Rasa Bahagia, Jika Bisa Membahagiakan Istri." Banyak pasangan bertanya, bagaiamana tips agar kita dapat membahagiakan pasangan kita? Kita tidak akan bahagia selagi orang di sisi kita tidak ikut bahagia. Itulah kuncinya. Impilikasinya, agar kita bahagia, carilah orang yang paling dekat dengan kita dan bahagiaakanlah mereka. Setelah itu, barulah kita akan merasa bahagia. Sesungguhnya bahagia itu bukan "benda" yang akan berkurang bila diberikan, tetapi ia seumpama cahaya yang semakin "diberikan" akan bertambah sinar terangnya. Ada kata orang bijak pandai, “dengan menyalakan lilin ke orang lain, lilin kita tidak akan padam... tetapi kita akan mendapat lebih banyak cahayanya.”
Siapakah orang –orang terdekat dan yang paling layak kita berikan kebahagiaan? Selain kedua ibu-bapa, maka para suami harus membahagiaan istrinya. Karena ialah yang paling utama harus mendapatkan kebahagiaan itu. Jika istri kita tidak merasa bahagia, jangan harap kita dapat membahagiakan orang lain. Dan paling penting, jika istri sudah menderita itu juga pertanda kita juga akan ikut menderita. Ingat, kita tidak akan bahagia selagi orang di sisi kita tidak ikut menikmati kebahagiaan.
Apakah langkah pertama untuk membahagiakan istri? Pertama, hargailah kehadirannya. Rasakan benar-benar bahwa si dia adalah anugerah Allah yang paling berharga. Jodoh kita itu merupakan anugrah yang telah dikirim Allah khusus sebagai teman hidup kita sepanjang masa ketika hidup di dunia ini. Karena itu, jangan pernah sia-siakan ia.
Ingatlah bahwa yang paling berharga di dalam rumah kita bukannya perabot, bukan peralatan eletronik, komputer ataupun barang-barang antik yang lain. Yang paling berharga ialah manusianya, istri atau suami kita itu. Itulah" modal insan" yang sewajarnya lebih kita hargai daripada segala-benda yang mudah rusak itu. Masalahnya, benarkah kita telah menghargai istri melebihi barang-barang berharga di rumah kita?
Sayang sekali, kadang lain difikiran lain pula yang dirasa. Coba renungkan, berapa banyak para suami yang lebih prihatin keadaan kendaraan mewahnya atau barang-barang berharganya dibanding perasaan istrinya. Batuk istri yang berpanjangan seolah tidak ikut ia (suami) rasakan, dibanding "batuk" kendaraan pribadinya. Jika mobilnya suaranya aneh, ada sedikit kerusakan, para suami cepat-cepat membawanya ke tempat resvice mobil. Sementara jika sakit istrinya, ia tak segera buru-buru mengantarkan ke dokter atau rumah sakit agar segera mendapatkan perawatan.
Bila kendaraan terdengar/terasa sedikit 'aneh', cepat-cepat dibawa ke bengkel, namun jika istrinya yang batuk-batuk, malah dibiarkan. Alasannya, itu batuk biasa, atau tanda badan sudah tua.
Banyak pria memilih menjadi 'workoholic'. Ia bekerja siang, malam, tak kenal cuti dan istirahat. Bila ditanya mengapa ia begitu sibuk? Dia menjawab, “ini demi anak dan istri.” Padahal, ketika pulang ke rumah, waktunya juga bukan untuk anak dan istrinya. Yang ada, ia justru mengabaikan istri.
Ada suami yang hobi memancing setiap akhir pekan. Sementara di saat yang sama, ia membiarkan anak-anak dan istrinya kesepian di rumah. Padahal saat itulah waktu luang yang mereka tunggu selama ini agar bisa berasama-sama setelah semua harinya dihabiskan di kantor dan tempat kerja.
Di sekitar kita banyak orang aneh. Ada yang mencari duit sampai tidak sempat menikmati duit. Bila duit sudah terkumpul, kesehatan sudah tergadai, rumah tangga sudah berkecai, istri malah ikut terabai.
