السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Panel Home
Other Content
HADITSHR BUKHARI
    • Posts
    • Comments
    • Pageviews

  • Translate
  • Adab-Adab Berpuasa Mengenai Sahur

    Saudaraku kaum muslimin, ketahuilah. Diantara adab yang juga harus selalu diperhatikan dan dijaga oleh orang yang berpuasa adalah sahur atau makan sahur.

    Hal itu karena Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda :

    تسحروا فإن في السحور بركة

    “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat barokah/keberkahan.”

    (HR Imam Al-Bukhori no. 1923 dan Muslim no. 1095, dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu)

    Kurma dapat meguatkan hati, melancarkan pembuangan air besar ...

    Tentang makna barokah yang terdapat dalam makan sahur, dijelaskan oleh Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh : “Sesungguhnya keberkahan di dalam sahur itu bisa dicapai/diraih dari berbagai sisi, (diantaranya) yaitu : (1) mengikuti sunnah (mencontoh sunnah/tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, edt.), (2) untuk menyelisihi/membedakan diri dengan puasanya ahlul Kitab (Yahudi dan Nashoro, edt.),(3) untuk menguatkan ibadah, (4) untuk menambah semangat, (5) menolak atau menghindari munculnya akhlak yang jelek yang ditimbulkan karena lapar (seperti : keinginan untuk membatalkan puasa, dll), (6) merupakan sebab untuk bersedekah kepada orang yang minta-minta (yakni minta makan karena lapar), atau mengajaknya untuk makan bersama dengannya (sahur bersama), (7) merupakan sebab untuk banyak berdzikir dan berdoa di waktu yang diharapkan terkabulnya doa (karena waktu itu termasuk akhir-akhir malam, yang merupakan salah satu waktu dikabulkannya doa bagi yang mau berdoa, edt.), (8) untuk mendapatkan niat berpuasa, bagi orang yang lupa berniat sebelum dia tidur malam………” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/164)

    Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rohimahulloh juga berkata : “Keberkahan ini, boleh jadi kembali kepada perkara-perkara ukhrowi (akhirat), karena dengan menegakkan/mengamalkan sunnah (tuntunan Rosululloh, khususnya makan sahur ini, edt.) akan diberi pahala dan tambahan (kebaikan yang banyak, edt.). Dan bisa jadi pula kembali kepada urusan-urusan dunia, seperti kuatnya badan untuk melakukan puasa, dan kemudahan lainnya tanpa adanya bahaya bagi orang yang berpuasa…” (Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori, 4/164)         

    Mengingat begitu besarnya keberkahan dalam sahur itu, maka tidak selayaknya kita meninggalkannya. Sebagaimana hal ini juga ditunjukkan hadits sebagai berikut ini. Salah seorang dari sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bercerita : “Aku pernah masuk (menjumpai) Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, saat itu beliau sedang sahur, lalu beliau bersabda:

    إنها بركة أعطاكم الله إياها فلا تدعوه

    “Sesungguhnya dia (sahur itu) barokah, yang Alloh telah memberikannya untuk kalian, karena itu janganlah kalian meninggalkannya.”

    (HR Imam An-Nasa’i (4/145), dishohihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih, 2/422)

    Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjadikan makan sahur itu sebagai pembeda antara puasa kita kaum muslimin dengan puasanya Ahlul Kitab (orang-orang yahudi dan nashoro), sebagaimana dalam sabda beliau :

    فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

     “Pemisah/pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.”

    (HR Imam Muslim no. 1096, dari sahabat ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhu)

    LALU, APA HUKUMNYA MAKAN SAHUR ITU ?

    Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh mengatakan : “Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al-Isyrof mengatakan : “Umat Islam ini telah sepakat, bahwa sahur itu hukumnya sunnah, tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.”

    (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/360).

    Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh juga menyatakan : “Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan) di antara para ulama (yakni tentang sunnahnya hal tersebut).” (Al-Mughni, 3/54) Lihat juga Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori (1922)

    KAPAN WAKTUNYA MAKAN SAHUR ITU ?

