tetapnya kalung pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu“
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah, maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi kerugian dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu supaya mentaati Allah tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan ketentuan Kami, kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya
( Al Israa’ : 9 – 16 )
001. Al-Fatiha – ( The Opening ) – Pembukaan
002. Al-Baqara – ( The Cow ) – Sapi Betina003. Al-‘Imran – ( The Family Of ‘Imran, The House Of ‘Imran ) – Keluarga Imran
004. An-Nisa’ – ( Women ) – Wanita
005. Al-Ma’ida – ( The Table, The Table Spread ) – Hidangan
006. Al-An‘am – ( Cattle, Livestock ) – Binatang Ternak
007. Al-A‘raf – ( The Heights ) – Tempat Tertinggi
008. Al-Anfal – ( Spoils Of War, Booty ) – Harta Rampasan Perang
009. At-Tawba – ( Repentance, Dispensation ) – Pengampunan
010. Yunus – ( Jonah ) – Nabi Yunus
011. Hud – ( Hud ) – Nabi Hud
012. Yusuf – ( Joseph ) – Nabi Yusuf
013. Ar-Ra‘d – ( The Thunder ) – Guruh
014. Ibrahim – ( Abraham ) – Nabi Ibrahim
015. Al-Hijr – ( Stoneland, Rock City ) – Negri Kaum Samud
016. An-Nahl – ( The Bee ) – Lebah
017. Al-Isra’ – ( The Night Journey, Children Of Israel ) – Perjalanan Malam Hari
018. Al-Kahf – ( The Cave ) – Gua
019. Maryam – ( Mary ) – Maryam
020. Ta Ha – ( Ta-ha ) – Ta Ha
021. Al-Anbiya’ – ( The Prophets ) – Nabi Nabi
022. Al-Hajj – ( The Pilgrimage ) – Haji
023. Al-Muminun - ( The Believers ) – Orang-Orang Mukmin
024. An-Nur – ( Light ) – Cahaya
025. Al-Furqan – ( The Criterion, The Standard ) – Pembeda
026. Ash-Shu‘ara – ( The Poets ) – Para Penyair
027. An-Naml – ( The Ant, The Ants ) – Semut
028. Al-Qasas – ( The Story, Stories ) – Cerita cerita
029. Al-‘Ankabut – ( The Spider ) – Laba laba
030. Ar-Rum – ( The Romans, The Byzantines ) – Bangsa Romawi
031. Luqman – ( Luqman ) – Luqman
032. A s-Sajda – ( The Prostration, Worship, Adoration ) – Sujud
033. Al-Ahzab – ( The Coalition, The Combined Forces ) – Golongan yang Bersekutu
034. Saba’ – ( Sheba ) – Kaum Saba’
035. Fatir – ( The Angels, Orignator ) – Pencipta
036. Ya Sin – ( Ya-sin ) – Ya Sin
037. As-Saffat – ( Those Who Set The Ranks, Drawn Up In Ranks ) – Yang ber Saf Saf
038. Sâd – ( (the Letter) Sad ( S ) ) – Sad
039. Az-Zumar – ( The Troops, Throngs ) – Rombongan-Rombongan
040. Ghafir – ( The Believer, The Forgiver (god) ) – Orang yang BerIman
041. Fussilat – ( Signs ) – Yang Dijelaskan
042. Ash-Shura – ( Councel, Consultation ) – Musyawarah
043. Az-Zukhruf – ( Ornaments Of Gold, Luxury ) – Perhiasan
044. Ad-Dukhan – ( Smoke ) – Kabut
045. Al-Jathiyya – ( Crouching ) – Yang berlutut
046. Al-Ahqaf – ( The Wind-curved Sandhills, The Dunes ) – Bukit-Bukit Pasir
047. Muhammad – ( Muhammad ) – Nabi Muhamad SAW
048. Al-Fath – ( Victory, Conquest ) – Kemenangan
049. Al-Hujurat – ( The Private Apartments, The Inner Apartments ) – Kamar-Kamar
