Dosa
Manusia bukanlah sosok makhluk yang sempurna. Ia senantiasa terjerumus dalam lupa dan dosa. Tak pernah sedikitpun ia kan terluput dari segala macam kesalahan. Salah, menjadi suatu hal yang dibenci, namun merupakan suatu keniscayaan yang akan manusia alami. Akan tetapi, kesalahan dalam suatu kemaksiatan memberi citra yang kelam bagi diri seseorang.
Kemaksiatan tidak hanya menghapuskan akumulasi pahala yang telah kita kumpulkan, namun terkadang pula menjadikan seseorang putus asa untuk meraih tujuan hidupnya. Acapkali seseorang yang terbelenggu dalam maksiat menjadi hilang dalam menggapai asa, seolah runtuh sudah pondasi kebajikan yang selama ini ia bangun dengan jerih payah. Kemaksiatan memang selalu menghantui manusia dengan derita. Derita berupa siksa dan azab yang siap turun entah dari langit atau bumi datangnya. Padahal, pada saat kita terjerat dalam kemaksiatan, kita tentu belum siap untuk menghadapi kebinasaan.
Kemaksiatan memang merupakan derita yang tiada tara. Diri kita dibuatnya menjadi pecundang dan pengecut dalam menghadapi kematian. Tak hanya itu, kemaksiatan juga meninggalkan noktah-noktah hitam dalam hati kita, menjadikan diri kita sebagai sosok yang keras, kaku, dan kasar. Hilanglah dari dalam diri kita sifat kelembutan, kebijaksanaan, dan kearifan. Air mata pun tak sanggup lagi mengalir dari pelupuk mata kala mendengar ayat-ayat Tuhan dikumandangkan. Kepedulian terhadap sesama pun lenyap, bahkan pun mungkin saja senyum tersirat manakala mendengar orang lain tertimpa dalam bencana. Itulah hati yang telah ternaungi oleh awan gelap. Kemaksiatan telah menggerogoti esensi kemuliaan hati, kemudian menjadikannya hina. Hati seolah kehilangan pijakan dalam melakukan suatu amalan. Semakin lemah oleh rayuan iblis yang teramat melenakan. Hati demikian mudah tergoda akan rayuan makhluk laknat yang menawarkan kesenangan sesaat. Ia kehilangan arah ditengah pekatnya kabut. Tak lagi ada kendali yang mampu menakhodai. Kemaksiatan merupakan cerita pilu dari langkah awal memijak jurang neraka.
Kemaksiatan memang tombak yang menikam jiwa. Ia tidak hanya menjadikannya luka, namun mengoyaknya hingga tercabik-cabik. Jiwa ataukah hati itu menjadi serpihan-serpihan yang sulit untuk merangkainya kembali. Maksiat mengeraskan hati, menjadikannya seakan-akan tameng yang tak tertembus cahaya hidayah. Tentu saja, hal itu akan semakin menenggelamkan hati dalam penyimpangan dan kesesatan. Hati kian terkekang dalam racun dan candu, sulit untuk melepaskan diri darinya. Hati semakin tergoda menunaikan satu kemaksiatan, dan kemudian akan menuju kemaksiatan yang lain.
Demikian hinanya suatu kemaksiatan, hingga ilmu pun pergi dan tak sudi hinggap diakal pikiran. Ilmu sungguh merupakan cahaya yang menjadi penerang dalam hidup kita. Maka ia hanya ingin terendap dalam pikiran dan hati yang bersih.
Pintu taubat masih terbuka lebar selama ruh masih bersemayam didalam raga. Tuhan pun tak sungkan menerima taubat hamba-Nya sebelum kiamat datang menghampiri. Iringan amal soleh pun akan menyapu debu-debu dosa yang mengotori jiwa kita. Namun, ternyata sedikit saja dari kita yang berkomitmen untuk melaksanakannya. Betapa banyak anak manusia yang justru bangga, atau mungkin bahagia konsisten dalam menempuh jalan kelam. Tetap mereka tidak mungkin merasakan esensi kebahagiaan dalam suatu kemaksiatan. Tentu saja, kita semua harus bertanya kepada relung hati yang terdalam. Tidak ada satu pun dari diri kita yang tidak ingin menghirup sejuknya udara surga. Kelamnya hati tentu akan tetap merindukan kebahagiaan di akhirat nanti. Kita tetap saja manusia, makhluk lemah yang tiada sanggup menghadapi siksa neraka yang panasnya tujuh puluh kali lipat dari panasnya api di bumi. Mungkin mulut kita biasa berdusta, namun sanubari tidak akan bisa ditipu. Tanyakan padanya, pasti sanubari teramat mendamba ketentraman kehidupan di surga. Maka tiada lain, kerahkan upaya lindungi diri dari segala perbuatan dosa.
