Apa sih yang dimaui oleh umat Islam zaman ini?
Oke, umat Islam mempunyai zaman lampau yang begitu gemilang. Tetapi firdaus yang kemilau di abad pertengahan itu sudah hilang. Umat Islam juga mempunyai eksemplar sejarah yag sering diimpikan sebagai model terbaik untuk ditiru pada zaman ini, yaitu pengalaman sejarah pada masa Nabi di Madinah.
Tetapi contoh itu sudah begitu jauhnya, sehingga banyak orang Islam di zaman ini mulai berpikir-pikir ulang: apakah praktis menjadikan contoh kehidupan di kota kecil di abad tujuh masehi itu sebagai "matriks sosial" untuk membina kehidupan umat Islam di abad 21 ini? Kalaulah model zaman Nabi itu mau dicontoh, apakah harus sama persis, sesuai dengan pesan Nabi, "shallu kama ra'aitumuni ushalli", shalatlah sebagaimana aku shalat? Apakah kita dikehendaki untuk "persis" seperti Nabi dalam hal shalat saja, atau dalam seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain? Mungkinkah itu? Bagaimana caranya?Atau kita perlu "persis" dalam semangat etiknya saja? Sekiranya model Nabi mau dimodifikasi, bagaimana caranya? Sejauh mana modifikasi itu tidak terjatuh kepada bid'ah yang dilarang oleh Nabi sendiri? Ataukah bid'ah justru perlu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menghantui umat Islam zaman sekarang. Tak ada jawaban tunggal pada pertanyaan semacam ini. Masing-masing golongan dalam Islam mempunyai pemikiran sendiri-sendiri. Bahkan satu golongan bisa membentak golongan yang lain karena jawaban-jawaban yang berbeda atas pertanyaan itu.
Minggu yang lalu, saya membaca kolom pendek tulisan Thomas L Friedman yang dimuat di New York Times edisi 5 Mei 2002, bertajuk "Listening to the Future". Tom yang menulis buku laris berjudul Lexus and Olive Tree itu menceritakan suatu "momen" kecil yang, bagi saya, menyimpulkan dengan ringkas dan baik masalah pokok yang dihadapi oleh umat Islam zaman ini.
Di Pesantren Darun Najah, Ulujami, Jakarta Selatan, Tom bertemu dengan seorang santri yang dengan baik mengkritik kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat, terutama yang berkaitan dengan masalah Palestina.
Amerika, kata santri itu, menirukan retorika yang sudah 'klise' di mana-mana, dikendalikan oleh Yahudi, dan bla-bla-bla. Di ujung komentar si santri itu, Tom bertanya nakal, "Kamu kepengin pergi ke dan belajar di Amerika?" Saya kutip saja kata-kata santri itu sebagaimana diriwayatkan oleh Tom, "Of course I would! Because if I go there, I can understand how that world really thinks. Because until now I only read about it in newspapers and only see it in TV."
Ada yang tak terungkap dalam jawaban si santri itu, tetapi implisit bisa terbaca di sana, yaitu keinginan untuk mencicipi kehidupan modern di negeri asalnya sendiri. Semua anak-anak Islam, dengan perkecualian pada sejumlah kasus yang sangat terbatas, ingin pergi ke Barat, ke negeri-negeri maju, belajar di sana, menyaksikan sendiri bagaimana modernitas bekerja, dan mencontohnya --kalu bisa-- saat pulang kelak. Tak ada anak Islam yang senang terperosok dalam tempurung keterbelakangan sepanjang umur. Dan memang begitulah keadaannya: jutaan anak-anak Islam melancong ke Barat, belajar cara mengkriya sistem kehidupan modern di sana, dan mencoba memodifikasikannya untuk negara mereka masing-masing. Mereka bisa berasal dari Mesir, Palestina, Irak, Siria, Aljazair, Tunisia, Malaysia, Brunei, juga Indonesia.
