السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Panel Home
Other Content
HADITSHR BUKHARI
    • Posts
    • Comments
    • Pageviews

  • Translate
  • Etika Bepergian dan Kajiannya

    Orang Muslim meyakini bahwa bepergian adalah salah satu kebutuhan hidupnya yang tidak terpisahkan darinya. Sebab, haji, umrah, perang, menuntut ilmu, berbisnis, dan melindungi saudara-saudara seakidahnya, itu semua kewajiban yang menghendaki perjalanan dan bepergian. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberi perhatian besar terhadap hukum hukum dan etika-etikanya. Orang Muslim harus mempelajari itu semua dan merealisirnya.

    Hukum-hukum Bepergian

    Di antara hukum-hukum bepergian ialah sebagai berikut:

    1.  Musafir mengqashar shalat-shalat yang empat rakaat, kemudian ia shalat dua raka'at kecuali shalat Maghrib maka ia harus mengerjakannya tiga raka'at, ia mulai mengqashar shalat sejak ia meninggalkan daerahnya hingga kembali padanya, kecuali jika ia berniat menetap empat hari atau lebih di daerah tujuannya, atau ia singgah di dalamnya maka ia tidak boleh mengqashar shalat dan jika ia pulang ke daerahnya maka ia boleh kembali mengqashar shalat hingga ia tiba di daerahnya. Itu semua karena dalil-dalil berikut:

    Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, "Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian menqashar shalat." (An-Nisa: 101).

    Anas bin Malik ra berkata, "Kami bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. keluar dari Madinah ke Makkah, dan beliau mengerjakan shalat-shalat empat raka'at dengan dua raka'at hingga kita kembali ke Madinah." (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi yang men-shahih-kannya).

    2.  Musafir diperbolehkan berwudhu dengan mengusap sepatunya selama tiga hari tiga malam, karena Ali bin Abu Thalib ra berkata "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. membolehkan mengusap sepatu selama tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari bagi orang mukim." (Diriwayatkan Muslim, Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu Majah).

    3.  Musafir diperbolehkan bertayammum jika ia kehabisan air, atau sulit mendapatkannya, atau harganya mahal, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

    "Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dan tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci), sapulah muka kalian dan tangan kalian." (An-Nisa': 43)

    4. Musafir mendapatkan rukhshah (keringanan) boleh tidak berpuasa selama dalam pejalanannya, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain." (Al-Baqarah: 184).

    5.  Musafir diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan ke mana pun kendaraan tersebut mengarah, karena Ibnu Umar ra berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. mengerjakan shalat sunnah ke mana pun hewan kendaraannya mengarah." (Muttafaq Alaih).

    6.  Musafir diperbolehkan men-jamak shalat Maghrib dengan shalat Ashar, atau shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan jamak taqdim jika perjalanan membuatnya sulit, kemudian ia kerjakan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu shalat Dzuhur, dan shalat Maghrib dan shalat Isya' di waktu shalat Maghrib. Atau ia menjamak ta'khir dengan mengakhirkan shalat shalat Dzuhur ke awal shalat Ashar kemudian ia kerjakan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu shalat Ashar, dan ia akhirkan shalat Maghrib ke waktu shalat Isya' kemudian ini kerjakan dua-duanya di waktu shalat Isya'. Karena Muadz bin Jabal ra berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. pada Perang Tabuk, kemudian beliau kerjakan shalat Dzuhur dan shalat Ashar secara jamak, dan mengerjakan shalat Maghrib dan shalat Isya' secara jamak." (Muttafaq Alaih).

    Etika-Etika Perjalanan

    Di antara etika-etika perjalanan adalah sebagai berikut:

    1.  Musafir harus mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya, dan barang-barang titipan kepada pemiliknya, sebab perjalanan itu identik dengan kematian.

    2.  Musafir menyiapkan perbekalannya dan sumber yang halal dan meninggalkan uang belanja kepada orang yang wajib ia nafkahi seperti istri, anak, dan orang tua.

    3.  Musafir pamit kepada keluarga, saudara-saudara, dan teman-temannya, dan berdoa dengan berikut kepada orang yang ia pamiti, "Aku titipkan kepada Allah agama kalian, amanah kalian, dan penutup amal perbuatan kalian."

    Kemudian orang-orang yang ia pamiti membalas doanya dengan mengatakan, "Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosa-dosamu, dan mengarahkanmu kepada kebaikan dimana saja engkau berjalan."

    Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., "Sesungguhnya Luqman berkata, ‘Sesungguhnya jika Allah dititipi sesuatu, Dia pasti menjaganya'." (Diriwayatkan An-Nasai dengan sanad yang baik).

    Kepada orang-orang yang mengantarkan kepergiannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Aku titipkan kepada Allah agama kalian, amanahmu, dan penutup amal perbuatan kalian." (Ditiwayatkan Abu Daud).

    4. Musafir bepergian dengan ditemani empat orang, atau tiqa orang dan orang-orang; yang telah ia seleksi sebelumnya dari orang-orang yang layak bepergian dengannya, karena perjalanan itu membongkar jati diri orang. Dinamakan safar (perjalanan) karena ia memperlihatkan akhlak manusia.

    Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., "Satu pengendara (musafir) adalah syetan, dua pengendara (musafir) ialah dua syetan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan musafir." (Diriwayatkan Abu Daud, An-Nasai, dan At-Tirmidzi. Hadits ini shahih)

    Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., "Jika manusia mengetahui bahaya yang ada pada pergi sendiri seperti yang aku ketahui, maka tidak ada seorang pun yang berani bepergian sendirian pada satu malam pun." (Diriwayatkan Al Bukhari).