    Waktu makan sahur itu disunnahkan untuk diakhirkan, yakni beberapa saat menjelang datangnya waktu shubuh (terbitnya fajar shodiq di waktu shubuh tersebut). Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dari Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu, dia bercerita : “Kami pernah sahur bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami sholat (yakni sholat Shubuh, edt.)” Saya (Anas bin Malik) bertanya : “Berpakah jarak antara waktu adzan dan sahur ?” Dia (Zaid) menjawab : “Kira-kira lima puluh ayat (yakni kira-kira selama orang membaca lima puluh ayat dari Al-Qur’an, kurang lebih 10-15 menit, wallohu a’lam, edt.).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1921 dan Muslim no. 1097)

    Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu juga bercerita : “Aku pernah sahur di rumah keluargaku, kemudian aku cepat-cepat untuk mendapatkan sholat Shubuh bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (HR Imam Al-Bukhori no. 577)

    Dari hadits-hadits tersebut di atas, para ulama menyimpulkan dan menyatakan disunnahkannya untuk mengakhirkan makan sahur bagi orang yang hendak berpuasa. (Al-Majmu’ (6/360), Al-Mughni (3/54), Fathul Bari (4/165) )

    DENGAN APAKAH MAKAN SAHUR ITU ?

    Para ulama, diantaranya Al-Imam Ibnu Qudamah dan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahumalloh menegaskan : “Sahur itu sudah bisa terpenuhi dengan sesuatu yang sedikit, baik itu yang dimakan atau diminum oleh seseorang.” (tidak mesti dengan makan atau minum yang banyak, edt.).

    Hal itu ditunjukkan dalam sebuah hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    السحور بركة فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله و ملاءكته يصلون على المتسحرين

    “Sahur itu barokah, karena itu janganlah kamu meninggalkannya (yakni tidak mau makan sahur), meskipun salah seorang dari kamu (hanya sekedar) minum dengan seteguk air. Kerena sesungguhnya Alloh dan para Malaikatnya bersholawat (yakni mendoakan kebaikan, edt.) kepada orang-orang yang makan sahur.”

    (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad, 3/12)

    Tentang hadits tersebut, guru kami, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Tetapi di dalam sanad hadits ini ada Rifa’ah Abu Rifa’ah, dia ini keadaannya Majhul (tidak diketahui/tidak dikenal), juga di dalam hadits ini ada ‘an’anah Yahya bin Abi Katsir. Hadits tersebut juga mempunyai jalan-jalan yang lain di sisi Imam Ahmad (3/44), tetapi di dalam sanadnya ada Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dia ini disepakati akan kedho’ifannya.

    Akan tetapi lafadz hadits : “Sahur itu barokah”, mempunyai banyak penguat dan telah disebutkan sebagiannya di depan. Adapun lafadz : “meskipun salah seorang dari kamu (hanya sekedar) minum dengan seteguk air”, juga mempunyai penguat (yakni) hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma di sisi Ibnu Hibban (no. 3476), tetapi dalam sanadnya ada ‘Imron Al-Qoththon, yang rojih dia ini didho’ifkan. Adapun bagian akhir hadits tersebut : (“Kerena sesungguhnya Alloh dan para Malaikatnya bersholawat (yakni mendoakan kebaikan, edt.) kepada orang-orang yang makan sahur”), tidak aku temukan penguat yang bagus untuk menguatkan hadits tersebut. Sehingga (kesimpulannya), hadits ini HASAN tanpa bagian akhirnya.”

    (Ithaaful Anam bi Ahkami wa Masaailis Shiyaam, hal. 50-51)

    Jadi, kalau seseorang hanya mampu sekedar minum seteguk air untuk sahur (baik karena tidak ada makanan atau karena waktu yang sempit atau karena sebab-sebab yang lainnya), maka hal itu sudah mencukupi. Tetapi bila seseorang mampu untuk makan sahur (dengan makanan apapun), maka hal itu lebih baik. Sebagaimana kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “Dan yang jelas, bahwa  bila (seseorang) mampu untuk makan, maka hal itu (lebih sesuai) dengan sunnah.”

    (Kitabus Shiyaam, 1/520-521) (Lihat juga masalah ini dalam : Al-Mughni (3/55), Fathul Bari (no. 1922)

    ADAKAH DOA KHUSUS UNTUK BERBUKA PUASA ?