Tetapi, mereka juga tetap seorang muslim yang sadar bahwa mereka hidup dalam dan menghidupi "pandangan dunia" yang sangat beda dengan yang mereka jumpai di negeri-negeri tempat mereka belajar. Mereka tetap ingin mempertahankan --katakan saja-- "otentisitas" berdasarkan tradisi mereka sendiri. Seperti kalimat yang baik dari Samuel Huntington dalam "The Clash of Civilization" ketika menggambarkan orang-orang Jepang yang minum Coca Cola, tetapi hati mereka tetap bertaut dengan Shintoisme, maka anak-anak Islam itu juga persis sama: mereka belajar "keterampilan" di Barat, tetapi hati dan pikiran mereka tetaplah bertaut pada Islam; mereka bisa dengan terampil menguasai teknik mutakhir di negeri seberang itu, tetapi hati mereka tetap tidak bisa tunduk pada semangat faustian dan prometean yang menjadi semangat dasar perikehidupan ilmiah di sana.
Singkatnya, yang dimaui oleh umat Islam zaman ini, tampaknya, adalah satu pokok soal ini: bagaimana menjadi modern, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam. Dalam rumusan yang populer di Arab: bagaimana mencapai al-hadatsah atau kemoderenan, dengan tetap mempertahankan al-ashalah atau keaslian.
Kota Madinah adalah simbol keaslian bagi umat Islam: di sanalah, untuk pertama kali, cita sosial-politik Islam yang indah-indah dari "kayangan" itu diterjemahkan secara konkret oleh Nabi. Tetapi, Islam setelah wafatnya Nabi terus berkembang dan meluas, serta menyerap unsur-unsur baru dari luar dirinya, sehingga mencapai puncak "daya kreatifnya" dalam sebuah kota bernama Cordova di Spanyol. Kota itu bisa menjadi simbol komederenan Islam di masa klasik, dan bisa dijadikan sebagai "pemandu" bagi orang-orang Islam di zaman ini untuk mencapai cita-cita mereka agar menjadi "moderen dan otentik" sekaligus.
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa kemoderenan adalah cita-cita universal setiap manusia. Hanya, mereka menghendaki suatu komederenan yang tidak mencerabutkan mereka dari tradisi yang mereka miliki. Kemoderenan yang terlalu "agresif" menyerang tradisi yang berbeda-beda itu, pada akhirnya, seperti dicatat oleh Karen Armstrong dalam "Battle for God", malah akan menimbulkan "backlash", serangan balik, dalam bentuk fundamentalisme.
Yang menjadi masalah sekarang adalah: sebagian orang Islam lebih suka menengok secara sepihak kepada contoh di Madinah saja, tetapi melupakan contoh-contoh yang berkembang setelah sejarah Madinah itu selesai. Ada semacam anggapan bahwa Islam sebagaimana berkembang di kawasan-kawasan luar Madinah itu adalah kurang "asli", sedikit (atau malah banyak) tercampur dengan kebudayaan-kebudayaan di luar Islam.
Contoh Cordova agaknya kurang diminati oleh umat Islam zaman ini. Semboyan yang selalu diuarkan adalah "kembali kepada Quran dan Hadis". Akan ditaruh di mana sejarah umat Islam yang empat belas abad itu? Ataukah sejarah merupakan barang rongsokan yang tak berguna? Pada akhirnya toh Quran dan Hadisitu sebuah teks yang harus diterjemahkan ke dalam bumi yang nyata. Bumi tempat Quran dan Hadis itu diterjemahkan, ya, tak lain adalah Madinah
dan (jangan lupa) Cordova.
Kalau boleh mengenalkan suatu neologisme, saya akan menggunakan istilah "Islam Mardova", yakni Islam sebagaimana diterjemahkan dalam dua konteks sejarah yang saling memprasyarati, yaitu sejarah Madinah dan Cordova; Islam yang otentik dan modern sekaligus, sebagaimana dikehendaki oleh anak-anak Islam zaman ini.(de) www.suaramedia.com
Oke, umat Islam mempunyai zaman lampau yang begitu gemilang. Tetapi firdaus yang kemilau di abad pertengahan itu sudah hilang. Umat Islam juga mempunyai eksemplar sejarah yag sering diimpikan sebagai model terbaik untuk ditiru pada zaman ini, yaitu pengalaman sejarah pada masa Nabi di Madinah.
