Raja Najasyi (Ashhamah bin Jabar)
Najasyi bisa dikatakan tabi’in, bisa juga dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlangsung melalui surat-menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.
Dialah Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan “An-Najasyi“. Marilah, pada kesempatan yang penuh berkah ini, sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.
Ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah, dan dia tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah saling berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi takhta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik, kita bunuh Sang Raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki 12 putra yang membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya bila meninggal.”
Dengan gencar, setan membisik dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh raja dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.
Kini, Ashamah diasuh oleh pamannya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen, dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan, lebih daripada anak-anaknya sendiri.
Namun, setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”
Akhirnya, mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa aman dan tenteram bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”
Mendengar permintaan tersebut, Raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya!”
Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang Raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.
Tak lama setelah diusirnya Ashamah, tiba-tiba terjadi peristiwa di luar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa Sang Raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian, dia wafat.
Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra Raja, namun ternyata tak ada satu pun dari mereka yang layak menduduki takhta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, terlebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga menunggu kesempatan untuk menyerang. Kemudian, ada salah seorang di antara mereka berkata: “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu. Jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, carilah dia dan pulangkanlah dia!”
Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu, mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebagai raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini, Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezaliman dan kejahatan.
Saat yang bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki takhta di Habasyah, di tempat lain, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu per satu assabiqunal-awwalun memeluk agama ini.
Kaum muslimin meminta suaka ke Raja Najasyi
Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Mekkah sudah terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di negeri Habasyah bertakhta seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya, sampai Allah Subhanahu Wa Ta'ala membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”
Maka, berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.
Akan tetapi, pihak Quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Mekkah.
Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Mekkah.
Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah-hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda, telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka, jika nanti kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka, tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”
Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habsyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya dia telah mengenal Amru bin Ash. Kemudian, tokoh Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.
Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian, Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya, karena kaumnyalah yang lebih tahu akibat yang dimunculkan oleh agama yang baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”
Najasyi menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berkata, “Benar, Tuanku. Kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.”
Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan mereka kepada kalian. Namun kalau mereka dalam kebenaran, aku akan melindungi dan memelihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini karena ulah orang-orang yang keji.”
Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita nanti jika ditanya tentang agama kita?”
Yang lain menjawab, “Kita katakan saja perkara yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan segala yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Rabb-nya.”
Berangkatlah mereka menuju istana. Di sana, mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.
Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada Raja?” Mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.”
Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memerhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”
Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Akan tetapi, Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang. Pada awalnya, kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga, dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujurannya, amanah, dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, dan menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu, dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan petunjuk yang beliau bawa.
Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja –tiada sekutu bagi-Nya–, mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan segala sesuatu yang dihalalkan. Akan tetapi, kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka berlaku zalim dan menghalangi kami menjalankan agama, sehingga kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim di sini.”
Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”
Asma Pemilik Dua Ikat Pinggang
Syahdan, ketika itu Abu Bakar sedang berkemas mempersiapkan segalanya untuk hijrah bersama kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia telah menyewa seorang ahli penunjuk jalan yang akan menghantarkannya ke Madinah. Disiapkannya pula dua ekor unta sebagai kendaraan pribadi sembari menunggu perintah Rasulullah untuk mulai berhijrah.
Urwah mengisahkan dari bibinya, Aisyah, sebagai berikut,
“Ketika itu, kami (keluarga Abu bakar) sedang beristirahat dalam rumah, berteduh dari sengatan panas matahari di siang bolong, senyap-senyap terdengarlah suara seseorang yang berbisik kepada Abu Bakar,
“Hei, Rasulullah datang sambil menyamar untuk menemui kita!”
“Sungguh, tidak biasanya beliau menemui kita di saat seperti ini, ada apakah gerangan?” gumamku.
“Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusannya, ia tak mungkin datang di saat seperti ini kecuali karena perintah Allah,” kata Abu Bakar.