    Di tengah masyarakat kita, banyak sekali beredar bacaan dzikir atau doa ketika berbuka puasa. Bahkan sebagiannya telah banyak kita hapal dan tertanam di benak kita sejak kecil hingga sekarang ini. Tetapi masalahnya, shohih atau tidakkah hadits-haditsnya ? Untuk mengetahuinya, insya Alloh di bawah ini akan kami sebutkan dzikir-dzikir dan doa-doa tersebut, berikut penjelasan keshohihannya ataukah tidak (catatan : penshohihan atau pendho’ifan di sini, menurut guru kami dalam kitabnya Ithaful Anam, hal. 63-64)

    Pertama : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda (berdoa ketika berbuka puasa) :

    اللهم لك صمنا و على رزقك أفطرنا فتقبل منا إنك أنت السميع العليم

    “Ya Alloh, untuk-Mu-lah kami berpuasa, dan atas rejeki dari-Mu-lah kami berbuka, maka terimalah (puasa) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR Imam Ad-Daruquthni (2/185), di dalam sanadnya ada Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh, dia meriwayatkan dari bapaknya, dan dia (Abdul Malik) adalah rowi yang MATRUK (ditinggalkan haditsnya), sedangkan bapaknya DHO’IF (lemah). Sehingga hadits ini sangat lemah, wallohu a’lam)

    Kedua : Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh berdoa dengan lafadz :

    اللهم لك صمت و على رزقك افطرت

    “Ya Alloh, untuk-Mu-lah aku berpuasa, dan atas rejeki dari-Mu-lah aku berbuka.”

    (HR Imam Ath-Thobroni dalam Al-Ausath (no. 7545) dan Mu’jam As-Shoghir (no. 912), di dalam sanadnya ada Isma’il bin Amru, dia ini DHO’IF, juga ada Dawud bin Az-Zibriqon, dia ini MATRUK, sehingga sanadnya sangat lemah)    

    Ketiga : Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma secara marfu’, bahwasannya dia berkata (berdoa ketika berbuka puasa) :

    ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إنشاء الله

    “Telah hilang dahaga (rasa haus), telah basah urat-urat tenggorokan, dan telah tetap pahala, insya Alloh (bila Alloh menghendaki).”

    (HR Imam Abu Dawud no. 2357, di dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Muqfi’, dia ini rowi yang MAJHUL (tidak dikenal keadaannya, sehingga hadist ini pun DHO’IF) 

    Demikianlah doa-doa yang masyhur tentang doa bagi orang yang berbuka puasa, tetapi tidak ada satupun yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lihat juga pembahasan ini dalam kitab IRWA’UL GHOLIL (no. 919-920), karya Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh.

    Lalu, bila tidak ada dalil khusus yang shohih tentang doa ketika akan berbuka puasa, doa apa yang harus kita baca ? Dalam hal ini, kita kembalikan kepada hukum asal tentang doa ketika akan makan dan minum secara umum, yakni membaca BASMALAH (yakni bacaan Bismillah), wallohu a’lamu bis showab.

    BENARKAH BAHWA DOANYA ORANG YANG BERPUASA ITU MAQBUL ?

    Tentang hal ini, ada sebuah hadits yang menjelaskan seperti itu, yakni doanya orang yang berpuasa itu maqbul (akan dikabulkan oleh Alloh Ta’ala), khususnya bila dilakukan doa itu ketika sedang berbuka puasa.

    Hadits yang dimaksud adalah hadits Abdulloh bin ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    إن للصائم عند فطره دعوة لا ترد

    “Sesungguhnya orang yang berpuasa itu mempunyai doa yang tidak ditolak ketika sedang berbuka puasa.”

    (HR Imam Ibnu Majah no. 1753)

    Hadits ini tidak tsabit/kokoh atau kuat, karena di dalam sanadnya ada Ishaq bin ‘Ubaidillah bin Abil Muhajir, dia ini rowi yang MAJHUL, dan hadits ini mempunyai jalan-jalan sanad yang lainnya di sisi Ath-Thoyalisi (no. 2262), tetapi di dalam sanadnya ada Abu Muhammad Al-Maliki. 

    As-Syaikh Al-Albani rohimahulloh berkata tentangnya : “Aku tidak mengenalnya. Mungkin saja dia itu Abdurrahman bin Abi Bakr bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Madani. Bila itu adalah dia, maka dia itu DHO’IF, sebagaimana dalam At-Taqrib, bahkan An-Nasa’i berkata : “Dia bukanlah rowi yang tsiqoh (kuat atau terpercaya).” Dalam lafadz lainnya dia berkata : “Dia MATRUKUL HADITS (ditinggalkan haditsnya).”

