Shalat Ghoib adalah menyolatkan jenazah yang tidak berada di tempat atau berada di negeri lain.
Mengenai disyariatkannya shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan, ada pula yang tidak membolehkan dan ada pula yang merinci. Berikut penjelasannya.
Ulama yang Membolehkan
Yaitu Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad. Dalilnya adalah dishalatkannya Raja An Najasy oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal An Najasy berada di negeri Habasyah (sekarang Ethiopia) sedangkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah.
Ulama yang Tidak Membolehkan
Yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Alasannya, karena shalat ghoib untuk An Najasy adalah khusus untuk beliau saja, tidak berlaku umum bagi yang lainnya.
Ulama yang Merinci
Yaitu boleh melakukan shalat ghoib, namun bagi orang yang mati di suatu tempat dan belum disholati. Kalau mayit tersebut sudah disholati, maka tidak perlu dilakukan shalat ghoib lagi karena kewajiban shalat ghoib telah gugur dengan shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin padanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Fatawal ‘Aqidah wa Arkanil Islam.
Mengenai disyariatkannya shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan, ada pula yang tidak membolehkan dan ada pula yang merinci. Berikut penjelasannya.
Ulama yang Membolehkan
Yaitu Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad. Dalilnya adalah dishalatkannya Raja An Najasy oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal An Najasy berada di negeri Habasyah (sekarang Ethiopia) sedangkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah.
Ulama yang Tidak Membolehkan
Yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Alasannya, karena shalat ghoib untuk An Najasy adalah khusus untuk beliau saja, tidak berlaku umum bagi yang lainnya.
Ulama yang Merinci
Yaitu boleh melakukan shalat ghoib, namun bagi orang yang mati di suatu tempat dan belum disholati. Kalau mayit tersebut sudah disholati, maka tidak perlu dilakukan shalat ghoib lagi karena kewajiban shalat ghoib telah gugur dengan shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin padanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Fatawal ‘Aqidah wa Arkanil Islam.
Alasan mereka adalah karena tidaklah diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghoib kecuali pada An Najasiy saja. Dan An Najasiy mati di tengah-tengah orang musyrik sehingga tidak ada yang menyolatinya. Seandainya di tengah-tengah dia ada orang yang beriman tentu tidak ada shalat ghoib. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati An Najasiy di Madinah, sedangkan An Najasiy berada di Habasyah (Ethiopia). Alasan lain, ketika para pembesar dan pemimpin umat ini meninggal dunia di masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -padahal mereka berada di tempat yang jauh- tidak diketahui bahwa mereka disholati dengan shalat ghoib.
Pendapat Lainnya
Namun Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa sebagian ulama menganjurkan dilaksanakannya sholat ghoib bagi orang yang banyak memberikan manfaat dalam agama dengan harta, amalan, atau ilmunya. Namun bagi orang yang tidak seperti ini tidak perlu dilaksanakan sholat ghoib.
Sedangkan pendapat ulama yang menyatakan bolehnya shalat ghoib bagi siapa saja, ini adalah pendapat yang paling lemah. -Demikian penjelasan Syaikh rahimahullah yang kami sarikan-
Kesimpulan: Mengenai pensyariatan shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama yang mumpuni dalam masalah fiqih. Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang merinci adanya shalat ghoib. Artinya shalat ghoib disyari'atkan apabila mayit tersebut belum disholatkan di suatu tempat. Adapun jika sudah disholatkan, maka tidak perlu ada shalat ghoib. Juga sholat ghoib bisa dilaksanakan khusus bagi orang-orang yang memiliki peran dalam masalah agama seperti ketika ada seorang ulama besar yang meninggal dunia, sebagaimana penjelasan tambahan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin.
Semoga dengan penjelasan singkat ini kita bisa menghargai pendapat saudara kita yang lainnya. Karena penjelasan ini adalah untuk memahamkan bahwa dalam masalah sholat ghoib ini masih ada ruang untuk berijtihad karena masing-masing ulama memiliki hujjah (argumen yang kuat). Sehingga patutlah kita menghargai pendapat saudara kita yang berbeda karena dia juga memiliki dasar. Namun yang penulis sendiri yakini adalah pendapat yang merinci adanya shalat ghoib.
Wal 'ilmu 'indallah. Wallahu a'lam bish showab. Hanya Allah yang memberi taufik.
Rujukan:
1. Shohih Fiqih Sunnah jilid 1, Abu Malik Kamal
2. Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin.
0komentar :
Posting Komentar