050. Qaf – ( (the Letter), (Q) ) – Qaf
051. Adh-Dhariyat – ( The Winnowing Winds ) – Angin yang Menerbangkan
052. At-Tur – ( The Mount ) – Bukit
053. An-Najm – ( The Star ) – Bintang
054. Al-Qamar – ( The Moon ) – Bulan
055. Ar-Rahman – ( The Beneficent, The Mercy Giving ) – Yang Maha Pemurah
056. Al-Waqi‘a – ( The Event, The Inevitable ) – Hari Qiyamat
057. Al-Hadid – ( Iron ) – Besi
058. Al-Mujadala – ( She That Dispute, The Pleading Woman ) – Wanita Yg MengGugat
059. Al-Hashr – ( Exile, Banishment ) – Pengusiran
060. Al-Mumtahana – ( She That Is To Be Examined, Examining Her ) – Wanita yang di Uji
061. As-Saff – ( The Ranks, Battle Array ) – Barisan
062. Al-Jumu‘a – ( The Congregation, Friday ) – Hari Jum’at
063. Al-Munafiqun – ( The Hypocrites ) – Orang-Orang Munafiq
064. At-Taghabun – ( Mutual Disillusion, Haggling ) – Hari ditampakkan segala kesalahan
065. At-Talaq – ( Divorce ) – Perceraian
066. At-Tahrim – ( Banning, Prohibition ) – Mengharamkan
067. Al-Mulk – ( The Sovereignty, Control ) – Kerajaan
068. Al-Qalam – ( The Pen, (the Letter) N ) – Kalam
069. Al-Haqqa – ( The Reality ) – Hari Kiamat
070. Al-Ma‘arij – ( The Ascending Stairways, Staircases Upward ) – Tempat-tempat Naik
071. Nuh – ( Noah ) – Nabi Nuh
072. Al-Jinn – ( The Jinn, Sprites ) – Jin
073. Al-Muzzammil – ( The Enshrouded One, Bundled Up ) – Orang yang Berselimut
074. Al-Muddaththir – ( The Cloaked One, The Man Wearing A Cloak ) – Orang yang Berkemul
075. Al-Qiyama – ( The Rising Of The Dead, Resurrection ) – Hari Kiamat
076. Al-Insan – ( Time, Man, (every) Man, This (day-and-) age ) – Manusia
077. Al-Mursalat – ( The Emissaries, Winds Sent Forth ) – Malaikat Malaikat yang Diutus
078. An-Naba’ – ( The Tidings, The Announcement ) – Berita besar
079. An-Nazi‘at – ( Those Who Drag Forth, Soul-snatchers ) – Malaikat yang Mencabut
080. ‘Abasa – ( He Frowned! ) – Ia bermuka Masam
081. At-Takwir – ( The Overthrowing, Extinguished! Wrapping Things Up ) – Menggulung
082. Al-Infitar – ( The Cleaving, Bursting Apart ) – Terbelah
083. Al-Mutaffifin – ( Defrauding, The Cheats, Cheating ) – Kecurangan
084. Al-Inshiqaq – ( The Sundering, Splitting Open ) – Terbelah
085. Al-Buruj – ( The Mansions Of The Stars, Constellations ) – Gugusan Bintang
086. At-Tariq – ( The Morning Star, The Night comer ) – Yang Datang DiMalam Hari
087. Al-A‘la – ( The Most High, Glory To Your Lord In The Highest ) – Yang Paling Tinggi
088. Al-Ghashiyya – ( The Overwhelming, The Pall ) – Hari Pembalasan
089. Al-Fajr – ( The Dawn, Daybreak ) – Fajar
090. Al-Balad – ( The City, This Countryside ) – Negeri
091. Ash-Shams – ( The Sun ) – Matahari
092. Al-Layl – ( The Night ) – Malam
093. Ad-Duha – ( The Morning Hours, Morning Bright! ) – Waktu Dhuha
094. Al-Inshirah – ( Solace, Consolation, Relief ) – Kelapangan
095. At-Tin – ( The Fig, The Figtree ) – Buah Tin
096. Al-‘Alaq – ( The Clot, Read! ) – Segumpal Darah
097. Al-Qadr – ( Power, Fate ) – Kemuliaan
