Allah subhanahu wa ta'ala berfirman
وَيۡلٌ۬ لِّلۡمُطَفِّفِينَ (١) ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ (٣
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Kasus yang Allah subhanahu wa ta'ala sebutkan dalam hal takaran dan timbangan ini hanyalah sekedar permisalan. Termasuk di dalamnya seluruh bentuk-bentuk kecurangan sejenisnya. Siapa saja yang menuntut haknya dipenuhi dengan sempurna dan mengurangi hak orang lain, maka ia termasuk dalam ayat tersebut. Misalnya, seorang suami minta supaya haknya dipenuhi oleh istrinya dengan sempurna dan supaya istrinya tidak melalaikan haknya sedikitpun. Namun, giliran si suami memenuhi hak istrinya, ia justru melalaikan dan tidak menyempurnakannya. Berapa banyak istri yang mengeluhkan suami yang seperti ini modelnya, wal 'iyaadzubillah.
Banyak sekali istri-istri yang diminta oleh suami supaya menunaikan hak-hak suami dengan sempurna. Akan tetapi si suami sendiri tidak menunaikan hak istrinya dengan sempurna. Bahkan ia banyak mengurangi hak-hak istrinya berupa nafkah, perlakuan yang baik dan hak-hak lainnya. Sesungguhnya menzhalimi orang lain lebih berat daripada menzhalimi diri sendiri dengan melalaikan hak Allah subhanahu wa ta'ala. Karena dosa kezhaliman terhadap diri sendiri dengan melalaikan hak Allah, bergantung kepada kehendak Allah, selain dosa syirik tentunya. Jika Allah subhanahu wa ta'ala berkehendak mengampuninya, Allah akan mengampuninya, dan jika tidak maka Allah akan mengadzabnya. Akan tetapi kezhaliman terhadap hak orang lain tidak tergantung kepada kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, bahkan ia harus membayarnya. Oleh sebab itu, Rasulullah saw bersabda:
“Menurut anggapan kalian siapakah orang muflis(pailit) itu?”, Mereka menjawab: “Orang yang pailit (bangkrut) menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya barang.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala kebaikan laksana gunung-banyak sekali, namun ia telah menzalimi si A, telah memaki si B, telah memukul si C dan telah merampas harta si D. Lalu si A mengambil pahala kebaikannya, si B mengambil pahala kebaikannya dan si C juga mengambil pahala kebaikannya. Jika habis pahala kebaikannya sebelum ia membayarnya hutang-hutangnya itu, maka akan diambil dosa-dosa orang yang dizhaliminya tadi kemudian dicampakkan kepadanya. Kemudian ia pun dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim)
Nasihatku kepada suami-suami yang menelantarkan hak-hak istri mereka, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah berpesan seperti itu di majelis yang terbesar dalam sejarah Islam, pada masa beliau masih hidup, di hari Arofa pada haji Wada'. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
“Bertakwalah kamu dalam memperlakukan kaum wanita. Karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kehormatan merekan dengan kalimat Allah” (HR. Muslim)
Beliau memerintahkan kita agar bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan kaum wanita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan istri, karena mereka di sisi kalian ibarat tawanan” (Hadits Hasan, dihasankan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahih Ibnu Majah)
Yakni, kedudukannya seperti tawanan, karena nasib tawanan bergantung kepada orang yang menawannya. Jika mau, orang yang menawannya bisa membebaskannya, dan jika tidak maka ia tetap menawannya sebagai tawanan. Demikianlah kedudukan istri di sisi suaminya. Jika mau, si suami bisa menceraikannya, dan jika tidak, si suami tetap menjadikannya sebagai istri. Si istri laksana tawanan di tangan suaminya, hendaklah si suami bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam memperlakukannya.
Demikian pula kita lihat sebagian orang tua menuntut supaya anaknya menunaikan hak-hak mereka dengan sempurna. Akan tetapi orang tua itu sendiri tidak menunaikan hak-hak anaknya. Mereka menuntut anaknya supaya berbakti kepadanya dan menunaikan haknya. Menuntut anaknya supaya berbakti dengan jiwa, raga dan hartanya, dan dalam seluruh bentuk-bentuk kebaiktian. Akan tetapi ia sendiri menyia-nyiakannya anak-anaknya. Tidak melaksanakan kewajibannya selaku orang tua terhadap anak-anaknya. Kita sebut orang seperti ini muthaffif (orang yang curang). Seperti halnya dalam kasus pertama di atas, tentang sikap suami terhadap istrinya, yaitu selalu menuntut istrinya agar haknya dipenuhi dengan sempurna sementara ia sendiri tidak menunaikan hak istri, kita sebut orang seperti ini muthaffif. Begitu juga kasus kedua tentang sikap orang tua yang menuntut anaknya supaya berbakti sepenuhnya sementara ia sendiri mengurangi hak mereka, kita sebut orang ini muthaffif. Kita katakan kepadanya : Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَيۡلٌ۬ لِّلۡمُطَفِّفِينَ (١) ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ (٣
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Kemudian Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
أَلَا يَظُنُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَنَّہُم مَّبۡعُوثُونَ
“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”(Al-Muthaffifin: 4)
Diambil dari Tafsir Juz 'Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
وَيۡلٌ۬ لِّلۡمُطَفِّفِينَ (١) ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ (٣
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Kasus yang Allah subhanahu wa ta'ala sebutkan dalam hal takaran dan timbangan ini hanyalah sekedar permisalan. Termasuk di dalamnya seluruh bentuk-bentuk kecurangan sejenisnya. Siapa saja yang menuntut haknya dipenuhi dengan sempurna dan mengurangi hak orang lain, maka ia termasuk dalam ayat tersebut. Misalnya, seorang suami minta supaya haknya dipenuhi oleh istrinya dengan sempurna dan supaya istrinya tidak melalaikan haknya sedikitpun. Namun, giliran si suami memenuhi hak istrinya, ia justru melalaikan dan tidak menyempurnakannya. Berapa banyak istri yang mengeluhkan suami yang seperti ini modelnya, wal 'iyaadzubillah.