Sesampainya di rumah Abu Bakar, Rasuliullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk masuk. Setelah diizinkan, beliau pun masuk menemui Abu Bakar seraya berkata,
“Suruh mereka (keluarga) keluar sebentar,” perintah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepadanya.
“Mereka tak lain adalah keluargamu juga, ya Rasulullah,” jawab Abu Bakar.
“Sesungguhnya aku telah diizinkan berhijrah,” kata Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
“Anda ingin kutemani, wahai Rasulullah?” tanyanya lagi.
“Benar,” jawab Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
“Ambillah mana dari unta ini yang engkau sukai, wahai Rasulullah,” kata Abu Bakar.
“Ya, tapi akan kubayar,” sahut Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Maka segeralah kami menyiapkan segala keperluan mereka berdua sebaik mungkin. Kami siapkan bagi mereka bekal untuk hijrah dalam sebuah kantong, namun kami tak punya seutas tali untuk mengikatnya. Maka Asma membelah ikat tali untuk mengikatnya. Maka Asma membelah ikat pinggangnya menjadi dua. Sehelai ia pakai, dan satunya untuk mengikat kantong yang akan digendongnya. Maka sejak itulah ia dijuluki Dzatun Nithaqain (yang punya dua ikat pinggang).
Kemudian ayah berangkat bersama Rasulullah ke Gua Tsur. Mereka bermalam di sana selama tiga malam. Selama itu Asma mondar-mandir menghantarkan bekal untuk mereka.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Asma’ adalah orang kedelapan belas yang masuk Islam di Mekkah. Ia hijrah ke Madinah dalam keadaan hamil sembilan bulan. Setibanya di Madinah ia menjadi muhajir pertama yang melahirkan anaknya di Madinah, Abdullah bin Zubair.
Gambaran Ketabahan Asma
Di antara potret ketabahan Asma’ ialah apa yang diriwayatkan oleh sejarawan terkenal, Ibnu Ishaq, dari Asma, katanya,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah, ayah membawa seluruh hartanya yang berjumlah lima ribu atau enam ribu dirham. Lalu datanglah Abu Quhafah (ayah Abu Bakar, kakek Asma) menghampiriku seraya berkata, “Orang ini (Abu Bakar) nampaknya ingin menyusahkan kalian dengan membawa semua hartanya.”
“Tidak, kek, bahkan ia meninggalkan harta yang banyak untuk kami,” jawab Asma’. Kemudian aku pun memungut beberapa buah batu, lalu kuletakkan dis ebuah celah di dinding, tempat ayah biasa menyimpan uangnya. Batu itu kemudian kututupi dengan sehelai kain. Lalu kupegang tangan kakek dan kuletakkan di atas kain tadi, “Inilah yang ayah tinggalkan bagi kami,” kataku.
“Oo, kalau memang meninggalkan sebanyak ini, tak masalah,” ujarnya.
“Padahal, demi Allah, ayah tak meninggalkan uang sepeser pun bagi kami,” kata Asma.
Gambaran Keberanian dan Kepahlawanan Asma
Di antara bukti yang menunjukkan keberanian dan kepahlawanan Asma ialah yang beliau kisahkan sendiri. Beliau menuturkan, “Suatu ketika Abu Jahal dengan beberapa orang temannya datang ke rumah kami. Aku pun keluar untuk menghadapi mereka.
“Di mana ayahmu?!” bentak Abu Jahal.
“Demi Allah, akut ak tahu di mana dia,” jawabku.
Spontan Abu Jahal mengayunkan tangannya dan.. Plakk!! Ia menampar pipiku keras-keras hingga anting-antingku lepas lalu ia pergi.
Asma’ juga mengisahkan,
“Ketika Zubair menikahiku, ia tak memiliki apa-apa selain kudanya. Maka akulah yang merawat kuda itu dan memberinya makan. Aku juga harus menumbuk biji kurma untuk pakan untanya.
Aku juga yang mencari air dan mengadon roti.