098. Al-Bayyina – ( The Clear Proof, Evidence ) – Bukti yang Nyata
099. Az-Zilzal – ( The Earthquake ) – Keguncangan
100. Al-‘Adiyat – ( The Courser, The Chargers ) – Kuda Perang yang berlari Kencang
101. Al-Qari‘a – ( The Calamity, The Stunning Blow, The Disaster ) – Hari Kiamat
102. At-Takathur – ( Rivalry In World Increase, Competition ) – Bermegah-megah
103. Al-‘Asr – ( The Declining Day, Eventide, The Epoch ) – Masa
104. Al-Humaza – ( The Traducer, The Gossipmonger ) – Pengumpat
105. Al-Fil – ( The Elephant ) – Gajah
106. Quraysh – ( Winter, Quraysh ) – Suku Quraysh
107. Al-Ma‘un – ( Small Kindnesses, Almsgiving, Have You Seen? ) – Barang yang berguna
108. Al-Kawthar – ( Abundance, Plenty ) – Nikmat yang Banyak
109. Al-Kafirun – ( The Disbelievers, Atheists ) – Orang-Orang Kafir
110. An-Nasr – ( Succour, Divine Support ) – Pertolongan
111. Al-Masad – ( Palm Fibre, The Flame ) – Gejolak Api
112. Al-Ikhlas – ( The Unity, Sincerity, Oneness Of God ) – Memurnikan keEsaan Allah
113. Al-Falaq – ( The Daybreak, Dawn ) – Waktu Subuh
114. An-Nas – ( Mankind ) – Manusia
Al-Qur’an turun bukan dalam bentuk teks atau tulisan. Ia turun dalam bentuk wahyu baik langsung atau melalui perantaraan Jibril as. Adapun penulisan Al-Qur’an dalam bentuk teks sudah dimulai sejak zaman Nabi saw, tapi sangat rare dan jarang didapatkan, karena pada zaman itu mereka kebanyakannya mengandalkan kepada hafalan bukan kepada tulisan. Kemudian sedikit demi sedikit mulai didapatkan perobahan Al-Qur’an dari hafalan ke tulisan dan perobahan Al-Qur’an menjadi teks terus dijumpai dan dilakukan sampai pada zaman khalifah Utsman bin Affan ra.
Semua orang mengetahui bahwa Al-Qur’an pada zaman Utsman bin Affan ra ditulis tanpa titik dan harakat seperti yang kita lihat sekarang ini. Namun, hal ini tidak mempengaruhi bacaan Al-Qur’an karena kaum muslimin pada saat itu adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Keadaan ini terus berlangsung hingga Islam mulai berkembang terus meluas ke wilayah di sekitar jazirah Arab, Asia, Afrika sampai ke Eropa.
Bersamaan dengan itu, orang-orang Islam non-arab (disebut ‘ajami) merasa kesulitan untuk membaca Al-Qur’an yang pada waktu itu ditulis tanpa titik dan harakah.
Kejadian ini diawali dari cerita Abu al-Aswad Ad-duwali (1) yang hidup di zaman Muawiyah bin Abi Sufyan mendengar seseorang membaca satu ayat Al-Qur’an dalam surat At-Taubah ayat 3, yang berbunyi:
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
(Innallaaha bariiun min al-musyrikiina wa rasuuluhu)
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin”.
Pada lafadz “Rasuluhu” (di baca dengan rafa’ atau dommah). Tapi, karena tidak ada harakah orang ‘ajam tersebut membacanya dengan:
“Innallaaha bariiun min al-musyrikiina wa rasuulihi”. Pada lafadz “Rasuluhu” dibaca rasuulihi (dibaca dengan kasrah)
Mendengar bacaan tersebut Abu Al-Aswad terkejut, lalu mengucap: ”Allahu Akbar, ini musibah besar, bagaimana mungkin Allah berlepas diri dari RasulNya!..
