Wahai Muslimah, Jadilah Pendukung Dakwah yang Gagah." Kunanti engkau harap-harap cemas, di antara sekian harapan yang mampu menyemai kekuatan dalam diri. Ya, inilah perasaan khas wanita, seorang calon ibu. Apalagi ketika harus merelakan ayahmu pergi mengikuti pelatihan dakwah tugas dari lembaga, kala detik-detik kelahiranmu telah menunggu hari. Maka, siapakah lagi yang mampu kupintai penjagaan terbaik kalau bukan Dia semata?
Kucoba mengenang peran para shahabiyah, wanita-wanita teladan produk madrasah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lolos menjadi pendukung dakwah karena kegagahannya.
Khadijah yang Gagah
Khadijah, wanita utama itu terpilih menjadi saksi beratnya dakwah di masa awal Islam. Ia memandang dengan gagah ketika suaminya memilih ber-uzlah di Goa Hira’ sekian lamanya, tanpa banyak bicara, apalagi banyak protes.
Ia mendukung suaminya, tanpa banyak merecokinya dengan banyak pertanyaan, apalagi permintaan. Justru disediakannya setiap kebutuhan dan dikirimkannya lewat utusan dengan sebaik-baiknya. Maka wajar jika Rasulullah terkenang sedemikian dalam akan sosok Khadijah.
Berikutnya madrasah Rasulullah melahirkan wanita-wanita perkasa, yang harus jujur diakui, peran mereka dalam perjuangan Islam jauh melebihi apa yang diperjuangkan oleh para feminis akan kesetaraan jender akhir-akhir ini. Jauh sekali.
Maka, apalah artinya Aminah Wadud yang bangga menjadi imam dan khatib shalat Jum’at? Bukankah dahulu seorang wanita pernah protes kepada Rasulullah kenapa wanita tidak mendapat giliran kewajiban ikut menikmati kemuliaan jihad? Hingga telah tercatat nama-nama perempuan pemberani di medan laga.
Walaupun Allah dan Rasulullah tidak mewajibkannya, namun harumnya surga telah menarik hati mereka untuk ikut bertempur. Dan yang mereka lakukan semata-mata ingin mendapatkan kemuliaan di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan sekadar ingin menaikkan harga diri.
Jadi, untuk apa setiap wanita berlomba-lomba keluar rumah atas nama emansipasi? Jika proses belajar itu dilakukan untuk mencari bekal agar dapat mendukung perannya sebagai pemegang kunci peradaban, sungguh itu mulia. Namun, jika hanya dilakukan untuk pemuasan diri, kemudian menjadikannya alasan meninggalkan rumah untuk mengamalkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah agar tidak sia-sia, dan membayar setiap penjagaan dan perawatan anak kepada pembantu, apakah hal itu cukup sebanding?a
Kerja Keras Asma
Jika setiap rezeki yang dihasilkan dari tangan wanita (istri) telah membuat kita berbangga diri dan meremehkan posisi suami, sehingga berkurang ketaatan dan penghormatan padanya, maka bayangkanlah apa yang terjadi pada Asma binti Abu Bakar.
“Zubeir menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air, dan mengadon air. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah dari tanahnya Zubeir yang aku sunggi di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh.”
“Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah bersama seseorang. Beliau memberi isyarat dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya, namun saya merasa malu dan saya ingat Zubeir dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu.”
“Tatkala saya sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubeir. Dia berkata, ‘Demi Allah, engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku daripada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.’”
Kemudian Asma berkata, “Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim pembantu setelah itu, sehingga saya merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan dia telah membebaskanku.”
Tangan Zainab
Jika setiap kelebihan rezeki yang dilewatkan tangan para istri ternyata hanya membawa kesombongan dan hura-hura karena merasa mampu mencukupi kebutuhan sendiri, maka lihatlah Zainab binti Jahsy. Bukankah ia yang dikatakan Rasulullah sebagai wanita yang paling panjang tangannya?
Aisyah berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih baik dien-nya dari Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, dan paling jujur perkataannya, paling banyak menyambung silaturrahim, dan paling banyak sedekah, paling sungguh-sungguh dalam beramal dengan jalan sedekah dan taqarrub kepada Allah.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istrinya, “Orang yang paling cepat menyusulku di antara kalian adalah yang paling panjang tangannya.”
“Maka apabila kami berkumpul, sepeninggal beliau kami mengukur tangan kami di dinding, untuk mengetahui siapakah yang paling panjang tangannya di antara kami. Hal itu kami lakukan terus hingga wafatnya Zainab binti Jahsy, kami tidak mendapatkan yang paling panjang tangannya di antara kami. Maka ketika itu barulah kami mengetahui bahwa yang dimaksud dengan panjang tangan adalah banyak sedekah. Adapun Zainab bekerja dengan tangannya menyamak kulit kemudian dia sedekahkan di jalan Allah.”
***
Maka kupintakan setiap penjagaan atasmu. Banyak wanita yang kehilangan jati diri. Harga diri mereka tinggikan dengan cara menggugat Al Qur’an dan hadits. Sedangkan kehebatan, mereka ukur dengan kepuasan-kepuasan semu atas nama pemberdayaan perempuan dan hak-hak reproduksi perempuan.
Jika kemuliaan yang mereka harapkan, maka kemuliaan yang manakah yang mereka usahakan saat ini? Setarakah usaha mereka menggugat Al-Qur`an dan hadits dengan perjuangan perempuan-perempuan di Palestina itu? Sebandingkah keringat mereka dengan keringat Asma yang mempersembahkan cucurannya menjadi pendukung suaminya? Dan semuliakah harta mereka dibanding harta Zainab yang dengan tangannya menyamak kulit untuk disedekahkan di jalan Allah?
Ya, engkau lahir perempuan, dini hari, tatkala zaman telah makin akhir. Fitnah-fitnahnya semakin nyata. Kukenang kegagahan Asma binti Abu Bakar. Kukenang pula pengayoman Khadijah atas suaminya. Kukenang keberanian para syahidah. Sungguh, kita butuh banyak perempuan tangguh yang siap mendukung para laki-laki beriman berjuang di jalan-Nya.
Zaman menunggumu, anakku. Islam memuliakanmu sebagai wanita. Karena itu, tak ada alasan bagimu menggugatnya.
Engkau hanya perlu mempersembahkan dirimu untuk mendukung penuh setiap geliat perjuangannya. Engkau boleh bangga dengan ke-Islamanmu. Tapi apakah Islam pasti bangga dengan dirimu? Itu yang harus engkau persiapkan.
Cinta butuh bukti. Iman butuh amal. Karena itu, jadilah Muslimah yang membanggakan Islam. Jadilah engkau, pendukung dakwah yang gagah. Semoga engkau bisa turut menjadi penolong agama Nabi Muhammad. Amin.*/Tulus Kurniawati
Rep: Sahid
Red: Cholis Akbar
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Rating: 5
0komentar :
Posting Komentar