Tetapi contoh itu sudah begitu jauhnya, sehingga banyak orang Islam di zaman ini mulai berpikir-pikir ulang: apakah praktis menjadikan contoh kehidupan di kota kecil di abad tujuh masehi itu sebagai "matriks sosial" untuk membina kehidupan umat Islam di abad 21 ini? Kalaulah model zaman Nabi itu mau dicontoh, apakah harus sama persis, sesuai dengan pesan Nabi, "shallu kama ra'aitumuni ushalli", shalatlah sebagaimana aku shalat? Apakah kita dikehendaki untuk "persis" seperti Nabi dalam hal shalat saja, atau dalam seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain? Mungkinkah itu? Bagaimana caranya?Atau kita perlu "persis" dalam semangat etiknya saja? Sekiranya model Nabi mau dimodifikasi, bagaimana caranya? Sejauh mana modifikasi itu tidak terjatuh kepada bid'ah yang dilarang oleh Nabi sendiri? Ataukah bid'ah justru perlu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menghantui umat Islam zaman sekarang. Tak ada jawaban tunggal pada pertanyaan semacam ini. Masing-masing golongan dalam Islam mempunyai pemikiran sendiri-sendiri. Bahkan satu golongan bisa membentak golongan yang lain karena jawaban-jawaban yang berbeda atas pertanyaan itu.
Minggu yang lalu, saya membaca kolom pendek tulisan Thomas L Friedman yang dimuat di New York Times edisi 5 Mei 2002, bertajuk "Listening to the Future". Tom yang menulis buku laris berjudul Lexus and Olive Tree itu menceritakan suatu "momen" kecil yang, bagi saya, menyimpulkan dengan ringkas dan baik masalah pokok yang dihadapi oleh umat Islam zaman ini.
Di Pesantren Darun Najah, Ulujami, Jakarta Selatan, Tom bertemu dengan seorang santri yang dengan baik mengkritik kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat, terutama yang berkaitan dengan masalah Palestina.
Amerika, kata santri itu, menirukan retorika yang sudah 'klise' di mana-mana, dikendalikan oleh Yahudi, dan bla-bla-bla. Di ujung komentar si santri itu, Tom bertanya nakal, "Kamu kepengin pergi ke dan belajar di Amerika?" Saya kutip saja kata-kata santri itu sebagaimana diriwayatkan oleh Tom, "Of course I would! Because if I go there, I can understand how that world really thinks. Because until now I only read about it in newspapers and only see it in TV."
Ada yang tak terungkap dalam jawaban si santri itu, tetapi implisit bisa terbaca di sana, yaitu keinginan untuk mencicipi kehidupan modern di negeri asalnya sendiri. Semua anak-anak Islam, dengan perkecualian pada sejumlah kasus yang sangat terbatas, ingin pergi ke Barat, ke negeri-negeri maju, belajar di sana, menyaksikan sendiri bagaimana modernitas bekerja, dan mencontohnya --kalu bisa-- saat pulang kelak. Tak ada anak Islam yang senang terperosok dalam tempurung keterbelakangan sepanjang umur. Dan memang begitulah keadaannya: jutaan anak-anak Islam melancong ke Barat, belajar cara mengkriya sistem kehidupan modern di sana, dan mencoba memodifikasikannya untuk negara mereka masing-masing. Mereka bisa berasal dari Mesir, Palestina, Irak, Siria, Aljazair, Tunisia, Malaysia, Brunei, juga Indonesia.
