Hadits Dha'if dan Pembagiannya
Pengertian Hadits Dha’if
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح
ولا صفات الحديث
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. [1] Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.[2]
Klasifikasi Hadits Dha’if
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a. Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
b. Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
c. Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
1). Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
2). Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
d. Hadits Mu’dhal
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
d. Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.[3]
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a. Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
b. Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a. Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
b. Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c. Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
d. Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a. Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
b. Hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5. Dha’if dari segi matan
a. Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
b. Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
[1] Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 157.
[2] Yuseran Salman, Hadits-Hadits Thaharah Dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid; Studi Kualitas Hadits & Implikasinya dalam Istinbath Hukum, Jogyakarta: UII Press, 2001.
[3] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif. tt., hlm. 204-224.
Pengertian Hadits Dha’if
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح
ولا صفات الحديث
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. [1] Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.[2]
Klasifikasi Hadits Dha’if
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a. Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
b. Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
c. Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
1). Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
2). Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
d. Hadits Mu’dhal
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
d. Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.[3]
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a. Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
b. Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a. Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
b. Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c. Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
d. Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a. Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
b. Hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5. Dha’if dari segi matan
a. Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
b. Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
[1] Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 157.
[2] Yuseran Salman, Hadits-Hadits Thaharah Dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid; Studi Kualitas Hadits & Implikasinya dalam Istinbath Hukum, Jogyakarta: UII Press, 2001.
[3] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif. tt., hlm. 204-224.
0komentar :
Posting Komentar