    Kesimpulannya, hadits tersebut didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam IRWA’UL GHOLIL (no. 921), dan juga didho’ifkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam ta’liq beliau atas kitab Tafsir Ibnu Katsir, terhadap firman Alloh Ta’ala di surat Al-Baqoroh ayat 186.

    Namun ada hadits lain yang lebih shohih, yang menjelaskan tentang salah satu doa yang akan dikabulkan oleh Alloh Ta’ala adalah doanya orang yang sedang berpuasa, sampai dia berbuka.

    Hadits tersebut adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga (golongan manusia) yang doa mereka tidak akan ditolak : (1) Imam yang adil, (2) orang yang berpuasa sampai dia berbuka, (3) dan doanya orang yang teraniaya/terdholimi. Alloh akan mengangkatnya (doanya tersebut, edt.) di atas awan pada hari kiamat. Dan akan dibukakan untuknya pintu langit, kemudian Alloh akan berfirman : “Demi keagungan-Ku, sungguh Aku benar-benar akan menolongmu, meskipun setelah beberapa waktu.” (HR Ibnu Majah, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Al-Jami’us Shohih, 2/506)

    Hadits tersebut menunjukkan, bahwa doanya orang yang sedang berpuasa itu akan dikabulkan oleh Alloh Ta’ala, hingga waktu ketika dia berbuka. Karena itu, semangatlah kita untuk selalu berdoa kepada Alloh di saat kita berpuasa sampai ketika kita berbuka.

    MASALAH : “BILA SESEORANG SEDANG MAKAN SAHUR, LALU TERDENGAR SUARA ADZAN SHUBUH, ORANG YANG BELUM SELESAI MAKAN SAHUR ITU BOLEH MENERUSKAN MAKAN SAHURNYA, ATAUKAH DIA WAJIB MENGHENTIKANNYA ?”

    Masalah seperti ini pernah ditanyakan kepada guru kami yang mulia, Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh Ta’ala, maka beliau menjawab sebagai berikut :

    “Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia :

    وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

    “Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al-Baqoroh : 187).

    Dan di dalam As-Shohihain, dari hadits Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu dia berkata : “Ketika turun ayat : “Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”, maka aku mengambil dua buah benang  (satu berwarna hitam dan satunya lagi berwarna putih, edt.), dan aku meletakkan keduanya di bawah kepalaku (ketika tidur malam, edt.). Kemudian aku melihat kepada keduanya hingga pagi hari, kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengabarkan kepadaku (tentang pengertian yang benar dari ayat tersebut, edt.), lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya bantalmu itu (wahai ‘Adi), benar-benar lebar…. ”

    (HR Imam Al-Bukhori no. 1916 dan Muslim no. 1090)

    (Dari sini), kemudian jelaslah bagi Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu bahwa yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan kegelapan malam. Benang putih adalah siang dan benang hitam adalah malam.

    Di dalam As-Shohihain dari hadits Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu datang dengan (lafadz) seperti itu, kemudian juga hadits Abdullah bin Abi Aufa rodhiyallohu ‘anhuma, keduanya dalam As-Shohihain, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila malam telah muncul dari arah sini – yakni dari arah timur, dan siang menghilang dari arah sini – yakni beliau mengisyaratkan arah barat, sungguh telah berbuka (yakni waktunya berbuka, edt.) bagi orang yang berpuasa.”

    Telah datang pula hadits dalam As-Shohihain, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam  bahwa beliau bersabda : “Makan dan minumlah kamu sampai (terdengar) Ibnu Ummi Maktum adzan, karena sesungguhnya tidaklah dia adzan (kecuali) sampai dikatakan kepadanya : “Telah datang shubuh, telah datang shubuh..”

    (HR Imam Al-Bukhori no. 617 dan 622, dan Muslim no. 1092)(yakni, Ibnu Ummi Maktum adzan apabila telah benar-benar masuk waktu shubuh, yakni dengan tampaknya fajar shodiq, edt.)

    Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “Janganlah adzannya Bilal menghalangi kalian dari sahur kalian…”

    (HR Imam Al-Bukhori no. 621 dan Muslim no. 1093)(yakni karena Bilal adzan ketika masih malam/adzan pertama sebelum masuk waktu shubuh, untuk membangunkan orang-orang yang masih tidur agar sholat lail atau segera makan sahur bagi yang akan berpuasa, edt.)

    Maka berdasarkan hadits-hadits tersebut, apabila seorang mu’adzin adzan pada waktunya , atau seseorang telah benar-benar melihat terbitnya fajar shodiq (sebagai tanda telah masuk waktu shubuh), maka wajib bagi dia untuk “imsak” (menahan diri dari makan dan minumnya) secara langsung, meskipun bejana (yang berisi makanan atau minuman) masih ada di tangannya. Dia harus meninggalkan makanan dan minumannya tersebut, meskipun masih ada satu suap (makanan) di tangannya, dia harus meninggalkan (makanan atau minuman tersebut) dan tidak boleh memasukkan ke mulutnya, dan (dengan begitu) puasanya tetap sah.

    Selanjutnya dalam masalah ini ada sebuah hadits :

    إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فليأخذ منه حاجته

    “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan, sedangkan bejana (yang berisi makanan atau minuman) berada di tangannya, maka (tetap) ambillah/selesaikan hajatnya.” (maksudnya, tetap teruskan saja makan atau minumnya tersebut hingga selesai, edt.)  

    Hadits ini dinyatakan cacat oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim rohimahulloh, dari bapaknya (sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Ilalul Hadits, karya beliau) sebagai hadits yang mauquf pada Abu Huroiroh saja. Hadits ini tidak tsabit dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena itu tidak layak/pantas dipertentangkan dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan atas wajibnya bagi orang yang berpuasa untuk berhenti dari makan dan minum serta apa saja yang bisa membatalkan puasa, apabila fajar telah terbit (telah tiba waktu shubuh).” Wallohu a’lamu bis showab.

    (lihat kitab Ithaful Kirom bi Ajwibati Ahkami Az-Zakati Wal Hajji Was Shiyam (hal. 343-344), karya guru kami, As-Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh)

    Guru kami yang lainnya, yakni As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh juga menyatakan : “Apabila seorang mu’adzin tidaklah adzan kecuali apabila dia benar-benar yakin telah terbit fajar (yakni masuk waktu shubuh), maka wajib (bagi orang yang akan berpuasa) untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum dan semua perkara yang membatalkan puasa, edt.), karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Makan dan minumlah kamu sampai Ibnu Ummi Maktum adzan….”

    (HR Imam Al-Bukhori no. 617 dan 622, dan Muslim no. 1092).

    Bila seorang mu’adzin adzan tetapi dia tidak yakin atau belum yakin terbitnya fajar (yakni ragu-ragu telah masuk waktu shubuh atau belum), maka boleh bagi dia (atau orang yang masih sahur lainnya, edt.) untuk makan sampai selesai, selama belum yakin (telah masuk waktu shubuh yang sebenarnya). Karena hukum asalnya adalah tetap masih malam, sedangkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

    “Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al-Baqoroh : 187).

    Tetapi, yang lebih utama dan untuk lebih berhati-hati adalah hendaknya imsak (menahan diri dari makan dan minum dll), dalam rangka untuk Ihthiyath (berhati-hati dan menjaga) agama ini. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu…”

    (HR Imam At-Tirmidzi no. 2518, An-Nasa’i (8/327), dan Imam Ahmad (1/200), dari hadits Al-Hasan bin Ali rodhiyallohu ‘anhuma, sanadnya shohih)

    Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu, dan dengan pendapat ini pula para ulama masa kini berfatwa, seperti Samahatus Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I rohimahumulloh. Kemudian aku juga melihat Syaikhul Islam berfatwa seperti itu juga.

    (lihat : Fatawa Romadhon (1/201-203), Majmu’ Al-Fatawa (25/216), karya Syaikhul Islam rohimahulloh)

    (Lihat : Ithaful Anam bi Ahkami wa Masailis Shiyaam (hal. 53-54), karya guru kami tersebut di atas).

    Semoga pembahasan yang ringkas ini bermanfaat untuk penulisnya, dan juga untuk seluruh kaum muslimin di mana saja, walhamdu lillahi robbil ‘aalamiin.

    0komentar :

    Posting Komentar

    top