Tetapi, mereka juga tetap seorang muslim yang sadar bahwa mereka hidup dalam dan menghidupi "pandangan dunia" yang sangat beda dengan yang mereka jumpai di negeri-negeri tempat mereka belajar. Mereka tetap ingin mempertahankan --katakan saja-- "otentisitas" berdasarkan tradisi mereka sendiri. Seperti kalimat yang baik dari Samuel Huntington dalam "The Clash of Civilization" ketika menggambarkan orang-orang Jepang yang minum Coca Cola, tetapi hati mereka tetap bertaut dengan Shintoisme, maka anak-anak Islam itu juga persis sama: mereka belajar "keterampilan" di Barat, tetapi hati dan pikiran mereka tetaplah bertaut pada Islam; mereka bisa dengan terampil menguasai teknik mutakhir di negeri seberang itu, tetapi hati mereka tetap tidak bisa tunduk pada semangat faustian dan prometean yang menjadi semangat dasar perikehidupan ilmiah di sana.
Singkatnya, yang dimaui oleh umat Islam zaman ini, tampaknya, adalah satu pokok soal ini: bagaimana menjadi modern, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam. Dalam rumusan yang populer di Arab: bagaimana mencapai al-hadatsah atau kemoderenan, dengan tetap mempertahankan al-ashalah atau keaslian.
Kota Madinah adalah simbol keaslian bagi umat Islam: di sanalah, untuk pertama kali, cita sosial-politik Islam yang indah-indah dari "kayangan" itu diterjemahkan secara konkret oleh Nabi. Tetapi, Islam setelah wafatnya Nabi terus berkembang dan meluas, serta menyerap unsur-unsur baru dari luar dirinya, sehingga mencapai puncak "daya kreatifnya" dalam sebuah kota bernama Cordova di Spanyol. Kota itu bisa menjadi simbol komederenan Islam di masa klasik, dan bisa dijadikan sebagai "pemandu" bagi orang-orang Islam di zaman ini untuk mencapai cita-cita mereka agar menjadi "moderen dan otentik" sekaligus.
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa kemoderenan adalah cita-cita universal setiap manusia. Hanya, mereka menghendaki suatu komederenan yang tidak mencerabutkan mereka dari tradisi yang mereka miliki. Kemoderenan yang terlalu "agresif" menyerang tradisi yang berbeda-beda itu, pada akhirnya, seperti dicatat oleh Karen Armstrong dalam "Battle for God", malah akan menimbulkan "backlash", serangan balik, dalam bentuk fundamentalisme.
Yang menjadi masalah sekarang adalah: sebagian orang Islam lebih suka menengok secara sepihak kepada contoh di Madinah saja, tetapi melupakan contoh-contoh yang berkembang setelah sejarah Madinah itu selesai. Ada semacam anggapan bahwa Islam sebagaimana berkembang di kawasan-kawasan luar Madinah itu adalah kurang "asli", sedikit (atau malah banyak) tercampur dengan kebudayaan-kebudayaan di luar Islam.
Contoh Cordova agaknya kurang diminati oleh umat Islam zaman ini. Semboyan yang selalu diuarkan adalah "kembali kepada Quran dan Hadis". Akan ditaruh di mana sejarah umat Islam yang empat belas abad itu? Ataukah sejarah merupakan barang rongsokan yang tak berguna? Pada akhirnya toh Quran dan Hadisitu sebuah teks yang harus diterjemahkan ke dalam bumi yang nyata. Bumi tempat Quran dan Hadis itu diterjemahkan, ya, tak lain adalah Madinah
dan (jangan lupa) Cordova.
Kalau boleh mengenalkan suatu neologisme, saya akan menggunakan istilah "Islam Mardova", yakni Islam sebagaimana diterjemahkan dalam dua konteks sejarah yang saling memprasyarati, yaitu sejarah Madinah dan Cordova; Islam yang otentik dan modern sekaligus, sebagaimana dikehendaki oleh anak-anak Islam zaman ini.(de) www.suaramedia.com
0komentar :
Posting Komentar