Membangun Visi Hidup Lebih Bernas." Sesungguhnya tujuan puncak seorang Muslim dalam kehidupannya di dunia adalah menggapai ridha Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Dengan ridha-Nya semua kebutuhan manusia secara jasmani dan ruhani terpenuhi. Bahagia di dunia dan selamat di akhirat.
Secara individu semua orang ingin merasakan kehidupan yang berbobot (hayatan thayyiban), keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, perkampungan yang diberkahi, negeri yang adil dan makmur, beberapa negara yang sejahtera dan penuh ampunan-Nya.
Kualitas kehidupan kita baik secara infiradi dan jama'i, baik dalam aspek ideologi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaaan, pertahanan keamanan berbanding lurus dengan bobot moralitas kita. Nilai-nilai ketuhanan searah dengan nilai-nilai produktifitas (ekonomi berkah).
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al Araf (7) : 96).
Sasaran keimanan pada ayat di atas adalah person (ahlun) dan diperagakan dalam sebuah lingkungan sosial tersendiri (al Qura). Kawasan yang tidak terkontaminasi oleh hukmul jahiliyah, dhannul jahilyyah, hamiyyatul jahiliyyah dan tabarrujul jahiliyah.
Karena Islam adalah agama dakwah dan dinul intisyar (agama yang harus disebar). Seorang mukmin itu akan terpelihara idealismenya jika didukung oleh orang-orang terdekatnya. Minimal anak dan istri dan tetangga.
Jadi, keridhaan Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan menjamin kehidupan seorang Muslim secara utuh dan seimbang. Potensi manusia akan digali secara optimal dan maksimal. Tidak ada sisi-sisi tertentu yang ditonjolkan, sementara mengabaikan aspek yang lain. Tidak ada dikotomi dalam ajaran Islam. Islam mewadahi potensi ijtihad, mujahadah dan jihad secara sinergis.
"Ingatlah para kekasih Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. Yunus (10) : 62-64).
Pada ayat tersebut menggunakan redaksi fiil madhi ‘aamanuu’ (mereka yang telah beriman). Dan memakai redaksi fiil mudhari ‘wa kaanuu yattaqun’ (dan mereka selalu bertakwa). Jadi keimanan yang selalu dipelihara dengan taqwa secara berkesinambungan.
Karena di antara makna fiil mudhari’ adalah lil istimror (secara terus menerus). Yakni dilakukan dengan istiqomah (konsisten). Di antara ciri amal seorang Muslim adalah susul menyusul bagaikan rintik-rintik hujan. Karena amal yang dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah yang dilakukan secara ajeg (berantai), sekalipun sedikit. Sedikit demi sedikit tetapi ada kenaikan grafik.
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata : Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat akan turun mereka (dengan berkata) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surge yang telah dijanjikan kepadamu." (QS. Fussilat (41) : 30).
Membangun Komitmen
Syarat utama dalam membangun komitmen keislaman adalah keyakinan seorang Muslim harus steril dari berbagai kontaminasi kekafiran, kemunafikan, kezaliman dll. Dan mengimani apa-apa yang diyakini oleh pendahulu yang shalih dan para imam yang teruji otoritas keilmuan dan kebersihan hatinya, keshalihan, ketakwaannya serta pemahamannya yang bersih, benar dan lurus terhadap Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
Banyak wasilah (perantara) menuju surga dan ridha-Nya. Tetapi, secara global (mujmal) disimpulkan ada tiga amalan.
Pertama, ridho kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala melebihi dari mahabbah (kecintaan). Sebab kecintaan hanya berukuran sesuai dengan wadah hati (tempat tumbuhnya benih cinta), sedangkan ridha meluap (luber. bahasa Jawa).
Ketika kita ingat kalimat Rabb. Tergambar dalam doa yang kita panjatkan untuk sosok kedua orangtua.
"Ya Rabbku ampunilah dosa-dosaku dan kedua orangtuaku dan rahmatilah keduanya sebagaimana mereka merawatku di waktu kecil." (QS. Al Isra (17) : 23).
Bukankah kita selalu berhutang budi kepada mereka, selalu ingin membalas jasa-jasanya dan ingin bertemu dan dekat dengannya. Dan tidak ingin meninggalkannya untuk selama-lamanya. Karena kita meyakini, mustahil kita memiliki keturunan yang shalih/shalihah jika kita tidak shalih kepada mereka. Dengan menjadikan Allah sebagai Rabb, aqidah kita steril dari berbagai penyimpangan pola piker dan perilaku.
Kedua, ridha bahwa Islam Sebagai Jalan Kehidupan (minhajul hayah)
Islam adalah celupan Allah Subhanhu Wa Ta'ala (wadh’un ilahi) bagi yang tercerahkan (lidzawil ‘uqulis salimah) untuk menjamin kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat (lishalahi ma’asyihim wa ma’adihim).