Sering kali aku mengusung sekeranjang biji kurma dari kebun Zubair yang berjarak dua pertiga farsakh dari rumahku. Pernah suatu hari, ketika aku hendak kembali ke rumah aku berpapasan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabatnya, sedang di atas kepalaku ada keranjang penuh berisi biji kurma.
“Ikh.. ikh..,” ucap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya merebahkan untanya, menawarkan tunggangan untukku.
Aku merasa malu dan ingat akan Zubair, betapa ia akan cemburu nantinya jika ketahuan aku membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliaupun berlalu.
Setibanya di rumah, kuceritakan apa yang terjadi pada Zubair. Lalu katanya, “Sungguh, keluarmu dari rumah dengan mengusung biji kurma lebih terasa berat bagiku daripada membonceng Rasulullah.”
Setelah kejadian itu, Abu Bakar mengirim seorang pembantu untukku, hingga aku tak lagi mengurusi kuda Zubair. Sungguh aku seakan menjadi sahaya yang dimerdekakan karenanya.”
Kedermawanan Asma
Muhammad bin Munkadir menceritakan bahwa Asma adalah wanita yang penyantun. Zubair bin Awwam sendiri mengakuinhya, ia mengatakan,
“Aku tak pernah melihat wanita yang lebih penyantun dari Aisyah dan Asma, namun sifat santun mereka sedikit berbeda. Kalau Aisyah, maka ia mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit, baru setelah terkumpul ia bagi-bagikan. Sedang Asma tak pernah menyimpang sesuatu untuk hari esok.”
Fathimah binti Mundzir mengatakan, “Pernah suatu ketika Asma menderita sakit, maka ia memerdekakan semua budak yang dimilikinya.”
Kebijaksanaan Asma
Di antara gambaran kebijaksanaannya sebagai seorang ibu ialah ketika ia berpesan kepada puteranya, Abdullah bin Zubair, “Wahai puteraku, hiduplah sebagai orang mulia, dan gugurlah sebagai orang mulia pula, janganlah kamu sampai jatuh dalam tawanan mereka.”
Urwah menceritakan, “Pernah aku dan Abdullah, saudaraku, datang menemui ibunda kami, yaitu sepuluh hari menjelang gugurnya Abdullah. Ketika itu ibu sedang sakit, maka Abdullah menyapanya,
“Bagaimana keadaanmu, Bu?”
“Sakit,” jawabnya.
“Sesungguhnya dalam kematian itu ada ketenganan,” kata Abdullah sambil bercacnda.
“Nampaknya kamu ingin agar aku segera mati ya? Jangan begitu dong,” kata Asma sambil tersenyum.
“Demi Allah, aku belum ingin mati sebelum engkau mengalami satu dari dua hal, engkau terbunuh kemudian aku sabar dan mengharap pahalanya dari Allah atau engkau menang sehingga aku pun senang.”
“Ingatlah, jangan sampai engkau dihadapkan pada suatu pilihan yang tak kau setujui, kemudian kau terima karena takut mati,” pesan Asma kepada Abdullah.
Urwah mengatakan, “Sebenarnya yang dimaksudkan saudaraku ialah bahwa ia lebih memilih untuk dibunuh, maka Asma pun sedih karenanya.”
Dibunuh? Ada apa sebenarnya?
Saat itu sebetulnya Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dengan pasukan Syam sedang mengepung ketat para pendukung Abdullah bin Zubair di sekitar Masjidil Haram.
Manjanik-manjanik pun disiapkan guna menggempur benteng pertahanan Ibnu Zubair. Konon pengepungan itu dilakukan ketika musim haji, dan tahun itu Al-Hajjaj bin Yusuf bertindak sebagai amirul hajj. Akan tetapi ia tak bisa thawaf karena Masjidil Haram berada dalam kekuasaan Ibnu Zubair, sedang Ibnu Zubair tak bisa wuquf, karena ia terkepung musuh dari luar.
Akhirnya pasukan Syam di bawah komando Hajjaj berhasil menaklukkan Ibnu Zubair dan para pendukungnya. Hajjaj kemudian mengeksekusi Ibnu Zubair dan menyalibnya di atas bukit Tsaniyyatul Wada.