Setelah itu ia langsung berfikir dan berfikir untuk mencari solusi guna menjaga keutuhan Al-Qur’an,
Oleh karena itu, Abul Al-Aswad Ad-duwali mejadi sosok sangat penting bagi muslimin yang pertama berkiprah guna menjaga keutuhan al-Qur’an. Dialah yang menemukan kaidah tata bahasa Arab (Nahwu), salah satunya kaidah pemberian harakat. Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan lagi oleh muridnya Kholil bin Ahmad al-Bashri (2) pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk harakat seperti yang ada sekarang.
Adapun titik yang terdapat pada huruf ba’, ta’, tsa’, ya, dan lain-lainnya, itu terjadi pada masa Abdul Malik bin Marwan. Dahulu huruf huruf tersebut tulisan dan bentuknya sama sehingga sulit bagi orang ’ajam (non-Arab) untuk membedakan mana yang ”ba”, mana yang ”ta”, mana yang ”tsh”, mana yang ”ya” mana yang ”nun” karena tidak bertitik. Lalu Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Nashr bin Ashim (3) dan Yahya bin Ya’mur (4) menyelesaikan tugas tersebut. Untuk mencari jalan keluamya, mereka berdua lalu menyusun huruf huruf yang sama karakter dan bentuknya untuk membedakan bacaanya dengan memberikan titik titik dibawah atau diatas dengan mendahulukan urutannya
Diantaranya ada beberapa huruf yang karakter dan bentuknya sama sebelum diberi titik titik yaitu:
ba (ب) , ta (ت ) , tsa( ث ) , nun (نـ) , ya( يـ )
jim (ج ) , ha ( ح ) ,kha( خ )
dal( د ) , dzal ( ذ )
ra ( ر ) , za ( ز )
sin ( س ) , syin ( ش )
shat ( ص ) , dhat ( ض )
‘ain ( ع ) , ghain ( غ )
fa ( ف ) , qaf ( ق )
tha ( ط ) , dza ( ظ )
Ada juga huruf huruf yang bentuk dan karakternya berbeda yaitu selain huruf huruf tersebut diatas. Karena berbeda bentuk dan karekternya maka tidak diberi titik kecuali ”ha” marbuthah, yaitu:
alif, lam, mim, kaf, ha, dan waw أ ل م ك هـ و
Dalam penulisan titik huruf tersebut, Nashr dan Yahya menggunakan tinta yang warnanya sama dengan tinta yang digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan tanda harakat yang digunakan oleh Abu al-Aswad Ad-duwali
Maka, sejak saat itulah mushaf Alqur’an mulai ada titik dan harakat pada huruf-hurufnya.
Wallahu’alam
—————-
(1) Abul Aswad Ad-Duwali. Namanya: Dzalim bin Amr bin Sufyan Ad-duwali al-kinani (dari bani Kinanah) al-adnani (dari Adnan datuk Rasulallah saw), lebih dikenal dengan julukannya Abu Al-Aswad Ad-Duwali (atau Ad-Dili). Dia dilahirkan pada masa Rasulallah saw dinobatkan menjadi Nabi, tapi beliau tidak pernah melihat Nabi saw, beliau beriman dengan iman yang penuh. Makanya dujuluki salah seorang tabi’in. Beliau selalu berdampingan dengan Sayyidina Ali bin Abi thalib ra saat menjadi khalifah di Basrah, ikut bersama beliau dalam peperangan Shiffin dan Al-jamal, juga dalam memberantas golongan Khawarij. Beliau dijuluki raja ilmu nahu dan bahasa arab, ia merupakan penggagas ilmu nahwu, pakar tata bahasa Arab, sastawan arab unggul, syair tekenal, ahli hadist dan fiqih. Disamping itu beliau orang yang memiliki keutamaan dan Hakim (Qadhi) di Basyrah. Ia dianggap sebagai orang yang pertama kali mendefinisikan tata bahasa Arab. Dan yang pertama kali meletakkan harakat pada huruf hijaiyah. wafat tahun 69H (670-an M) dalam usia 85 tahun.
