Hadits Mutawatir & Pembagiannya." Ditinjau dari segi rawi (perawi atau orang yang meriwayatkan),, hadits dibagi dalam dua bentuk besar. Bentuk pertama terbagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad. Bentuk kedua terbagi atas mutawatir, ahad, dan masyhur. Konon bentuk pertama yang lebih praktis. Mengapa? Karena hadits masyhur itu sudah tercakup dalam hadits ahad yang terbagi atas masyhur, ’aziz, dan ghorib.
1. Pengertian Hadits Mutawattir
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.[1]
Dalam hal keotentikannya, hadits mutawatir sama dengan al-Qur’an, karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti adanya (qoth’i al-wurud). Itulah sebabnya para ’ulama sepakat bahwa hadits mutawatir wajib diamalkan. Berikut salah satu contoh hadits mutawatir itu: Muhammad Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempat (kembali)nya dalam neraka."[2]
Muhammad ‘Alawy juga menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu;
ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك في جميع الطبقات ان تعددت.
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra.[3]
2. Syarat-Syarat Hadits Mutawattir
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :
Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta.
Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Apakah untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu ??
1. Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
2. Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.
1. Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina.
2. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang berdasarkan pada masalahli’an.
3. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) :”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin”(QS. Al-Maidah ayat 12).
Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.[4]
3. Macam-Macam Hadits Mutawattir
Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir.
ما تواترت روايته على لفظ واحد
“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzi.”[5]
Misalnya hadits :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh 70 sahabat[6]. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a[7].
Contoh hadis ini adalah:
وقال ابو موسى الأشعرى دعا النبي صلى الله عله وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض ابطيه
“Abu Musa Al-‘Asyari berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”[8]
3. Mutawatir ‘Amali Yang dimaksud dengan hadis ini ialah:
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”
Macam hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.[9]
Keberadaannya
Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-hadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”.
Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja.
Hukum Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. [10]
[1] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/hadits-mutawatir/
[2] HR. Bukhori, Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Thobroni, dan Hakim
[3] kitab Al-Minhal al-Lathif fi Ushulil Hadits asy-Syarif
[4] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/hadits-mutawatir/
[5] Drs. Munzier Suparta, M.A. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.,h.87
[6] DR. Mahmud Thahan. Ilmu Hadits Praktis (terjemah Abu Fuad). Bogor: Pustaka Thanqul Izzah, 2006, h.21-22
[7] lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’ Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4
[8] Munzier, op. cit. p.90
[9] Munzier, op. cit. h.90-91
[10] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/hadits-mutawatir/ (Nudhatun-Nadhar Syarh Nukhbatul-Fikr, Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani halaman 24; Taisir Mustahalah Hadits, Dr. Mahmud Ath-Thahhan halaman 19, Tadribur-Rawi halaman 533)
0komentar :
Posting Komentar