Sungguh hari itu merupakan hari kelabu bagi warga kota Makkah. Isak tangis dan kesedihan merebak di seluruh penjuru kota, melepas kepergian sang pahlawan putera pembela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sisi Lain dari Ketabahan dan Ketegaran Asma
Kemudian, dengan tangan yang berlumuran darah selepas membunuh Ibnu Zubair, Hajjaj beranjak menemui Asma’. Lalu dengan congkaknya lelaki keparat ini berkata, “Lihatlah, bagaimana putramu telah berbuat ilhad di Baitullah dan sekarang ia merasakan siksaan yang pedih dari Allah.”
“Dasar pendusta!! Ia justru anak yang berbakti pada orang tuanya, lagi rajin qiyamullail dan berpuasa,” kata Asma menimpali.
Dikisahkan pula bahwa Al-Hajjaj datang kepada Asma – yang ketika itu usianya telah mencapai 100 tahun – seraya mengatakan, “Wahai ibunda, sesungguhnya Amirul Mukminin (Abdul Malik bin Marwan) menyuruhku untuk berlaku baik kepadamu. Maka apakah ibunda menginginkan sesuatu?”
“Aku tak pernah menjadi ibumu,” bentaknya. “Aku adalah ibu dari lelaki yang tersalib di atas bukit itu (yaitu Ibnu Zubair) dan aku tak butuh apa-apa darimu. Akan tetapi akan kusampaikan sebuah hadits yang kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengatakan, “Akan muncul dari Tsaqif – yaitu kabilah darah, yang terakhir lebih jahat dari yang pertama.” Tentang si pendusta, kami telah mengetahui siapa orangnya, sedangkan pembunuh itu tak lain menurutku adalah engkau.” Jawab Asma.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ibnu Umar datang bersama Al-Hajjaj menemui Asma, sedangkan puteranya masih di tiang penyaliban. Ibnu Umar berkata kepadanya, “Sesungguhnya jasad itu tak seberapa berarti, yang penting arwah orang yang beriman ada di tangan Allah. maka bertakwalah engkau kepada Allah dan sabarlah!”
Asma’ pun menjawab, “Memangnya apa yang menghalangiku untuk sabar, sedangkan kepala Nabi Yahya bin Zakariyya saja akhirnya dihadiahkan kepada seorang pelacur Bani Israel???”
Yahya bin Ya’la at-Tamimi menceritakan dari ayahnya, katanya, “Aku memasuki Mekkah pada hari ketiga setelah terbunuhnya Ibnu Zubair, dan ketika itu masih terpancang di tiang penyaliban,. Maka datanglah ibunya, seorang wanita tua renta berbadan tinggi yang telah buta. Ia mengatakan kepada Al-Hajjaj,
“Belum tibakah saatnya bagi puteraku untuk diturunkan?”
“Oh, si munafik itu maksudmu?” ledek Hajjaj.
“Demi Allah, ia tak pernah menjadi munafik. Ia orang yang rajin shalat dan berpuasa serta berbakti pada orang tuanya,” tukas Asma’.
“Pergilah sana, hai perempuan tua! Nampaknya engkau mulai pikun,” kata Hajjaj.
“Demi Allah, aku tak pernah pikun sejak mendengar sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “Akan muncul dari Tsaqif seorang pendusta dan pembunuh yang haus darah… dst”
Asma berdoa kepada Allah agar diberi kesempatan untuk mengurus jenazah puteranya. Maka Allah pun mengabulkan doanya, dan akhirnya Asma memandikan puteranhya yang syahid itu, mengafaninya, memberinya wewangian, lalu menyolatkan dan menguburkannya.
