Siti Hajar, istri nabi Ibrahim As adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala kesulitan, kepahitan, keresahan yang ditempuh Siti Hajar bersama anak kecilnya, Nabi Ismail Alaihi Salam di tengah-tengah padang pasir , adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada amanah suaminya. Sungguh Ketaatan ibunda Hajar kepada Allah dan suami memberi ispirasi bagi umat manusia di kemudian hari hingga di abadikan Allah Subhanhu Wa Ta'ala sebagai salah satu ritual ibadah Haji yaitu Sa’i berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa
It’ibar kisah dari Al-Quran yang menggambarkan seorang isteri,yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup menempuh berbagai kesulitan hidup semata-mata karena taat akan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan suaminya Nabi Ibrahim Alaihi Salam, suatu teladan bagi muslimah sejati.
Mari kita simak sebagian kisah pengorbanan Siti Hajar.
Di tengah-tengah terik panas di padang pasir yang kering kerontang, Nabi Ibrahim Alaihi Salam , menunggang unta bersama Siti Hajar, menempuh perjalanan jauh datang ke suatu daerah yang sekarang dikenal kota Mekah. Sepanjang perjalanan, dikuatkan hatinya untuk terus bertawakal demi menjalankan perintah Allah. Dia yakin, Allah tidak akan menganiaya hamba-Nya. Pasti ada hikmah di balik perintah itu. Selepas kira-kira enam bulan perjalanan, tibalah mereka di sebuah lembah di tengah-tengah padang pasir. Nabi Ibrahim Alaihi salam turun dari untanya, meninggalkan Siti Hajar dan bayinya di bumi gersang itu.
Nabi Ibrahim Alaihi Salam berkata kepada Siti Hajar, “Nah, kamu harus tinggal di sini.” Nabi Ibrahim Alaihi Salam menyuruh istrinya, Siti Hajar, untuk tinggal di tempat tersebut tanpa dirinya, di daerah yang belum ada penduduknya. Daerah itu hanya berupa padang pasir, gunung batu, tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada sumur, juga tidak ada sungai.
Walaupun dalam keadaan seperti itu, Siti Hajar menerima perintah suaminya karena ia yakin bahwa perintah itu benar dan merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebagaimana yang ia katakan, “Allahu amaroka bi hadza ?” (Apakah Allah yang memerintah kepadamu agar saya tinggal di sini ?) Nabi Ibrahim menjawab, “Na’am.” (Iya.) Kemudian Siti Hajar berkata lagi, “Idzan la yudlayyi’uni.” (Jadi kalau begitu, Allah tidak akan membiarkanku.)
Ini merupakan gambaran seorang istri yang taat kepada suaminya. Ditinggalkan dakwah oleh suaminya. Ditinggalkan sendiri dan bukan satu atau dua hari karena perjalanan Nabi Ibrahim Alaihi Salam dari Mekah ke Syam sangat jauh dan belum ada pesawat udara. Hal itu bisa menjadi bahan renungan bagi kita, terutama tentang keadaan Siti Hajar. Bagaimana ia mendapatkan makanan, minuman, pakaian untuk melanjutkan hidupnya? Bahkan, tidak ada tempat tinggal dan tidak ada siapa-siapa. Namun, itu semua diterimanya dengan sabar, ikhtiar, dan tawakal karena sebagai wujud ketaatan terhadap suami yang hakikatnya ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Selanjutnya, selang beberapa waktu, persediaan air sudah habis, sedangkan anak yang masih kecil kehausan. Akhirnya ia mencari air di sekitar tempat itu, tetapi tidak ia dapatkan. Ia berkeliling dan pulang pergi dengan lari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa, tetapi tetap tidak mendapati air karena memang tidak ada sumber air.
Di luar dugaan, ketika Nabi Ismail kecil menggerak-gerakkan kakinya karena ingin minum, keluar air yang melimpah dari bawah padang pasir dan dengan suara yang bergemuruh. Mendengar dan melihat air tersebut, kemudian Siti Hajar mengisikan air tersebut ke dalam kirbat, sambil berkata, “Zumi-zumi !” (Berkumpullah !) Selanjutnya, tempat keluar air tersebut dinamakan sumur zam-zam dan airnya dinamakan air zam-zam.
Peristiwa Siti Hajar mencari air merupakan jejak sejarah yang dibicarakan berulang-ulang setiap tahun. Jejak peristiwa tersebut merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji, yaitu sai. Sai, selain ibadah yang merupakan napak tilas dari peristiwa Siti Hajar tersebut, juga mengandung ibrah (pelajaran) dan bahan renungan mengenai pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran seorang istri sekaligus seorang ibu yang ditinggalkan suaminya di tempat yang “seram”, hanya tinggal berdua dengan Ismail yang masih kecil. Kesabaran yang didasari keimanan menjadikan Siti Hajar berada dalam derajat yang tinggi, khususnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Demikianlah selintas napak tilas peristiwa Siti Hajar tersebut yang berkaitan dengan kesabaran. Adapun mengenai kesabaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan kata sabar di sembilan puluh tempat dalam Al-Quran, juga ditambah dengan keterangan tentang berbagai kebaikan dan derajat yang tinggi buah dari kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala .berfirman, “Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 96).
“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar : 10)
Tidak ada suatu amal yang dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,melainkan pahalanya diukur dan ditimbang dari kesabaran. Allah telah memberikan janji kepada orang yang sabar, yaitu akan diberi petunjuk dan karunia-Nya. Berkaitan dengan hal itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah : 157)
Ayat-ayat yang senada dengan ini banyak sekali, demikian pula di dalam hadist. Di antara hadist tersebut, yaitu yang artinya, “Tidaklah seseorang diberi karunia yang lebih baik dan lebih luas, selain dari kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesabaran merupakan spesifikasi yang dimiliki manusia. Kesabaran tidak digambarkan pada binatang dengan berbagai kekurangan dan dominasi nafsunya. Kesabaran juga tidak digambarkan pada malaikat karena malaikat diberi sifat ketaatan atas perintah Allah dan tanpa diberi nafsu untuk pembangkangan.
Adapun ciri sabar dapat dilihat dari sikap seseorang ketika awal terjadinya suatu musibah, masalah, atau cobaan lainnya. Hal itu didasarkan yaitu :
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,
“Sabar itu hanya pada goncangan yang pertama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ciri sabar yang lainnya ialah seseorang yang dapat menenangkan anggota tubuh dan lidahnya ketika tertimpa musibah, masalah ataupun cobaan lainnya juga. Sebagian orang bijak berkata,
“Hai yang terguncang, engkau tidak bisa mengembalikan apa yang sudah lepas dari tangan. Namun, ringankanlah rasa kecewamu.”
Mudah-mudahan napak tilas tentang Peristiwa Siti Hajar , bisa menjadi dorongan bagi saudariku muslimah terlebih seorang istri atau siapa saja dalam menerima ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bersabar, tetap ikhtiar, dan tawakal. Hal itu terutama dalam keadaan yang serba kekurangan di tengah-tengah derasnya terpaan materealistis yang selalu menggoda untuk mengambil “jalan pintas” dan menghalalkan berbagai cara.
Walhamdulillah Rabbil’alamin
ref : http://salimah.or.id
0komentar :
Posting Komentar