(2) Kholil bin Ahmad al-Bashri adalah Abu abdurahman Al-khalil bin Ahmad Al-farahidi (718 – 791). Dia peletak asas bahasa dalam bukunya ‘Al-Ain’, pakar bahasa Arab, orang yang menemukan aturan tata bahasa dan harakat bahasa arab yang pernah digali oleh Abu Al-Aswad Ad-Duwali. Beliau sastrawan arab, pintar dalam ilmu nahwu. Guru guru beliau diantaranya Sibawai, al-ashma’i, al-kisai, Harun bin musa al-nahwi, dll. Beliau hidupnya miskin, terlantar, sabar, berambut kusut, berwajah pucat, berbaju compang camping.
(3) Nashr bin Ashim adalah Nasr bin Ashim Al-laisti (89H) dari Bani Kinanah, sastawan arab, nahu dan ilmu fiqih, fasih dan alim dalam bahasa arab, beliau salah satu anak murid Abu Al-Aswad Ad-Duwali. Dikatakan beliau adalah orang yang pertama menciptakan titik dalam huruf huruf bahasa arab atas perintah Hajjaj bin Yusuf.
(4) Yahya bin Ya’mur, beliau adalah Abu Sulaiman Yahya bin Yamur Al-Bashri dari kabilah Kinanah termasuk ulama besar, ahli bahasa, dan nahu, fasih dalam bahasa arab, berguru kepada Abu Al-Aswad Ad-Duwali. Diriwayatkan beliau adalah orang yang pertama menciptakan titik titik dalam huruf Al-Qur’an. Wafat tahun 129H
Referece :
Lihat: Al-Bidayah Wa An-Nihayah
______________________________
Iqra’
Ada peristiwa besar dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang patut direnungkan dan dipikirkan kembali oleh kita sebagai pengikutnya. Yaitu peristiwa ketika beliau menyendiri, jauh dari kesibukan kehidupan kota Mekkah.
Tiba-tiab sebuah suara terdengar: “ Iqra’ “ artinya bacalah.
Tubuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun menggigil berkeringat.
Lalu beliau menjawab: “saya tidak bisa membaca”.
Kemudian suara itu terulang lagi: “ Iqra’ ”.
Mendengar perintah itu tubuh beliau makin menggigil.
Beliau menjawab lagi: “saya tidak bisa membaca”.
Kemudian suara itu terulang lagi: “ Iqra’ ”.
Seiring itu pula Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab dengan ucapan yang sama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah atas nama Tuhan mu yang menjadikan”
“Bacalah atas nama Tuhan mu yang menjadikan” adalah wahyu pertama, surat al-Alaq, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam turun kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melalui perantara malaikat Jibril Alaihissalam di puncak jabal Nur, di gua Hira’-Makkah. Mulai saat itu beliau menerima wahyu dari Allah berturut turut 23 tahun hingga usia beliau 63 tahun. Wahyu itu lalu dikumpulkan oleh para shahabat sehingga menjadi sebuah Mushaf, dan dikenal sebagai al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan bagi manusia yang memiliki akal dan pikiran. Ini merupakan suatu amanat yang besar dari Allah agar manusia “membaca“. Dahulu, amanat (akal dan fikiran) ini telah ditawarkan pada langit dan bumi, bulan, bintang dan matahari, gunung, lautan, api, batu, angin, tsunami dan semua benda jamad yang tidak berakal. Semua enggan untuk memikul amanat tersebut karena mereka khawatir akan menghianatinya. Maka dipikulah amanat itu oleh manusia. “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh“ al Ahzab, 73.