Tak lama berselang, Asma pulang menghadap Allah setelah meninggalkan bagi kita segudang pelajaran dan suri tauladan yang luar biasa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya dan menempatkannya di Jannatul Firdaus…
Nah, pembaca sekalian, dari rahim wanita seperti inilah sosok Urwah bin Zubair lahir. Seperti kata pepatah, ‘tak kenal maka tak sayang’, sayang sekali kalau pembicaraan kita tentang putera Asma yang satu ini harus berhenti sampai di sini, tentunya kita ingin tahu lebih jauh tentang sepak terjang Urwah yang lain. Baiklah, kalau begitu tariklah napas dalam-dalam untuk menikmati perjalanan hidup tokoh tabi’in yang satu ini.
Dialah Abu Abdillah, Urwah bin Zubair bin Awwam Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani. Lahir pada tahun 23 Hijriah, Urwah kecil tumbuh dewasa dalam nuansa keilmuan dan ketakwaan yang luar biasa. Simaklah pujian Al-Waqidi yang mengatakan, “Urwah adalah seorang alim, hafizh, faqih, tsiqah, hujjah, tahu akan seluk-beluk sirah Nabawiyyah, bahkan ialah yang pertama kali menulis kitab Al-Maghazi, bahkan para sahabat banyak yang bertanya kepada ‘Urwah, dan konon ia orang yang paling banyak meriwayatkan syair.”
Al-Auza’i berkata, “Ketika betis Urwah diamputasi, ia berkata lirih, “Ya Rabbi, Engkau tahu benar bahwa akut ak pernah melangkahkannya pada kejahatan sama sekali.” Pernah suatu ketika, Urwah memandang kedua betisnya lewat genangan air lantas berkata, “Allah tahu benar, bahwa aku tak pernah melangkahkanmu untuk bermaksiat sekali pun, sedang aku menyadarinya.”
Hisyam bin Urwah menceritakan bahwa dirinya tak pernah mendengar seorang ahli bid’ah pun yang menyebut-nyebut ayahnya dengan sebutan yang tidak baik.
Urwah adalah sosok tabi’in yang amat dalam ilmunya, penyantun, zuhud terhadap dunia, dan selalu berorientasi pada kehidupan akhirat. Singkatnya, ia betul-betul potret orang akhirat sejati. Dalam biografinya disebutkan bahwa suatu ketika Urwah berkumpul dengan Abdullah bin Zubair, Mus’an bin Zubair, serta Abdul Malik bin Marwan di Masjidil haram, yang saat itu mereka masih rukun. Lantas ada di antara mereka yang usul, “Ayo, masing-masing dari kita menyebutkan cita-citanya.” Maka Abdullah berkata,
“Cita-citaku ialah menguasai Al-Haramain (Makkah dan Madinah), dan menjadi khalifah.”
“Kalau aku ingin menguasai dua wilayah Irak, dan memperistri dua wanita Quraisy yang paling jelita; Sakinah binti Husain dan Aisyah binti Thalhah,” kata Mush’ab bin Zubair.
“Aku ingin menguasai bumi seluruhnya, dan menggantikan Mu’awiyah,” kata Abdul Malik Marwan.
Namun, apa kiranya yang dicita-citakan oleh tokoh kita yang satu ini? Adakah ia mencita-citakan urusan duniawi seperti ketiga temannya tadi? Atau apakah gerangan yang ada di benaknya. Ah, dia memang beda dari yang lainnya, meski kita berusaha menerka-nerka apa gerangan cita-citanya, pasti akan meleset juga. Karenanya biarlah sang tokoh berterus terang akan cita-citanya.
“Cita-citaku adalah zuhud di dunia, dan sukses di akhirat. Aku hanya ingin jadi orang yang ikut andil dalam menyebarkan ilmu-ilmu keislaman,” kata Urwah.
Akhirnya masing-masing dari mereka meraih cita-citanya, hingga setelah itu Abdul Malik bin Marwan senantiasa mengatakan,
“Barangsiapa ingin untuk melihat salah seorang penghuni Surga, maka lihatlah Urwah,”
Sebagaimana ibunya yang penyantun, Urwah pun terkenal penyantun. Diriwayatkan bahwa ia memiliki sebuah kebun kurma yang senantiasa ia buka untuk umum jika tiba musim ruthab. Ia membiarkan orang-orang makand an membawa pulang kurma tadi sepuasnya.