    5.  Rombongan musafir harus menunjuk salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan yang memimpin mereka dengan bermusyawarah, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Jika tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

    6.  Sebelum musafir berangkat bepergian, ia harus mengerjakan shalat istikharah, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. menganjurkan hal yang demikian. Bahkan shalat istikharah itu beliau kerjakan ketika mengajarkan salah satu surat Al-Qur'an, dan ilmu-ilmu lain kepada para sahabat. (Diriwayatkan Al-Bukhari)

    7.  Ketika meninggalkan rumahnya, musafir berdoa dengan doa berikut, "Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah. Ya Allah, aku berlindung diri kepada-Mu dari tersesat dan disesatkan, dari tergelincir atau digelincirkan, dari bodoh atau dibodohi." (Diriwayatkan Abu Daud. Hadits ini shahih).

    Jika ia telah menaiki kendaraannya, ia berdoa, "Dengan nama Allah, dengan nama Allah, dan Allah Mahabesar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Apa yang dikehendaki Allah itu pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah itu tidak akan terjadi. Mahasuci Dzat yang menundukkan semua ini bagi kami, padahal sebelumnya tidak mampu menguasainya Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan, ketakwaan, dan amal perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah bagi kami perjalanan kami ini, dan dekatkan jauhnya untuk kami. Ya Allah, Engkau sahabat di dalam pejalanan, dan pengganti di keluarga, dan harta. Ya Allah, aku berlindung diri kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, kegagalan, dan pemandangan buruk pada harta, keluarga, dan anak." (Diriwayatkan Abu Daud) .

    8.  Musafir berangkat pada hari Kamis pagi, karena dalil-dalil berikut:

    "Ya Allah, berkahilah umatku di pagi harinya." (Diriwayatkan At Tirmidzi).

    Karena diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. biasa keluar bepergian pada hari Kamis.

    9.  Musafir bertakbir di setiap tempat (dataran) tinggi, berdasarkan hadits Abu Hurairah ra yang berkata, "Seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ingin bepergian, maka beri aku nasihat'. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah, dan bertakbir di setiap tempat (dataran) yang tinggi." (Diriwayatkan At Tirmidzi dengan sanad yang baik).

    10. Jika musafir takut kepada manusia, ia berdoa, "Ya Allah, aku jadikan Engkau di leher-leher mereka dan aku berlindung diri kepada-Mu dari keburukan mereka."

    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. biasa berbuat seperti itu.

    11. Berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam perjalanannya, dan meminta kebaikan dunia dan akhirat kepada-Nya, karena doa dalam perjalanan itu dikabulkan. karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Tiga doa yang mustajab dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya, doa orang yang tertindas, doa musafir, dan doa ayah untuk anaknya." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dengan sanad yang baik).

    12. Jika singgah di suatu tempat, musafir berkata, "Aku meminta perlindungan dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan apa yang Dia ciptakan."

    Jika malam telah tiba, ia berdoa, "Wahai bumi Tuhanku, Tuhanmu adalah Allah, sesungguhnya aku berlindung diri kepada Allah dari keburukanmu, keburukan apa saja yang ada padamu, dari keburukan apa yang diciptakan padamu, dan dari keburukan apa saja yang berjalan di atasmu. Aku berlindung diri kepada Allah dan keburukan singa, ular besar, ular kecil, kalajengking, penghuni daerah ini, ayah, dan apa yang ia lahirkan." (Diriwayatkan para pemilik Sunan dan Muslim).

    13. Jika ia takut binatang buas, ia berdoa dengan doa, "Mahasuci Raja Yang Mahasuci, Tuhan para malaikat, ruh (Jibril), langit-langit itu dimuliakan dengan kemuliaan dan kebesaran."

    14. Jika musafir tidur pada awal, ia bentangkan kedua tangannya. Jika ia tidur di akhir malam, ia tegakkan salah satu tangannya, dan meletakkan kepalanya di telapak tangan satunya agar ia tidak kebablasan tidur sehingga ia tidak bisa mengerjakan shalat Shubuh pada waktunya.

    15. Jika musafir melihat sebuah kota, ia berdoa, "Ya Allah, beri ketenangan di dalamnya, dan berilah kami rizki yang halal di dalamnya. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan kota ini, dan kebaikan apa saja yang ada di dalamnya. Aku berlindung diri kepada-Mu dari keburukan kota ini, dan keburukan apa saja yang ada di dalamnya."

    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. terbiasa membaca doa di atas jika beliau melihat salah satu kota dalam perjalanannya.

    16. Musafir harus segera kembali kepada keluarga dan negerinya jika ia telah berhasil memenuhi kebutuhan dalam perjalanannya, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Perjalanan adalah potongan siksa yang menghalangi salah seorang dari kalian dari makanan, minuman, dan tidur. Jika salah seorang dari kalian telah selesai memenuhi kebutuhan dalam perjalanannya, hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya." (Muttafaq Alaih).

    17. Jika musafir hendak pulang ke daerahnya, ia bertakbir tiga kali dan berkata,

    "Mereka kembali, bertaubat, beribadah kepada Tuhan kita, dan memuji-Nya."

    Ia mengucapkan doa di atas secara berulang-ulang, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. melakukan hal yang demikian.

    18. Musafir tidak boleh mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari, namun ia harus mengutus seseorang kepada keluarganya untuk memberi khabar gembira tentang kedatangannya, dan tidak mengejutkan mereka dengan kedatangannya kepada mereka. Inilah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. dalam hal ini.

    19. Wanita tidak boleh bepergian selama sehari atau semalam kecuali dengan mahramnya, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Wanita tidak halal bepergian selama sehari dan semalam kecuali dengan mahramnya." (Muttafaq Alaih).

    Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 196-203.

    0komentar :

    Posting Komentar

    top