Masa lalu, saat pertama kali saya belajar al-Qur’an bermula di kampung, di Cianjur. Umur saya mungkin kurang lebih tujuh tahun. Saya dibawa ke seorang kiai yang mengajarkan kami membaca al-Qur’an. Saya masih ingat dan tidak bisa melupakan kiai itu. Ia orang tua soleh, ahli dalam bacaan kitab suci, mampu berdoa dan oleh orang kampung ditaruh di garis depan di bidang rohani. Sekarang kenangan ini menimbulkan apa yang barang kali patut disebut dalam bahasa Arab “ihsas muzdawij“ atau perasaan bercampur syukur dan sedih sekaligus pada saat yang sama.
Rasa syukur muncul karena sejak saat itu saya diajari adab sopan santun yang berurusan dengan al-Qur’an, bahwa buat sekadar menyentuh kitab suci saja, diri kita harus pula suci. “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan “ al-Waqiah,79 . Maka sebelumnya saya pun berwudu’ dan untuk membacanya, mula mula saya membaca doa ta’awudh atau doa mohon perlindungan Allah supaya kita dijauhkan dari gangguan syetan yang jahat.
Adapun yang membuat saya merasa sedih karena kitab suci dihormati cuma dari segi rohaniah saja. Padahal kitab suci, yang dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala disebut “ berisi petunjuk yang tak diragukan” bukan hanya untuk dijadikan benda pusaka akan tetapi kitab suci itu untuk dibaca, dipelajari, ditelaah makna-maknanya dan arti-artinya secara mendalam, kemudian diamalkan sebagai kitab yang di dalamnya tak diragukan, mengajak kita supaya bertakwa pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Imam besar Ghazali dalam kitabnya Ihya menyebutkan bahwa membaca kitab suci dengan bacaan khusyu’ dan mendalam bisa menghapus segala duka. Di dalam kitab suci, ada amalan-amalan gaib dan kekuatan wahyu yang mampu menghapus gumpalan gelap yang menutup hati. Bacaan mendalam membuat hati yang buta menjadi terang.
Maka dengan membaca al-Qur’an dan menelaah makna-maknanya, seharusnya kita bisa membuat suatu yang bisa merobah diri kita dari alam kegelapan ke alam terang menderang, membawa kita ke alam yang lepas dari kejahilan yang selalu memojokan umat Islam sekarang ini ke sudut yang gelap, ke sudut yang bisa membuat mereka dilecehkan dan dipecahbelahkan. Kitab suci harus disikapi seperti anjuran Amirul Mu’minin Umar bin Khattab ra, yang mana kita harus bisa sebesar mungkin mengambil manfaat duniawi dari al-Qur’an tadi, bukan hanya sebagai usaha masuk surga.
Jadi apa faedahnya membaca al-Quran sejak berabad-abad bila kita tetap dikalahkan, dilecehkan, dipojokan dan dipecahbelahkan. Memang ada yang salah pada diri-diri kita bahwa kita membaca kitab suci hanya untuk persiapan mati, bukan untuk persiapan hidup. Sedang sejarah Islam telah membuktikan bahwa, dengan al Qur’an, mereka bisa merobah dunia.
______________________________
Iqra’
Ada peristiwa besar dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang patut direnungkan dan dipikirkan kembali oleh kita sebagai pengikutnya. Yaitu peristiwa ketika beliau menyendiri, jauh dari kesibukan kehidupan kota Mekkah.
Tiba-tiab sebuah suara terdengar: “ Iqra’ “ artinya bacalah.
Tubuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun menggigil berkeringat.
Lalu beliau menjawab: “saya tidak bisa membaca”.
Kemudian suara itu terulang lagi: “ Iqra’ ”.
Mendengar perintah itu tubuh beliau makin menggigil.
Beliau menjawab lagi: “saya tidak bisa membaca”.
Kemudian suara itu terulang lagi: “ Iqra’ ”.