Urwah adalah orang yang gemar beramar ma’ruf nabi munkar. Dikisahkan bahwa pernah suatu ketika ia melihat orang yang tergesa-gesa dalam shalatnya, maka usai shalat Urwah memanggil dan menasehatinya,
“Ya akhi, tidaklah engkau mengutarakan hajatmu kepada Allah selama shalat? Sungguh, aku senantiasa meminta kepada Allah dalam shalatku, bahkan garam pun kuminta dari-Nya.”
Tatkala kakinya selesai diamputasi dan berita kematian putranya sampai kepadanya, Urwah menghibur dirinya dengan melantunkan bait-bait syair berikut,
Sungguh, tak pernah tanganku menjamah yang meragukan tidak pula kakiku membawa kepada yang nista
Pendenganran dan penglihatanku tak pernah mengarah ke sana tidak juga benak dan akalku mengkhayalkannya
Kutahu musibah apa pun yang menimpaku selama ini pastilah orang lain juga pernah merasakannya
Sekembalinya dari Syam, begitu sosoknya terlihat mendekati kota Madinah, serempak ia disambut oleh para pemuka Quraisy, tokoh Anshar, dan warga Madinah. Di antara mereka ada yang menangis, ada pula yang memberi takziyah, bahkan ada yang mengucapkan selamat, namun Urwah tak banyak bicara selain mengatakan,
“Saudara sekalian, siapa yang ingin mengajakku bergulat atau lomba lari, berarti ia telah mengalahkanku. Namun bagi yang menginginkanku karena mencari ilmu dan keutamaan, maka Allah masih menyisakan banyak kebaikan. Allah memuliakanku dengan memberiku tujuh orang putra, lalu menjadikan mereka sebagai pembelaku selama waktu yang dikehendaki-Nya. Kemudian Ia mengambilnya seorang, dan menyisakan yang enam untukku. Dialah yang memberiku kedua tangan dan kaki, lalu dengan keduanya aku mampu menjaga diri selama waktu yang dikehendaki-Nya. Kemudian ia mengambil satu dari padanya dan menyisakan yang tiga untukku, maka segala puji bagi Allah.”
Berikut ini kami petikkan sebagian dari mutiara hikmahnya yang sangat berharga. Urwah mengatakan,
“Kadang kala kata-kata hinaan yang kudengar dengan tabah justru mewariskan kemuliaan yang lama bagiku.”
Tersebut dalam hikmah, “Hendaknya ucapanmu selalu manis, dan wajahmu selalu berseri, niscaya kau akan lebih dicintai orang daripada seorang dermawan.” (Hilyatul Aulia 1/287)
Pesan Urwah Kepada Anak-anaknya
“Kalau kalian melihat orang berbuat kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan tadi mempunyai saudara-saudara padanya. Namun bila kalian melihat seseorang berbuat maksiat, ketahuilah bahwa kemaksiatan itu memiliki saudara-saudara padanya. Karena setiap kebaikan akan menghantarkan pelakunya pada saudaranya, sebagaimana maksiat juga menghantarkan pelakunya pada saudaranya.”
“Wahai anakku, tuntutlah ilmu, karena meskipun sekarang kalian masih kecil, akan tetapi kalianlah yang menjadi tokoh nantinya. Duhai alangkah malunya.. siapakah yang lebih jelek dari seorang tua renta yang bodoh?” (Hilyatul Auliya 1/287)
“Wahai anakku, jangan sampai kalian menghadiahkan kepada Allah sesuatu yang kalian malu tuk menghadiahkannya pada orang mulia. Karena sesungguhnya Allah lebih mulia dari siapapun yang mulia, dan lebih berhak untuk diutamakan.” (Hilyatul Auliya 1/287)
Urwah wafat pada tahun 94 Hijriah menurut riwayat yang paling masyhur. Semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di Jannatul Firdaus…
Sumber: Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan
0komentar :
Posting Komentar