السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Panel Home
Other Content
HADITSHR BUKHARI
    • Posts
    • Comments
    • Pageviews

  • Translate
  • Kajian Sumber-Sumber Hukum Islam

    Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

    Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
    A. Al Qur’an

    Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.

    Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
    Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

    Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
    Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
    Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
    Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
    Isi kandungan Al Qur’an

    Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.

    1. Segi Kuantitas

    Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata

    2. Segi Kualitas

    Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:

    Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
    Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
    Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
    Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:

    Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
    Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
    Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:

    Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
    Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
    Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
    Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
    Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
    Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
    Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.

    Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.

    B. Hadits

    Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:
    Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

    Perintah meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

    Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)

    Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.

    Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah Subhanhu Wa Ta'ala didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)

    Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.

    Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
    Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
    Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

    اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
    الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
    Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)

    Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

    طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
    Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)

    Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

    Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
    Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
    Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
    Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:

    Rawinya bersifat adil
    Sempurna ingatan
    Sanadnya tidak terputus
    Hadits itu tidak berilat, dan
    Hadits itu tidak janggal
    C. Ijtihad

    Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
    Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

    mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
    memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
    mengetahui soal-soal ijma
    menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
    Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

    اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
    Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

    …اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
    Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

    Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala: (lihat Al-Qur’an onlines di google)

    Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)

    Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini

    Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
    Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

    Dasar (dalil)
    Masalah yang akan diqiyaskan
    Hukum yang terdapat pada dalil
    Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
    Bentuk Ijtihad yang lain

    Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
    Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
    Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
    Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
    Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
    Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.

    D. Pembagian Hukum dalam Islam

    Hukum dalam Islam ada lima yaitu:

    Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
    Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
    Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam sebuah haditsnya yang artinya:
    Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
    Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
    Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
    Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.

    Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.

    Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu
    Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
    Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
    Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:

    اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً

    Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:

    Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
    Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.

    مَا اَنْهَرَ الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

    Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.

    Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
    Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.

    Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.

    Referensi: Siti nur alfiah

    0komentar :

    Posting Komentar

    top