Seiring itu pula Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab dengan ucapan yang sama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah atas nama Tuhan mu yang menjadikan”
“Bacalah atas nama Tuhan mu yang menjadikan” adalah wahyu pertama, surat al-Alaq, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam turun kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melalui perantara malaikat Jibril Alaihissalam di puncak jabal Nur, di gua Hira’-Makkah. Mulai saat itu beliau menerima wahyu dari Allah berturut turut 23 tahun hingga usia beliau 63 tahun. Wahyu itu lalu dikumpulkan oleh para shahabat sehingga menjadi sebuah Mushaf, dan dikenal sebagai al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan bagi manusia yang memiliki akal dan pikiran. Ini merupakan suatu amanat yang besar dari Allah agar manusia “membaca“. Dahulu, amanat (akal dan fikiran) ini telah ditawarkan pada langit dan bumi, bulan, bintang dan matahari, gunung, lautan, api, batu, angin, tsunami dan semua benda jamad yang tidak berakal. Semua enggan untuk memikul amanat tersebut karena mereka khawatir akan menghianatinya. Maka dipikulah amanat itu oleh manusia. “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh“ al Ahzab, 73.
Masa lalu, saat pertama kali saya belajar al-Qur’an bermula di kampung, di Cianjur. Umur saya mungkin kurang lebih tujuh tahun. Saya dibawa ke seorang kiai yang mengajarkan kami membaca al-Qur’an. Saya masih ingat dan tidak bisa melupakan kiai itu. Ia orang tua soleh, ahli dalam bacaan kitab suci, mampu berdoa dan oleh orang kampung ditaruh di garis depan di bidang rohani. Sekarang kenangan ini menimbulkan apa yang barang kali patut disebut dalam bahasa Arab “ihsas muzdawij“ atau perasaan bercampur syukur dan sedih sekaligus pada saat yang sama.
Rasa syukur muncul karena sejak saat itu saya diajari adab sopan santun yang berurusan dengan al-Qur’an, bahwa buat sekadar menyentuh kitab suci saja, diri kita harus pula suci. “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan “ al-Waqiah,79 . Maka sebelumnya saya pun berwudu’ dan untuk membacanya, mula mula saya membaca doa ta’awudh atau doa mohon perlindungan Allah supaya kita dijauhkan dari gangguan syetan yang jahat.
Adapun yang membuat saya merasa sedih karena kitab suci dihormati cuma dari segi rohaniah saja. Padahal kitab suci, yang dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala disebut “ berisi petunjuk yang tak diragukan” bukan hanya untuk dijadikan benda pusaka akan tetapi kitab suci itu untuk dibaca, dipelajari, ditelaah makna-maknanya dan arti-artinya secara mendalam, kemudian diamalkan sebagai kitab yang di dalamnya tak diragukan, mengajak kita supaya bertakwa pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Imam besar Ghazali dalam kitabnya Ihya menyebutkan bahwa membaca kitab suci dengan bacaan khusyu’ dan mendalam bisa menghapus segala duka. Di dalam kitab suci, ada amalan-amalan gaib dan kekuatan wahyu yang mampu menghapus gumpalan gelap yang menutup hati. Bacaan mendalam membuat hati yang buta menjadi terang.
Maka dengan membaca al-Qur’an dan menelaah makna-maknanya, seharusnya kita bisa membuat suatu yang bisa merobah diri kita dari alam kegelapan ke alam terang menderang, membawa kita ke alam yang lepas dari kejahilan yang selalu memojokan umat Islam sekarang ini ke sudut yang gelap, ke sudut yang bisa membuat mereka dilecehkan dan dipecahbelahkan. Kitab suci harus disikapi seperti anjuran Amirul Mu’minin Umar bin Khattab ra, yang mana kita harus bisa sebesar mungkin mengambil manfaat duniawi dari al-Qur’an tadi, bukan hanya sebagai usaha masuk surga.
Jadi apa faedahnya membaca al-Quran sejak berabad-abad bila kita tetap dikalahkan, dilecehkan, dipojokan dan dipecahbelahkan. Memang ada yang salah pada diri-diri kita bahwa kita membaca kitab suci hanya untuk persiapan mati, bukan untuk persiapan hidup. Sedang sejarah Islam telah membuktikan bahwa, dengan al Qur’an, mereka bisa merobah dunia.