Jadi bagaimana kita dapat mengharagai pasangan kita? Insya-Allah, bila ada kemauan pasti saja ada jalan. Dunia akan menyediakan jalan kepada orang yang bersungguh-sungguh. Kata orang, kasih, cinta dan sayang seumpama aliran air, senantiasa tahu ke arah mana ia hendak mengalir. Mulakan dengan memandangnya dengan perasaan kasih, mungkin wajah istri kita sudah berkerut, tetapi rasakanlah mungkin separuh "kerutan" itu karena memikirkan kesusahan bersama kita. Mungkin uban telah penuh di kepalanya, tetapi uban itu "tanda bukti" pengorbanannya dalam membina rumah tangga bersama kita. Itulah pandangan mata hati namanya.
Kalau dulu semasa awal bercinta, pandangan kita dari mata turun ke hati. Tetapi kini, setelah lama bersamanya, pandangan kita mesti lebih murni. Tidak dari mata turun ke hati lagi, tetapi sudah dari hati "turun" ke mata. Jika saat pertama kita terpaut karena "body", kinia yang kita lihat lebih jauh lagi, namanya “budi”. Yang kita pandang bukan lagi urat, tulang dan daging lagi... tetapi suatu yang murni dan hakiki – kasih, kasihan, cinta, sayang, mesra, ceria, duka, gagal, jaya, pengorbanan, penderitaan – dalam jiwanya yang melakarkan sejarah kehidupan berumah tangga bersama kita!
Daripada pandangan mata hati itulah lahirlah sikap dan tindakan. Love is verb, cinta itu tindakan, kata penyair.
Para suami kaya pulang bersama cincin permata untuk menghargai si istri. Atau petani hanya membawa sebiji mangga untuk dimakan bersama sang "permaisuri". Buruh yang pulang bersama keringat disambut senyuman dan dihadiahkan seteguk air sejuk oleh istri tentunya lebih bahagia dan dihargai oleh seorang jutawan yang disambut di muka pintu villanya tetapi hanya oleh seorang "orang-orang yang digaji".
Begitulah ajaibnya cinta yang dicipta Allah, ia hanya boleh dinikmati oleh hati yang suci. Ia terlalu mahal harganya. Intan, permata tidak akan mampu membeli cinta!
Hargailah sesuatu selagi ia masih di depan mata. Begitu selalu pesan cerdik-pandai dan para pujangga. Malangnya, kita selalu lepas pandang. Sesuatu yang 'terlalu' dekat, kadang lebih sukar dilihat dengan jelas. Sementara yang jauh terkesan jelas. Istri di depan mata, tidak dihargai, tapi orang lain nun jauh dipuji-puji. Kajian menunjukkan bahwa para suami di Amerika lebih banyak meluangkan masa menonton TV daripada bercakap dengan istrinya. Bayangkanlah, tiga jam menonton TV bersama tanpa sepatah-katapun pada istri atau keluarga, apa untungnya? Padahal istri dan anaknya duduk bersebelahan dengannya hanya beberapa inci.
Bahkan jika kita di rumahpun, kadang lebih sibuk ber SMS dengan orang lain. Malam SMS kadang, SMS ke teman lebih banyak dibanding jika ia SMS dengan istri jika sedang berada di luar atau di kantor. No news is a good news. Begitu seharusnya , rasa di hati kita.