Banyak sekali istri-istri yang diminta oleh suami supaya menunaikan hak-hak suami dengan sempurna. Akan tetapi si suami sendiri tidak menunaikan hak istrinya dengan sempurna. Bahkan ia banyak mengurangi hak-hak istrinya berupa nafkah, perlakuan yang baik dan hak-hak lainnya. Sesungguhnya menzhalimi orang lain lebih berat daripada menzhalimi diri sendiri dengan melalaikan hak Allah subhanahu wa ta'ala. Karena dosa kezhaliman terhadap diri sendiri dengan melalaikan hak Allah, bergantung kepada kehendak Allah, selain dosa syirik tentunya. Jika Allah subhanahu wa ta'ala berkehendak mengampuninya, Allah akan mengampuninya, dan jika tidak maka Allah akan mengadzabnya. Akan tetapi kezhaliman terhadap hak orang lain tidak tergantung kepada kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, bahkan ia harus membayarnya. Oleh sebab itu, Rasulullah saw bersabda:
“Menurut anggapan kalian siapakah orang muflis(pailit) itu?”, Mereka menjawab: “Orang yang pailit (bangkrut) menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya barang.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala kebaikan laksana gunung-banyak sekali, namun ia telah menzalimi si A, telah memaki si B, telah memukul si C dan telah merampas harta si D. Lalu si A mengambil pahala kebaikannya, si B mengambil pahala kebaikannya dan si C juga mengambil pahala kebaikannya. Jika habis pahala kebaikannya sebelum ia membayarnya hutang-hutangnya itu, maka akan diambil dosa-dosa orang yang dizhaliminya tadi kemudian dicampakkan kepadanya. Kemudian ia pun dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim)
Nasihatku kepada suami-suami yang menelantarkan hak-hak istri mereka, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah berpesan seperti itu di majelis yang terbesar dalam sejarah Islam, pada masa beliau masih hidup, di hari Arofa pada haji Wada'. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
“Bertakwalah kamu dalam memperlakukan kaum wanita. Karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kehormatan merekan dengan kalimat Allah” (HR. Muslim)
Beliau memerintahkan kita agar bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan kaum wanita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan istri, karena mereka di sisi kalian ibarat tawanan” (Hadits Hasan, dihasankan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahih Ibnu Majah)
Yakni, kedudukannya seperti tawanan, karena nasib tawanan bergantung kepada orang yang menawannya. Jika mau, orang yang menawannya bisa membebaskannya, dan jika tidak maka ia tetap menawannya sebagai tawanan. Demikianlah kedudukan istri di sisi suaminya. Jika mau, si suami bisa menceraikannya, dan jika tidak, si suami tetap menjadikannya sebagai istri. Si istri laksana tawanan di tangan suaminya, hendaklah si suami bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam memperlakukannya.
Demikian pula kita lihat sebagian orang tua menuntut supaya anaknya menunaikan hak-hak mereka dengan sempurna. Akan tetapi orang tua itu sendiri tidak menunaikan hak-hak anaknya. Mereka menuntut anaknya supaya berbakti kepadanya dan menunaikan haknya. Menuntut anaknya supaya berbakti dengan jiwa, raga dan hartanya, dan dalam seluruh bentuk-bentuk kebaiktian. Akan tetapi ia sendiri menyia-nyiakannya anak-anaknya. Tidak melaksanakan kewajibannya selaku orang tua terhadap anak-anaknya. Kita sebut orang seperti ini muthaffif (orang yang curang). Seperti halnya dalam kasus pertama di atas, tentang sikap suami terhadap istrinya, yaitu selalu menuntut istrinya agar haknya dipenuhi dengan sempurna sementara ia sendiri tidak menunaikan hak istri, kita sebut orang seperti ini muthaffif. Begitu juga kasus kedua tentang sikap orang tua yang menuntut anaknya supaya berbakti sepenuhnya sementara ia sendiri mengurangi hak mereka, kita sebut orang ini muthaffif. Kita katakan kepadanya : Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَيۡلٌ۬ لِّلۡمُطَفِّفِينَ (١) ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ (٣
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Kemudian Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
أَلَا يَظُنُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَنَّہُم مَّبۡعُوثُونَ
“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”(Al-Muthaffifin: 4)
Diambil dari Tafsir Juz 'Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
0komentar :
Posting Komentar