Islam mengajak umatnya agar bersuci. Suci lahir, suci batin, dan suci segala-galanya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
الطُّهُوْرُ شَطْرُالاِيْمَانِ
“Suci separuh dari iman.” (HR. Muslim)
Karena itu Allah menjadikan kesucian yang sempurnya menjadi salah satu syarat sahnya shalat.
لاَتُقْبَلُ صَلاَ ةٌ بِلاَ طُهُوْرٍ
“Allah tidak menerima shalat seseorang yang tanpa thoharoh (bersuci).” (HR. Muslim)
Salah satu bentuk bersuci yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan adalah mandi. Di mana hal itu telah Allah tetapkan dalam Al-Qur’an dan juga Hadist.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian dalam keadaan junub, maka mandilah.” (QS. Al-Ma’idah: 6)
Demikian juga dalam firman Allah yang lain,
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Janganlah menghampiri masjid, sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, sehingga kalian mandi.” (QS. An-Nisa: 43)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا تَجَاوَزَ الخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ
“Apabila dua kemaluan saling bersentuhan, maka telah diwajibkan atas keduanya untuk mandi.” (HR. Muslim)
Mandi di sini adalah membasahi seluruh tubuh dengan air. Mandi di sini mesti diawali dengan niat untuk mandi wajib. Menetapkan niat dalam mandi ini merupakan hal yang wajib bagi laki-laki maupun wanita.
Hal-hal yang mewajibkan mandi
Pertama: Keluarnya mani karena syahwat, baik dalam tidur maupun tidak
Hendaklah diketahui, bahwa keluarnya mani yang disertai rasa nikmat mewajibkannya untuk mandi, baik itu dalam keadaan tidur maupun tidak. Ini merupakan pendapat para fuqaha secara umum. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist, bahwa Ummu Sulaim pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحي مِنَ الحَقِّ هَلْ عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ اِحْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: نَعَمْ إِذَا رَأَتْ المَاءَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran (maka aku pun tidak malu untuk bertanya): Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia bangun.” (Muttafaqun Alaih)
Para ulama menyebutkan tiga ciri-ciri air mani:
Keluar dengan memancar.
Memiliki bau yang khas. Jika sudah kering maka baunya seperti bau telor dan jika basah maka baunya seperti bau adonan.
Ketika keluar tubuh menjadi lemas.
Adapun warnanya maka air mani laki-laki itu berwana putih dan kental, sedangkan bagi wanita berwarna kuning dan encer.
Maka perlu diketahui juga bahwa jika air mani keluar saat tidur maka wajib mandi, baik ada tanda-tanda di atas maupun tidak, sebab orang yang tidur terkadang tidak merasakannya. Ini sering terjadi apabila seseorang bangun dan menemukan bekas air mani, padahal dia tidak merasa bermimpi. Hal ini berdasarkan hadist yang telah disebutkan di atas, yaitu ketika Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallamtentang seorang wanita yang bermimpi seperti mimpinya laki-laki, apakah dia wajib mandi? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menjawab,
نَعَمْ إِذَا رَأَتْ المَاءَ
“Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia bangun.” (Muttafaqun Alaih)
Artinya, ketika itu wajib mandi apabila melihat air mani. Tidak ada syarat selain itu. Maka ini jelas menunjukan kewajiban mandi bagi orang yang bangun dari tidur dan menemukan air mani, baik dia merasakan keluarnya maupun tidak, baik dia telah yakin bermimpi maupun tidak, sebab orang yang tidur bisa saja lupa.
Kedua: Jima’ (bersetubuh) sekalipun tidak mengeluarkan mani
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شَعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ
“Apabila seseorang duduk di antara empat anggota badan (istrinya), lalu bersungguh-sungguh memperlakukannya (yaitu jima’), maka ia wajib mandi, sekalipun tidak mengeluarkan (air mani).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 152 dan Muslim I:271 no: 384).
Makna jima’ di sini adalah masuknya bagian ujung kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita. Dan makna “masuk” adalah masuk dan tidak kelihatan lagi. Apabila seorang laki-laki memasukkan ujung kemaluannya ke dalam kemaluan wanita hingga tidak terlihat lagi maka laki-laki dan wanita itu wajib mandi, baik keluar air mani maupun tidak.
Ketiga: Masuk Islamnya orang kafir
Apabila orang kafir masuk islam maka dia wajib mandi, baik dia adalah kafir asli atau kafir murtad.
Kafir asli adalah dari awal hidupnya tidak beragama Islam, seperti orang Yahudi, Nasrani, Budha dan semisalnya.