Hidup terlalu singkat. Hidup hanya sekali. Dan yang pergi tak akan pernah kembali lagi. Yang hilang, mungkin tumbuh lagi... Tetapi tidak semua perkara akan tumbuh seperti semula. Apakah ibu-bapa yang 'hilang' akan berganti? Apakah anak, istri, suami yang 'pergi'... akan pulang semula? Jadi, hargailah semuanya selama segalanya masih ada di dekat kita. Pulanglah ke rumah dengan ceria, tebarkan salam, lebarkan senyuman. Mungkin esok, anda tidak 'pulang' atau tidak ada lagi si dia yang selama ini begitu setia menunggu kita di balik pintu. Mungkin Anda 'pergi' atau dia yang 'pergi'. Karenanya, hargailah nyawa dan raganya dengan dengan perasaan sayang dan cinta. Sebab hakekatnya kita tidak akan bahagia, selagi orang di sisi kita tidak bahagia!*
Pahrol Mohamad Juoi, penulis dan motivator parenting, tinggal di Malaysia
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Sumber : iluvislam
Rep: Muhammad Usamah
Red: Cholis Akbar
Siapakah orang –orang terdekat dan yang paling layak kita berikan kebahagiaan? Selain kedua ibu-bapa, maka para suami harus membahagiaan istrinya. Karena ialah yang paling utama harus mendapatkan kebahagiaan itu. Jika istri kita tidak merasa bahagia, jangan harap kita dapat membahagiakan orang lain. Dan paling penting, jika istri sudah menderita itu juga pertanda kita juga akan ikut menderita. Ingat, kita tidak akan bahagia selagi orang di sisi kita tidak ikut menikmati kebahagiaan.
Apakah langkah pertama untuk membahagiakan istri? Pertama, hargailah kehadirannya. Rasakan benar-benar bahwa si dia adalah anugerah Allah yang paling berharga. Jodoh kita itu merupakan anugrah yang telah dikirim Allah khusus sebagai teman hidup kita sepanjang masa ketika hidup di dunia ini. Karena itu, jangan pernah sia-siakan ia.
Ingatlah bahwa yang paling berharga di dalam rumah kita bukannya perabot, bukan peralatan eletronik, komputer ataupun barang-barang antik yang lain. Yang paling berharga ialah manusianya, istri atau suami kita itu. Itulah" modal insan" yang sewajarnya lebih kita hargai daripada segala-benda yang mudah rusak itu. Masalahnya, benarkah kita telah menghargai istri melebihi barang-barang berharga di rumah kita?
Sayang sekali, kadang lain difikiran lain pula yang dirasa. Coba renungkan, berapa banyak para suami yang lebih prihatin keadaan kendaraan mewahnya atau barang-barang berharganya dibanding perasaan istrinya. Batuk istri yang berpanjangan seolah tidak ikut ia (suami) rasakan, dibanding "batuk" kendaraan pribadinya. Jika mobilnya suaranya aneh, ada sedikit kerusakan, para suami cepat-cepat membawanya ke tempat resvice mobil. Sementara jika sakit istrinya, ia tak segera buru-buru mengantarkan ke dokter atau rumah sakit agar segera mendapatkan perawatan.
Bila kendaraan terdengar/terasa sedikit 'aneh', cepat-cepat dibawa ke bengkel, namun jika istrinya yang batuk-batuk, malah dibiarkan. Alasannya, itu batuk biasa, atau tanda badan sudah tua.
Banyak pria memilih menjadi 'workoholic'. Ia bekerja siang, malam, tak kenal cuti dan istirahat. Bila ditanya mengapa ia begitu sibuk? Dia menjawab, “ini demi anak dan istri.” Padahal, ketika pulang ke rumah, waktunya juga bukan untuk anak dan istrinya. Yang ada, ia justru mengabaikan istri.
Ada suami yang hobi memancing setiap akhir pekan. Sementara di saat yang sama, ia membiarkan anak-anak dan istrinya kesepian di rumah. Padahal saat itulah waktu luang yang mereka tunggu selama ini agar bisa berasama-sama setelah semua harinya dihabiskan di kantor dan tempat kerja.
Di sekitar kita banyak orang aneh. Ada yang mencari duit sampai tidak sempat menikmati duit. Bila duit sudah terkumpul, kesehatan sudah tergadai, rumah tangga sudah berkecai, istri malah ikut terabai.
Jadi bagaimana kita dapat mengharagai pasangan kita? Insya-Allah, bila ada kemauan pasti saja ada jalan. Dunia akan menyediakan jalan kepada orang yang bersungguh-sungguh. Kata orang, kasih, cinta dan sayang seumpama aliran air, senantiasa tahu ke arah mana ia hendak mengalir. Mulakan dengan memandangnya dengan perasaan kasih, mungkin wajah istri kita sudah berkerut, tetapi rasakanlah mungkin separuh "kerutan" itu karena memikirkan kesusahan bersama kita. Mungkin uban telah penuh di kepalanya, tetapi uban itu "tanda bukti" pengorbanannya dalam membina rumah tangga bersama kita. Itulah pandangan mata hati namanya.
