Pada kesempatan kali ini -sebagai kelanjutan dari posting sebelumnya tentang macam-macam najis-, kami akan ketengahkan bagaimanakah cara membersihkan najis.
Semoga bermanfaat.
1. Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[2]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
2. Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “سَبْع مَرَّات”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “سَبْع مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.[9]
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kemudian dia berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ. قَالَ « فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى فِيهِ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ « يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”
Lantas Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِى الثَّوْبِ قَالَ « حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ».
“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.”[14]
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,
إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[16] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[17]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.[18]
Bersambung insya Allah ....
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.
[2] HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[3] Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas.
[4] Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[5] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[6] Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.
Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)
[7] HR. Muslim no. 279
[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[9] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95.
[10] Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/219.
[11] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[12] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[14] HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[16] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)
[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[18] Idem.
Semoga bermanfaat.
1. Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[2]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
2. Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “سَبْع مَرَّات”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “سَبْع مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.[9]
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kemudian dia berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ. قَالَ « فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى فِيهِ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ « يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”
Lantas Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِى الثَّوْبِ قَالَ « حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ».
“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.”[14]
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,
إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[16] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[17]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.[18]
Bersambung insya Allah ....
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.
[2] HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[3] Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas.
[4] Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[5] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[6] Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.
Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)
[7] HR. Muslim no. 279
[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[9] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95.
[10] Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/219.
[11] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[12] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[14] HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[16] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)
[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[18] Idem.
0komentar :
Posting Komentar