Kerusakan Lingkungan dan Dosa Manusia
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (Qs. ar-Rum : 41)
(An-najah) – Ayat di atas banyak mengandung pelajaran di dalam kehidupan kita, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pelajaran Pertama : “ظَهَرَ الْفَسَادُ“ (Telah nampak kerusakan), yaitu bahwa kerusakan-kerusakan yang menimpa kehidupan manusia benar-benar telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan secara langsung oleh semua lapisan masyarakat. Kerusakan tersebut mencakup kerusakan non fisik seperti kerusakan akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga mencakup kerusakan fisik; seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam penyakit, kerusakan ekosistem dan kerusakan infrastruktur.
Itu semua terjadi akibat perbuatan manusia yang durhaka kepada Allah, Dzat Yang Menciptakan alam semesta ini. Mereka berbuat syirik, menyembah selain Allah dan terus menerus bermaksiat kepada-Nya. Perbuatan syirik dan maksiat adalah sumber segala bentuk kerusakan yang terjadi di muka bumi ini. Kedua hal tersebutlah yang mendorong manusia untuk membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi ini. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Janganlah kalian merusak bumi ini (dengan kesyirikan dan kemaksiatan), sesudah bumi ini diperbaiki (dengan tauhid dan ketaatan), maka sembahlah Allah dengan rasa takut dan mengharap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik, (yaitu orang-orang yang memperbaiki dunia ini dengan tauhid dan ketaatan kepada Allah).” (Qs. al-A’raf : 55-56)
Pelajaran Kedua : “ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ “ (di daratan dan lautan), artinya bahwa kerusakan ini sudah merambah semua tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara, dan pencemaran lingkungan, maupun kerusakan di lautan; seperti terjadinya tsunami, pencemaran air laut, terbakarnya kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker, matinya ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut.
Pelajaran Ketiga : “ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ “ (akibat perbuatan tangan manusia), artinya kerusakan-kerusakan dan bencana-bencana alam yang terjadi bukanlah datang dari Allah secara langsung, agar manusia menjadi menderita dan binasa, tetapi yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan munculnya bencana adalah manusia itu sendiri, karena Allah tidaklah mendhalimi manusia sedikitpun, tetapi manusia sendirilah yang mendhalimi diri mereka sendiri.
Manusialah yang merusak hutan-hutan dengan menebang pohon-pohonnya dan membakarnya, manusialah yang merubah tanah-tanah yang subur menjadi apartemen-apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan, hal itu diperparah dengan sampah-sampah yang dibuang di sungai-sungai, sehingga terjadilah banjir di mana-mana. Manusialah yang mendirikan pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap-asap beracun dan menjadikan sungai-sungai tercemar dengan limbah industri dan sisa insektisida. Manusialah yang memproduksi kendaran bermotor secara besar-besaran, manusialah yang membuat pabrik-pabrik rokok dan mengisapnya sehingga udara menjadi tercemar. Semua itu bisa memicu munculnya berbagai macam penyakit, seperti penyakit paru-paru, mata perih, gangguan pernafasan, kanker kulit dan penyakit asma.
Pelajaran keempat : “ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا“ (supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka), artinya bahwa kerusakan-kerusakan dan musibah-musibah yang terjadi terus-menerus itu merupakan adzab Allah yang ditimpakan kepada manusia karena perbuatan mereka yang bermaksiat kepada Allah. Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai “Al- Jaza’ Min Jinsi Al-Amal “ (balasan itu sesuai dengan perbuatan). Manusia yang merusak, maka manusialah yang menanggung akibat perbuatannya sendiri.
Yang perlu dicatat bahwa Allah menimpakan musibah kepada manusia akibat “sebagian“ perbuatan manusia. Jadi Allah hanya membalas sebagian perbuatan maksiat manusia. Ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada manusia. Sifat Allah ini lebih mendominasi dari sifat Adil. Kalau Allah menghukum manusia sesuai dengan kadar maksiatnya, maka niscaya manusia akan binasa semuanya dan dunia ini akan hancur lebur. Allah Subhanu Wata’ala berfirman :
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun.“ (Qs. Fathir : 45)
Tetapi Allah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf, memaafkan sebagian dosa-dosa manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“ Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” ( Qs. asy-Syura : 30)
Pelajaran Kelima : عَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ” (agar mereka kembali), yaitu ketika Allah menimpakan musibah dan penyakit kepada manusia di dalam kehidupan dunia ini tidaklah bertujuan agar manusia menjadi sengsara, tetapi agar manusia mengambil pelajaran dari musibah tersebut dan kembali kepada ajaran Allah, agar manusia menyadari bahwa hidup yang dipenuhi dengan dosa dan maksiat akan membawa malapetaka, musibah, muculnya berbagai macam penyakit dan kerusakan dimana-mana. Dan sebaliknya bahwa hidup yang diisi dengan ketaatan akan mendatangkan berkah, perbaikan-perbaikan, kesehatan jasmani ruhani dan kebahagian dunia akhirat.
Oleh karenanya, kita semua berharap mudah-mudahan musibah-musibah yang terjadi di sekiling kita ini, dan penyakit-penyakit yang kita derita selama ini bisa menggerakkan hati dan jiwa kita untuk kembali kepada ajaran Allah dengan memperbaharui tauhid dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amin.
*Dr. Ahmad Zain An Najah, MA, Penulis adalah Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi. (ahmadzain.com)
0komentar :
Posting Komentar