1. PENGERTIAN KITABAH
2. HUKUM KITABAH
Jika seorang hamba berkata kepada tuannya, “Merdekakanlah saya secara kitabah”, maka tuannya wajib memenuhi permintaannya, bila ia memandang budaknya mampu berusaha mencari dana. Ini dilandasi pada firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
"Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu berbuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka." (QS An-Nur : 33)
Dari Musa bin Anas, bahwa Sirin pernah minta kemerdekaan secara kitabah kepada Anas –ia (Sirin) mempunyai harta yang banyak-, lalu dia (Anas) menolak. Kemudian dia pergi menemui Umar ra (menginformasikan hal tersebut kepadanya), lalu Umar berkata, “Merdekakanlah ia secara kitabah (tertulis)!” Lalu dia menolak, lantas dipukul oleh Umar dengan kantong air susu sambil membaca ayat (yang artinya), “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” Maka kemudian dia membuat perjanjian merdeka secara kitabah (tertulis) dengannya. (Shahihul Isnad : Irwa-ul Ghalil No: 1760 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907, Fathul Bari V: 184 secara Mu’allaq).
3. KAPAN HAMBA MUKATAB BISA MERDEKA
Kapan saja hamba mukatab melunasi tanggungannya kepada tuannya, atau dimerdekakannya olehnya, maka ia jadi merdeka. Dan ia tetap menjadi hamba sahaya hingga melunasi sisa tanggungannya.
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Hamba mukatab itu (tetap) sebagai hamba sahaya selama ada sisa dari mukatabnya (yang belum dilunasinya) (walaupun) satu Dirham.” (Hasan: Shahih Abu Daud No: 3323, Irwa-ul Ghalil No: 1674 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907).
4. MENJUAL HAMBA MUKATAB
Boleh menjual hamba sahaya mukatab, manakala ia ridha.
Dari Amrah binti Abdurrahman, ia bertutur: Bahwa Barirah datang minta tolong kepada Aisyah Ummul Mukminin ra, lalu Aisyah berujar kepadanya, “Jika keluargamu ingin aku menyerahkan hargamu kepada mereka secara kontan, dan aku memerdekakanmu, (maka) akan aku lakukan.” Kemudian Barirah menceritakan hal tersebut kepada keluarganya, lalu mereka berkomentar, “Jangan kecuali hak ketuanan menjadi milik kita.” Malik berkata bahwa Yahya menegaskan: Amrah berkata bahwa Aisyah menceritkan hal tersebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (kepada Aisyah), “Belilah ia (Barirah) dan kemudian merdekakanlah ia: karena sesungguhnya hak ketuanan itu menjadi milik penuh bagi yang memerdekakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 194 No: 2564 dan Muslim II: 1141 No: 1504).
5. HAK KETUANAN
Wala’ (hak ketuanan), ialah orang yang memerdekakan budak berhak menjadi ahli waris dari budak yang telah dimerdekakan itu. Namun harus diperhatikan, bahwa pemilik hak ketuanan itu tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali ketika tidak ada ashabah senasab, sebagaimana yang sudah dijelaskan.
Tidak boleh menjual wala’ dan tidak pula menghibahkannya berdasarkan hadits Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melarang menjual wala’ dan (melarang pula) mengibahkannya.” (Muttafaqun ’alaih: Mukhtashar Muslim No: 898 dan Fathul Bari V: 167 No: 2535).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
Kitabah ialah memerdekan seorang hamba dengan catatan si hamba harus menyerahkan uang sekian jumlahnya dalam sekian masa kepada tuannya.
2. HUKUM KITABAH
Jika seorang hamba berkata kepada tuannya, “Merdekakanlah saya secara kitabah”, maka tuannya wajib memenuhi permintaannya, bila ia memandang budaknya mampu berusaha mencari dana. Ini dilandasi pada firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
"Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu berbuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka." (QS An-Nur : 33)
Dari Musa bin Anas, bahwa Sirin pernah minta kemerdekaan secara kitabah kepada Anas –ia (Sirin) mempunyai harta yang banyak-, lalu dia (Anas) menolak. Kemudian dia pergi menemui Umar ra (menginformasikan hal tersebut kepadanya), lalu Umar berkata, “Merdekakanlah ia secara kitabah (tertulis)!” Lalu dia menolak, lantas dipukul oleh Umar dengan kantong air susu sambil membaca ayat (yang artinya), “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” Maka kemudian dia membuat perjanjian merdeka secara kitabah (tertulis) dengannya. (Shahihul Isnad : Irwa-ul Ghalil No: 1760 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907, Fathul Bari V: 184 secara Mu’allaq).
3. KAPAN HAMBA MUKATAB BISA MERDEKA
Kapan saja hamba mukatab melunasi tanggungannya kepada tuannya, atau dimerdekakannya olehnya, maka ia jadi merdeka. Dan ia tetap menjadi hamba sahaya hingga melunasi sisa tanggungannya.
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Hamba mukatab itu (tetap) sebagai hamba sahaya selama ada sisa dari mukatabnya (yang belum dilunasinya) (walaupun) satu Dirham.” (Hasan: Shahih Abu Daud No: 3323, Irwa-ul Ghalil No: 1674 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907).
4. MENJUAL HAMBA MUKATAB
Boleh menjual hamba sahaya mukatab, manakala ia ridha.
Dari Amrah binti Abdurrahman, ia bertutur: Bahwa Barirah datang minta tolong kepada Aisyah Ummul Mukminin ra, lalu Aisyah berujar kepadanya, “Jika keluargamu ingin aku menyerahkan hargamu kepada mereka secara kontan, dan aku memerdekakanmu, (maka) akan aku lakukan.” Kemudian Barirah menceritakan hal tersebut kepada keluarganya, lalu mereka berkomentar, “Jangan kecuali hak ketuanan menjadi milik kita.” Malik berkata bahwa Yahya menegaskan: Amrah berkata bahwa Aisyah menceritkan hal tersebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (kepada Aisyah), “Belilah ia (Barirah) dan kemudian merdekakanlah ia: karena sesungguhnya hak ketuanan itu menjadi milik penuh bagi yang memerdekakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 194 No: 2564 dan Muslim II: 1141 No: 1504).
5. HAK KETUANAN
Wala’ (hak ketuanan), ialah orang yang memerdekakan budak berhak menjadi ahli waris dari budak yang telah dimerdekakan itu. Namun harus diperhatikan, bahwa pemilik hak ketuanan itu tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali ketika tidak ada ashabah senasab, sebagaimana yang sudah dijelaskan.
Tidak boleh menjual wala’ dan tidak pula menghibahkannya berdasarkan hadits Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melarang menjual wala’ dan (melarang pula) mengibahkannya.” (Muttafaqun ’alaih: Mukhtashar Muslim No: 898 dan Fathul Bari V: 167 No: 2535).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
0komentar :
Posting Komentar