Melanjuti artikel tentang bank syariah, sekarang kita akan melihat pembiayaan bank syariah, salah satunya sebagai alternatif pembiayaan Industri Kreatif. Industri kreatif Indonesia dihadapkan pada enam permasalahan utama, yaitu kuantitas dan kualitas sumber daya insani, ketersediaan bahan baku, iklim usaha, apresiasi, teknologi informasi dan komunikasi, dan pembiayaan. Sulitnya memperoleh pembiayaan masih merupakan salah satu yang sering muncul ke permukaan, dimana ketiadaan agunan dan kurangnya pengetahuan tentang industri kreatif masih merupakan penyebab utama.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencari solusi permasalahan pembiayaan industri kreatif melalui berbagai program seperti KUR dan PKBL, sampai kepada upaya memasukkan terminologi industri kreatif dalam nomenklatur (tata nama keilmuan tertentu) kebijakan Bank Indonesia. Bahkan, telah tercipta Nota Kesepahaman antara Pemerintah dengan BNI 46 untuk kemudahan akses pembiayaan pelaku kreatif. Salah satu potensi sumber pembiayaan yang tampaknya luput dari perhatian adalah bank syariah, yang dipelopori Bank Muamalat Indonesia sejak 1991.
Melihat pola operasi bank syariah, pembiayaan jenis ini dapat menjadi alternatif bagi pelaku industri kreatif. Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang operasinya berdasarkan syariah, menghubungkan nasabah pemilik dana (Shahibul Maal) dengan nasabah yang membutuhkan dana (Mudharib).
Penghimpunan dana dari shahibul maal diperoleh dalam dua bentuk, yaitu Wadiah dan Mudharabah. Wadiah berbentuk produk giro dan tabungan, dan Mudharabah berbentuk dana investasi untuk dikelola bank seperti halnya deposito. Sementara itu penyaluran dana kepada mudharib dilakukan melalui dua prinsip yaitu prinsip bagi hasil dan prinsip jual beli.
Prinsip bagi hasil dilakukan secara mudharabah dan musyarakah yang tidak mengisyaratkan agunan dan bunga. Mudharabah yaitu bank memberi modal niaga kepada nasabah untuk diniagakan dengan perjanjian, dimana keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Sementara musyarakah adalah kerjasama antara bank dan nasabah, dimana bank setuju untuk membiayai usaha secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan persentase tertentu dari jumlah total biaya usaha dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha berdasarkan persentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Prinsip jual beli dilakukan secara murabahah, salam dan istishna dengan memberikan barang dan bukan uang pada produk jual beli, sehingga komitmen pengusaha tetap terjaga. Murabahah adalah pembiayaan berdasarkan akad jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank membeli barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan margin yang disepakati. Sedangkan salam adalah transaksi jual beli, dimana barang yang diperjualbelikan belum ada sehingga barang tersebut diserahkan secara tangguh oleh penjual (nasabah), sedangkan pembayaran secara tunai oleh pembeli (bank). Istishna menyerupai salam, namun pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa termin pembayaran. Istishna dilakukan untuk pembiayaan manufaktur dan konstruksi dengan spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti: jenis, ukuran, mutu dan jumlah dan harga jual dicantumkan dalam akad istishna serta tak boleh berubah selama berlakunya akad.
Jelas terlihat bahwa pola operasi bank syariah berbeda dengan pola bank konvensional. Pola operasi bank syariah didasari oleh semangat menolong. Semangat ini ditunjukkan oleh ketiadaan agunan, ketiadaan bunga, prinsip bagi hasil dan prinsip jual belinya. Ketiadaan agunan, ketiadaan bunga, prinsip bagi hasil, dan prinsip jual beli ini pulalah yang menjadi penyebab mengapa pembiayaan syariah dapat menjadi alternatif bagi pelaku kreatif yang sulit memperoleh pembiayaan dari bank-bank konvensional karena faktor agunan dan faktor kepercayaan terhadap industri kreatif.
Hingga saat ini, model pembiayaan syariah terus berkembang di Indonesia yang ditandai dengan semakin banyaknya bank-bank syariah baru di tanah air. Tidak kurang dari 16 bank syariah telah hadir di berbagai daerah di Indonesia.
Program-program pembiayaan syariah pun semakin berkembang, diantaranya adalah Pembiayaan Dana Berputar Bank Mandiri Syariah dan Pembiayaan Bisnis Modal Kerja iB dari Bank Mega Syariah. Pembiayaan Dana Berputar adalah fasilitas pembiayaan modal kerja dengan prinsip musyarakah yang penarikan dananya dapat dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan riil nasabah. Pembiayaan jenis ini memiliki persyaratan seperti nasabah komersial kecil, menengah, besar dan korporasi; nasabah harus membuat laporan penggunaan dana selama 1 (satu) bulan; fasilitas diberikan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja sementara; setiap periode penggunaan fasilitas Pembiayaan Dana Berputar harus digunakan untuk pencapaian realisasi sales sehingga dapat bagi hasil; dan memiliki aktifitas rekening koran yang aktif berkaitan dengan kegiatan bisnisnya.
Sementara itu Pembiayaan Bisnis Modal Kerja iB Bank Mega Syariah merupakan fasilitas pembiayaan modal kerja usaha produktif dengan menggunakan konsep syariah mudharabah dan musyarakah dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati antara bank dan nasabah. Modal kerja usaha produktif meliputi seperti pengadaan bahan baku, barang dagangan/persediaan, kebutuhan menutupi hutang/piutang usaha dan kebutuhan operasional dan ekspansi usaha lainnya. Persyaratan umum yang harus dipenuhi nasabah adalah Warga Negara Indonesia; perorangan, usia minimal 21 tahun dan pada saat pembiayaan lunas berusia maksimum 55 tahun; Badan Hukum (PT, Yayasan, Koperasi) dengan masa usaha minimal 2 (dua) tahun memiliki kinerja baik; tidak terdaftar dalam pembiayaan bermasalah Bank Indonesia dan Bank Mega Syariah; dan memenuhi persyaratan berdasarkan penilaian bank.
Industri-industri kreatif startup yang belum bankable dapat memanfaatkan pola penyaluran dana melalui bagi hasil, demikian juga dengan industri-industri kreatif yang akan mengembangkan usahanya. Sementara industri-industri kreatif yang membutuhkan peralatan dan mesin, seperti kerajinan dan fesyen, dapat memanfaatkan pola penyaluran dana melalui prinsip jual beli syariah untuk memperoleh kebutuhan peralatan dan mesinnya. Perkembangan menggembirakan dari bank syariah di Indonesia ini, kiranya dapat menjadi salah satu alternatif solusi permasalahan pembiayaan industri kreatif.
Ref: Erika Asdi (Peneliti Ekonomi Kreatif)
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
0komentar :
Posting Komentar