Syariat Islam adalah perpaduan antara keyakinan dan amal shalih (iman dan islam). Jika islam dan iman terpisah, pertama bermakna kepasrahan secara utuh kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan kedua keyakinan secara penuh terhadap keputusan-Nya. Jika iman dan islam menyatu, berimakna islam secara kaffah. Jadi jika iman dan islam terpisah cenderung menyatu dan jika menyatu condong untuk terpisah. Karena kedua-duanya seiring, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Amal yang tidak berlandaskan iman sama jeleknya dengan iman yang tidak melahirkan amal. Celakalah orang yang pandai dalam berislam tetapi miskin aplikasi. Karena islam tidak sebatas serimonial tetapi serangkaian amal shalih. Dakwah yang paling efektif adalah melalui muslim yang menjadikan dirinya mushaf berjalan.
Islam sebagai fikrah dan minhajul hayah, setidaknya mengandung arti turunan (derivat). Arti tersebut menggambarkan tentang sistem kehidupan yang utuh dan seimbang. Pertama, salima minal mustaqdzirat (steril dari kontaminasi kekeruhan niat). Setting sosial menggambarkan penghuni yang mudah salam, sapa, supel, senyum dalam pergaulan. Kedua, at-Taslim (patuh pada Allah dan Rasul-Nya). Ajaran sendika dhawuh (taat) tampak dalam perilaku penduduknya yang qanaah dalam menerima rezki.
Mereka dengan keluguannya memandang patuh kepada sesepuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Ketiga, as Silmu (damai).
Sebagaimana pada umumnya penduduk desa, kehidupan yang penuh kedamaian sangat menonjol. Saling berbagi, saling membutuhkan, saling berempati, merupakan nilai-nilai curtural yang membuat saya dan teman-teman kerasan. Keempat, As Salam (kesejahteraan).
Nilai-nilai keislaman yang diwariskan tokoh pendahulu menjadikan arah kehidupan mereka lebih baik, utamanya dalam aspek ekonomi. Melihat kondisi social ekonomi yang kembang kempis dan motivasi para khatib untuk bekerja keras, banyak diantara mereka yang pergi merantau ke luar negeri (Malaysia). Disamping mendirikan warung di kota Gresik dan mengelola pertambakan. Kelima, As Salamatu (keselamatan). Nilai keislaman yang terakhir ini yang menjaga keutuhan kehidupan social di sebuah negara. Masing-masing individu menjadi penguat bagi yang lain.
Jika kita mengatur kehidupan manusia yang di dalam dirinya penuh rahasia, maka akan terjadi kesalahan fatal. Aturan manusia bersumber dari keterbatasan akal. Tentu hanya didasari syubhat (salah paham terhadap kebenaran) dan syahwat (hawa nafsu). Betapa celakanya jika manusia mengikuti aturan yang relative dan nisbi. Sungguh, yang memahami persis eksistensi manusia hanyalah Yang Maha Menciptakan.
Ketiga: Ridha, Muhammad Sebagai Rasul-Nya
Kecintaan kita kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak akan terwujud tanpa disertai kecintaan yang murni kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Berbeda dengan tokoh dunia, umumnya hanya unggul dalam satu bidang. Sedangkan Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah insan kamil (manusia sempurna), syakhshiyyatun jaami’ah (kepribadian yang utuh). Diakui oleh kawan dan lawan. Berbagai kelebihan tokoh terkumpul dalam kepribadiannya. Wajar, jika seorang mukmin menjadikan beliau sebagai uswah dan qudwah.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33) : 21).
Ayat tersebut kita bisa memahami, ada tiga pintu untuk menjadikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai panutan kehidupan kita. Yaitu, Petama : mengharap perjumpaan dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dengan penuh kerinduan. Orang yang berjumpa dengan-Nya akan mendapatkan pelayanan khusus dari-Nya. Dekat dengan pertolongan-Nya, dekat dengan rahmatnya, dekat dengan maghfirah-Nya, dekat dengan ridha dan surge-Nya. Kedua : Mendambakan kehidupan akhirat. Akhirat adalah harapan terakhir untuk menyempurnakan balasan dari-Nya. Dan bekal untuk menuju kehidupan abadi, hanya bisa dilakukan di dunia. Maka, dunia harus dijadikan ladang untuk beramal sebanyak mungkin. Ketiga : Banyak berzikir kepada-Nya. Dengan selalu mengingat-Nya akan terlibat dalam mengelola dan mengurai kerumitan kehidupan yang kita hadapi. *
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar
0komentar :
Posting Komentar