Para sahabat memandang penting kepemimpinan. Buktinya, setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam wafat, bersegeralah mereka kumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka lebih mementingkan suksesi kepemimpinan dibandingkan dengan menguburkan jenazah kekasih Allah Subhanhu Wa Ta'ala itu. Tiga hari tiga malam jenazah Nabi tertunda penguburannya. Padahal, memandikan mayat, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya merupakan fardlu kifayah. Artinya, mengadakan pergantian kepemimpinan negara lebih penting daripada penguburan mayat yang fardlu kifayah tersebut. Inilah hukum ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang dipahami oleh para sahabat. Pada sisi lain, realitas saat itu menunjukkan bahwa tidak semua kaum Muslim ikut. Mereka terdiri dari perwakilan kaum Muhajirin dan Anshor. Kaum Muslim yang tinggal di Makkah, tidak terlibat dalam proses di Saqifah itu. Para sahabat tidak pernah mewajibkan setiap orang (wajib 'ain) untuk terlibat mengangkat pemimpin, yang karenanya mengharamkan orang-orang yang tidak terlibat dalam proses pemilihan itu.
Pada sisi lain, adanya pemimpin itu untuk ditaati. Namun, pemimpin yang wajib ditaati hanyalah pemimpin dalam ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Haram hukumnya mentaati kemaksiatan. Kata Rasulullah, ”Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang bermaksiat kepada Sang Pencipta (al-Khaliq)” (HR. Ahmad).
Di dalam al-Quran pun Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dengan terang: ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (TQS. An-Nisa[4]:59).
Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: ”Andai saja seorang hamba (Allah) memimpin kalian dengan Kitabullah (al-Quran) maka dengarkanlah dan taatilah ia!” Jelas, pemimpin yang harus ada adalah pemimpin yang berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah. Wajar, bila Imam Ibnu Katsir memaknai ulul amri sebagai orang yang ahli dalam masalah agama dan fikir serta ulama. Karena, sejatinya mereka itu berpegang kepada Islam. Sejarah para sahabat menggambarkan bagaimana pemimpin yang wajib dipilih itu adalah mereka yang berpegang pada akidah Islam dan menerapkan syariat Islam. Wajib bagi mereka menerapkan Islam.
Kepemimpinan yang lurus demikian itulah yang harus tetap ada. Untuk itu, perlu koreksi. Lihatlah pidato politik Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq r.a di hadapan kaum Muslim saat mereka membaiatnya sebagai pemimpin umat Islam. ”Wahai seluruh manusia, aku telah resmi menjadi pemimpin kalian. Padahal, aku bukanlah yang lebih baik daripada kalian. Karenanya, jika aku baik, bantulah aku. Sebaliknya, jika sesat maka luruskanlah aku ... Patuhilah aku selama aku patuh kepada Allah dan RasulNya. Namun, bila aku menentang Allah dan RasulNya maka kalian tidak wajib taat kepadaku,” tegasnya.
Demikian pula pengganti beliau Amirul Mukminin, Umar bin Khathab. Suatu waktu dalam pidatonya beliau menegaskan: ”Wahai manusia, barangsiapa diantara kalian melihat saya bengkok (menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah), maka luruskanlah aku!” Kemudian, salah seorang diantara mereka berkata, 'Jika kami melihat anda bengkok maka kami akan meluruskanmu dengan tajamnya pedang kami'. Mendengar ungkapan itu, Khalifah Umar berkata, ”Alhamdulillah, Dia yang telah menjadikan pada umat Muhammad orang yang mau meluruskan kebengkokan Umar dengan perkataannya” (al-Khudri, Tarikhu al-Imam al-Islamiyah, Juz I, hal. 245). Begitu juga para pemimpin sesudahnya.
Kepemimpinan yang lalim, menjauhkan hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala, harus diubah, dihentikan dan tidak boleh dilanggengkan. Kaum Muslim pun tidak boleh mengangkat siapun yang memimpin bukan dengan aturan Allah Pencipta semesta. Imam ath-Thabari meriwayatkan dalam bukunya at-Tarikh bahwa Nabi Muhammad menyatakan: ”Barangsiapa melihat penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar janji Allah, menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa dan permusuhan terhadap hamba Allah, lau dia tidak mengubahnya dengan perkataan atau perbuatan maka Allah berhak untuk memasukkannya kedalam tempat mereka masuk (keburukan)”.
Jelaslah, kepemimpinan yang harus eksis adalah kepemimpinan yang lurus, yakni kepemimpinan yang menerapkan syariat Islam. Sebaliknya, kepemimpinan sekuler yang menjauhkan Islam dalam kehidupan bernegara merupakan kebengkokan. Kaum Muslim harus merubahnya, dan berlepas diri darinya (al-barra). ( media umat )
0komentar :
Posting Komentar