Kalau dulu semasa awal bercinta, pandangan kita dari mata turun ke hati. Tetapi kini, setelah lama bersamanya, pandangan kita mesti lebih murni. Tidak dari mata turun ke hati lagi, tetapi sudah dari hati "turun" ke mata. Jika saat pertama kita terpaut karena "body", kinia yang kita lihat lebih jauh lagi, namanya “budi”. Yang kita pandang bukan lagi urat, tulang dan daging lagi... tetapi suatu yang murni dan hakiki – kasih, kasihan, cinta, sayang, mesra, ceria, duka, gagal, jaya, pengorbanan, penderitaan – dalam jiwanya yang melakarkan sejarah kehidupan berumah tangga bersama kita!
Daripada pandangan mata hati itulah lahirlah sikap dan tindakan. Love is verb, cinta itu tindakan, kata penyair.
Para suami kaya pulang bersama cincin permata untuk menghargai si istri. Atau petani hanya membawa sebiji mangga untuk dimakan bersama sang "permaisuri". Buruh yang pulang bersama keringat disambut senyuman dan dihadiahkan seteguk air sejuk oleh istri tentunya lebih bahagia dan dihargai oleh seorang jutawan yang disambut di muka pintu villanya tetapi hanya oleh seorang "orang-orang yang digaji".
Begitulah ajaibnya cinta yang dicipta Allah, ia hanya boleh dinikmati oleh hati yang suci. Ia terlalu mahal harganya. Intan, permata tidak akan mampu membeli cinta!
Hargailah sesuatu selagi ia masih di depan mata. Begitu selalu pesan cerdik-pandai dan para pujangga. Malangnya, kita selalu lepas pandang. Sesuatu yang 'terlalu' dekat, kadang lebih sukar dilihat dengan jelas. Sementara yang jauh terkesan jelas. Istri di depan mata, tidak dihargai, tapi orang lain nun jauh dipuji-puji. Kajian menunjukkan bahwa para suami di Amerika lebih banyak meluangkan masa menonton TV daripada bercakap dengan istrinya. Bayangkanlah, tiga jam menonton TV bersama tanpa sepatah-katapun pada istri atau keluarga, apa untungnya? Padahal istri dan anaknya duduk bersebelahan dengannya hanya beberapa inci.
Bahkan jika kita di rumahpun, kadang lebih sibuk ber SMS dengan orang lain. Malam SMS kadang, SMS ke teman lebih banyak dibanding jika ia SMS dengan istri jika sedang berada di luar atau di kantor. No news is a good news. Begitu seharusnya , rasa di hati kita.
Hidup terlalu singkat. Hidup hanya sekali. Dan yang pergi tak akan pernah kembali lagi. Yang hilang, mungkin tumbuh lagi... Tetapi tidak semua perkara akan tumbuh seperti semula. Apakah ibu-bapa yang 'hilang' akan berganti? Apakah anak, istri, suami yang 'pergi'... akan pulang semula? Jadi, hargailah semuanya selama segalanya masih ada di dekat kita. Pulanglah ke rumah dengan ceria, tebarkan salam, lebarkan senyuman. Mungkin esok, anda tidak 'pulang' atau tidak ada lagi si dia yang selama ini begitu setia menunggu kita di balik pintu. Mungkin Anda 'pergi' atau dia yang 'pergi'. Karenanya, hargailah nyawa dan raganya dengan dengan perasaan sayang dan cinta. Sebab hakekatnya kita tidak akan bahagia, selagi orang di sisi kita tidak bahagia!*
Pahrol Mohamad Juoi, penulis dan motivator parenting, tinggal di Malaysia
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Sumber : iluvislam
Rep: Muhammad Usamah
Red: Cholis Akbar
Rating: 5
amin,mudah2an aq bs menyayangi dan menghargai...
BalasHapuspass banget ni, bahagianya kita, bahagianya istri..hehe
BalasHapussahabatmembaca.org