bu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin”. (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara walimahan (resepsi pernikahan), maka hendaknya dia datang.” (HR. Al-Bukhari no. 4775 dan Muslim no. 1429)
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
“Jika kalian diundang ke acara jamuan makan, maka hendaknya dia mendatanginya. (Setelah dia datang) jika dia mau maka silakan makan, dan jika dia mau maka dia boleh meninggalkannya (tidak makan).” (HR. Muslim no. 1430)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
بِئْسَ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Seburuk-buruk jamuan adalah jamuan dalam pesta pernikahan, dimana yang diundang ke pesta tersebut hanyalah orang-orang kaya saja dengan mengabaikan orang-orang miskin. Dan siapa yang tidak mendatangi undangan (pernikahan) tersebut, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 1432)
Penjelasan ringkas:
Menjawab undangan terlebih undangan resepsi pernikahan merupakan hak seorang muslim atas saudaranya yang lain, karenanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menganjurkan untuk menerima setiap undangan karena hal itu bisa memperkuat hubungan kemasyarakatan dan kekeluargaan di antara kaum muslimin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum asal menjawab undangan adalah sunnah kecuali undangan walimahan (resepsi pernikahan) karena mereka berpendapat wajibnya untuk menghadiri walimahan. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma di atas dan dipertegas dengan ucapan Abu Hurairah radhiallahu anhu di atas, “Dan siapa yang tidak mendatangi undangan (pernikahan) tersebut, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Hanya saja hukum wajib ini dibatasi dengan beberapa persyaratan, yaitu::
Penjelasan ringkas:
Menjawab undangan terlebih undangan resepsi pernikahan merupakan hak seorang muslim atas saudaranya yang lain, karenanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menganjurkan untuk menerima setiap undangan karena hal itu bisa memperkuat hubungan kemasyarakatan dan kekeluargaan di antara kaum muslimin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum asal menjawab undangan adalah sunnah kecuali undangan walimahan (resepsi pernikahan) karena mereka berpendapat wajibnya untuk menghadiri walimahan. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma di atas dan dipertegas dengan ucapan Abu Hurairah radhiallahu anhu di atas, “Dan siapa yang tidak mendatangi undangan (pernikahan) tersebut, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Hanya saja hukum wajib ini dibatasi dengan beberapa persyaratan, yaitu::
1. Yang mengundang bukanlah orang yang dihajr (diboikot karena masalah agama) atau ditahdzir. Tentunya jika hajr dan tahdzirnya mempunyai alasan yang kuat, dan ini membutuhkan pembahasan tersendiri.
2. Tidak ada amalan kemungkaran dalam walimahan tersebut, seperti terjadi ikhtilat atau adanya lantunan musik, kecuali jika dia sanggup untuk menghilangkan kemungkaran tersebut.
Hanya saja dia tetap bisa mengucapkan selamat kepada kedua mempelai setelah semua kemungkaran tersebut berakhir.
3. Yang mengundang adalah seorang muslim. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
4. Makanan yang dihidangkan bukanlah makanan yang haram zatnya, semisal khamar, bangkai, babi, dan semacamnya. Adapun jika makanan itu haram karena sebabnya (maksudnya makanannya halal tapi didapatkan dari cara yang haram) misalnya uang yang dibelikan makanan adalah hasil riba atau pencurian maka tidak mengapa memakannya karena dosa ditanggung oleh yang melakukannya secara langsung, akan tetapi yang lebih utama jika dia tidak memakannya. Ini adalah pendapat yang paling kuat di kalangan ulama.
5. Tidak bertabrakan dengan kewajiban lainnya. Jika memenuhi undangan walimahan menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban maka tidak boleh menghadiri walimahan tersebut.
6. Tidak menimbulkan kesusahan atas diri sendiri. Misalnya jika walimahannya jauh atau dia tidak mempunyai biaya atau kendaraan untuk menghadirinya maka tidak wajib.
7. Undangannya bukan undangan umum akan tetapi undangan khusus yang ditentukan siapa yang diundang. Jika undangannya umum -misalnya diumumkan ketika kajian umum atau di khalayak ramai- maka undangan tersebut tidak bersifat fardhu ain, akan tetapi jika sudah ada yang mendatanginya maka sudah gugur kewajiban dari yang lainnya, wallahu a’lam.
(Al-Qaul Al-Mufid: 3/111-113 karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dengan perubahan dan penambahan)
Faidah:
Semisal dengan syarat yang ketujuh di atas dalam masalah kartu undangan walimah. Jika dalam undangan dituliskan nama tertentu maka wajib atas orang tersebut untuk menghadirinya jika syarat-syarat lainnya terpenuhi. Tapi jika nama yang tertulis adalah nama umum maka hukumnya seperti yang kami sebutkan di atas, wallahu a’lam.
Bagaimana jika yang diundang dalam keadaan berpuasa?
Puasa bukanlah penghalang untuk menghadiri acara walimahan dan undangan makan lainnya. Hanya saja jika puasanya adalah puasa wajib maka dia tetap disyariatkan untuk menghadiri undangan tersebut akan tetapi tentunya dia tidak boleh makan. Tapi jika puasanya adalah puasa sunnah maka dia boleh tetap berpuasa dan boleh juga dia membatalkan puasanya. Karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian diundang maka wajib baginya untuk menghadiri undangan. Apabila dia dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia mendokannya (yang mengundang) dan apabila dia dalam keadaan berbuka maka hendaknya dia mencicipi hidangannya.” (HR. Muslim no. 1431)
Dan juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Ummu Hani` radhiallahu anha:
الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya, jika ingin maka boleh membatalkan atau menyempurnakan puasanya.” (HR. Ahmad no. 25658 dan At-Tirmizi no. 664)
Akan jika dia merasa yang mengundang akan tersinggung atau akan menimbulkan suasana yang kurang nyaman di antara para undangan maka lebih utama jika dia membatalkan puasa sunnahnya. Ini berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu beliau mengatakan: “Saya membuat makanan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika makanan tersebut dihidangkan, seseorang berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudaramu telah mengundangmu dan telah bersusah payah karenamu, berbukalah dan berpuasalah di lain hari sebagai penggantinya jika engkau mau.” (HR. Al-Baihaqi: 4/279 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 1952)
0komentar :
Posting Komentar