Manusia bukanlah sosok makhluk yang sempurna. Ia senantiasa terjerumus dalam lupa dan dosa. Tak pernah sedikitpun ia kan terluput dari segala macam kesalahan. Salah, menjadi suatu hal yang dibenci, namun merupakan suatu keniscayaan yang akan manusia alami. Akan tetapi, kesalahan dalam suatu kemaksiatan memberi citra yang kelam bagi diri seseorang.
Kemaksiatan tidak hanya menghapuskan akumulasi pahala yang telah kita kumpulkan, namun terkadang pula menjadikan seseorang putus asa untuk meraih tujuan hidupnya. Acapkali seseorang yang terbelenggu dalam maksiat menjadi hilang dalam menggapai asa, seolah runtuh sudah pondasi kebajikan yang selama ini ia bangun dengan jerih payah. Kemaksiatan memang selalu menghantui manusia dengan derita. Derita berupa siksa dan azab yang siap turun entah dari langit atau bumi datangnya. Padahal, pada saat kita terjerat dalam kemaksiatan, kita tentu belum siap untuk menghadapi kebinasaan.
Kemaksiatan memang merupakan derita yang tiada tara. Diri kita dibuatnya menjadi pecundang dan pengecut dalam menghadapi kematian. Tak hanya itu, kemaksiatan juga meninggalkan noktah-noktah hitam dalam hati kita, menjadikan diri kita sebagai sosok yang keras, kaku, dan kasar. Hilanglah dari dalam diri kita sifat kelembutan, kebijaksanaan, dan kearifan. Air mata pun tak sanggup lagi mengalir dari pelupuk mata kala mendengar ayat-ayat Tuhan dikumandangkan. Kepedulian terhadap sesama pun lenyap, bahkan pun mungkin saja senyum tersirat manakala mendengar orang lain tertimpa dalam bencana. Itulah hati yang telah ternaungi oleh awan gelap. Kemaksiatan telah menggerogoti esensi kemuliaan hati, kemudian menjadikannya hina. Hati seolah kehilangan pijakan dalam melakukan suatu amalan. Semakin lemah oleh rayuan iblis yang teramat melenakan. Hati demikian mudah tergoda akan rayuan makhluk laknat yang menawarkan kesenangan sesaat. Ia kehilangan arah ditengah pekatnya kabut. Tak lagi ada kendali yang mampu menakhodai. Kemaksiatan merupakan cerita pilu dari langkah awal memijak jurang neraka.
Kemaksiatan memang tombak yang menikam jiwa. Ia tidak hanya menjadikannya luka, namun mengoyaknya hingga tercabik-cabik. Jiwa ataukah hati itu menjadi serpihan-serpihan yang sulit untuk merangkainya kembali. Maksiat mengeraskan hati, menjadikannya seakan-akan tameng yang tak tertembus cahaya hidayah. Tentu saja, hal itu akan semakin menenggelamkan hati dalam penyimpangan dan kesesatan. Hati kian terkekang dalam racun dan candu, sulit untuk melepaskan diri darinya. Hati semakin tergoda menunaikan satu kemaksiatan, dan kemudian akan menuju kemaksiatan yang lain.
Demikian hinanya suatu kemaksiatan, hingga ilmu pun pergi dan tak sudi hinggap diakal pikiran. Ilmu sungguh merupakan cahaya yang menjadi penerang dalam hidup kita. Maka ia hanya ingin terendap dalam pikiran dan hati yang bersih.
Pintu taubat masih terbuka lebar selama ruh masih bersemayam didalam raga. Tuhan pun tak sungkan menerima taubat hamba-Nya sebelum kiamat datang menghampiri. Iringan amal soleh pun akan menyapu debu-debu dosa yang mengotori jiwa kita. Namun, ternyata sedikit saja dari kita yang berkomitmen untuk melaksanakannya. Betapa banyak anak manusia yang justru bangga, atau mungkin bahagia konsisten dalam menempuh jalan kelam. Tetap mereka tidak mungkin merasakan esensi kebahagiaan dalam suatu kemaksiatan. Tentu saja, kita semua harus bertanya kepada relung hati yang terdalam. Tidak ada satu pun dari diri kita yang tidak ingin menghirup sejuknya udara surga. Kelamnya hati tentu akan tetap merindukan kebahagiaan di akhirat nanti. Kita tetap saja manusia, makhluk lemah yang tiada sanggup menghadapi siksa neraka yang panasnya tujuh puluh kali lipat dari panasnya api di bumi. Mungkin mulut kita biasa berdusta, namun sanubari tidak akan bisa ditipu. Tanyakan padanya, pasti sanubari teramat mendamba ketentraman kehidupan di surga. Maka tiada lain, kerahkan upaya lindungi diri dari segala perbuatan dosa.
0komentar :
Posting Komentar