Kafir murtad adalah orang Islam yang keluar dari agama, -kita memohon keselamtan kepada Allah-. Seperti orang yang meninggalkan shalat atau meyakini bahwa Allah memiliki sekutu (dzat yang setara dengan-Nya), atau menyeru Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar beliau menolongnya dalam kesulitan, atau menyeru orang lain agar dia menolongnya dalam suatu perkara yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Allah semata.
Adapun dalil wajibnya mandi karena memeluk agama Islam adalah sebagai berikut:
Pertama: Hadist Qais bin Ashim,
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍوَسِدْرٍ
“Dari Qais bin Ashim Radhiyallahu Anhu bahwa ia masuk Islam, lalu diperintah oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar mandi dengan menggunakan air yang dicampur dengan daun bidara.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 128, Nasa’I I: 109, Tirmidzi, II:58 no: 602 dan ‘Aunul Marbud II: 19 no: 351).
Kedua: Orang yang masuk Islam berarti mensucikan batinnya dari najis kemusyrikan. Maka, sangat baik sekali bila lahirnya dia sucikan dengan mandi.
Keempat: Meninggal dunia
Maksudnya, apabila seseorang meninggal dunia maka kaum muslimin yang lain wajib memandikannya. Adapun dalilnya adalah:
1) Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam terkait orang yang diinjak oleh unta hingga meninggal di Arafah,
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikan dia dengan air dan sidr (bidara).” (Muttafaqun ‘alaih)
2) Hadist Ummu ‘Athiyah ketika anak wanitanya meninggal dunia. Dalam hadist ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ
“Mandikan dia sebanyak tiga kali (siraman), lima kali, tujuh kali atau lebih jika kalian menganggap itu perlu.”(Muttafaqun ‘alaih)
Perlu diketahui di sini, jika ada seorang muslimah yang meninggal maka harus di mandikan oleh sesama muslimah bukan bapak, paman, atau saudara laki-laki kandungannya meskipun mereka mahromnya. Akan tetapi, jika dimandikan oleh suaminya maka boleh.
Kelima: Haidh
Apabila seorang wanita telah selesai haidh maka diwajibkan baginya untuk mandi. Berhentinya darah haidh (yang keluar dari rahim) merupakan syarat wajibnya mandi. Oleh karena itu, apabila dia mandi sebelum suci (darah berhenti keluar) maka mandinya tidak sah, sebab di antara syarat sah mandi adalah suci. Adapun dalil wajib mandi karena haid adalah
Firman Allah telah mengisyaratkan perbuatan ini,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Maksud “mereka telah suci” adalah mereka telah mandi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي وَصَلِّيْ
“Jika telah tiba masa haidhmu maka tinggalkan shalat, dan bila selesai masa haidmu maka mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Bukhari)
Selain itu, hadist yang berasal dari Fathimah binti Abi Hubaisy Radhiyallahu anha, ia menceritakan pada RasulullahShallallahu Alaihi Wa Sallam bahwa dia mengalami haid, lalu beliau memerintahkannya untuk berhenti melakukan ibadah karena ia tidak dalam keadaan suci. Kemudian setelah darah berhenti keluar, dia diperintahkan untuk mandi dan shalat.
Keenam: Nifas
Nifas adalah darah yang keluar pada saat persalinan, baik keluar sebelum persalinan, yaitu selama dua atau tiga hari ataupun setelah persalinan dengan dibarengi rasa sakit. Adapun dalil kewajiban mandi karena nifas adalah karena ia salah satu jenis haid. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebut haid dengan kata nifas. Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang sedang haidh,
لَعَلِّكِ نَفِسْتِ
“Barangkali saja engkau nifas.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makna “nifas” di sini adalah haidh karena ‘Aisyah tidak pernah melahirkan anak sehingga ‘Aisyah tidak mengalami nifas. Akan tetapi hadist ini dapat digunakan sebagai dalil bahwa nifas sama dengan haid yang berarti hukum-hukum seputar nifas sama dengan haidh, salah satunya berkaitan dengan wajibnya mandi bagi wanita seusai nifas sebagaimana hal itu juga diwajibkan bagi wanita seusai masa haidh.
Wallahua’lam
Referensi:
Buku “Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah” (terjemah dari Fiqhul Mar’atil Muslimah) karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit: Akbarmedia
Buku “Al-Wajiz” (terjemah dari Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah walkitabil ‘Aziz) karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, penerbit: Pustaka as-Sunnah.
Buku “Fikih Wanita Edisi Lengkap” (terjemah dari Al- Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’) oleh Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, penerbit Pustaka Al Kautsar
Buku “Ensiklopedi Wanita Muslimah” (terjemah dari Mausu’ah Al-Mar’atul Muslimah) oleh Haya binti Mubarok Al-Barik, penerbit: Darul Falah
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
0komentar :
Posting Komentar