Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting dan utama kedudukannya dalam agama Islam, sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya melahirkan akidah yang benar tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukanlah yang dimaksud dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu hanya sekedar keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada, atau sekedar yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya pencipta, pengatur, yang menghidupkan, mematikan dan memberi rizki bagi alam semesta.
Sungguh sangat ironis sekali dimana pemahaman salah ini malah dipegangi oleh sebagian kaum muslimin yang mengaku sudah paham tentang iman, islam dan tauhid! Kalaulah memang benar apa yang mereka katakan, maka orang-orang musyrikin yang diperangi oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam malah sudah mendahului mereka dalam mengikrarkannya, sebagaimana hal tersebut banyak disitir dalam Al Qur’an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” (QS: Yunus: 31)
Maka dari itu perlu bagi kita untuk menelaah perkara penting ini semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Beriman kepada Allah harus mengandung empat perkara, yaitu:
Mengimani Adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala
Hal ini dapat dibuktikan dengan fitrah, akal, dalil naqli dan indera. Adapun ditilik dari segi fitrah, setiap manusia mengakui adanya Tuhan tanpa harus berfikir dan belajar. Rosululloh bersabda, yang artinya: “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, lalu orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Akal kita bisa berfikir bahwa tidaklah seluruh makhluk dulu maupun sekarang kecuali pasti ada yang menciptakan. Mustahil mereka menciptakan diri sendiri karena sebelumnya tidak ada, dan yang tidak ada tidak bisa mencipta. Mereka juga tidak muncul secara kebetulan, karena bagaimana mungkin susunan alam yang seindah dan sangat teratur ini dengan mudahnya dikatakan terjadi secara kebetulan? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS: Ath Thur: 35)
Dari segi dalil syar’i, seluruh kitab samawi yang diturunkan pasti berbicara tentang adanya Allah dan berbagai peristiwa yang disaksikan kebenarannya. Ini menunjukkan kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan indera kita lebih mudah untuk membuktikannya diantaranya ialah terkabulnya doa, mukjizat pada Nabi yang di luar kemampuan manusia. Ini tidaklah mungkin berasal kecuali dari Tuhan yang mengutus mereka.
Mengimani Sifat Rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yakni kita menyakini bahwa Allah lah yang memiliki hak untuk menciptakan, berkuasa dan memerintah. Keyakinan seperti ini sudah dimiliki oleh kaum musyrikin zaman Rosululloh, bahkan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang sombong yang mereka sendiri ragu terhadap ucapannya. Contoh konkretnya yaitu Fir’aun, yang mengaku sebagai tuhan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS: Al A’raaf: 54) dan “…kepunyaan-Nyalah kerajaan.” (QS: Fathir: 13).
Lihat pula bagaimana pengakuan kaum musyrikin tentang rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan dalam Al Qur'an, yang artinya: “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.’” (QS: Az Zukhruf: 9)
Dengan demikian kita ketahui bahwa yang punya kuasa memberikan rizki bukanlah malaikat, Nabi atau dewa fulan, juga yang menguasai dan mengatur berbagai macam urusan bukanlah syaikh fulan, wali fulan sebagaimana keyakinan sebagian orang. Namun hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberi rizki, mengatur, menghidupkan dan mematikan.
Mengimani Sifat Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yaitu hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang berhak disembah dan diibadahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Baqarah: 163).
Di sinilah letak titik perpisahan antara seorang mukmin dengan seorang musyrik, dimana kaum mukminin hanya menujukan seluruh aktivitas ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala baik itu berupa doa, nadzar, sembelihan, haji, sholat dan ibadah-ibadah lainnya.
Adapun kaum musyrikin, walaupun mereka mengakui hak rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka mengambil sesembahan yang banyak dan beragam, baik berupa benda-benda mati seperti batu, pohon dan matahari. Atau juga sesembahan dari kalangan malaikat, nabi dan orang shalih yang dijadikan sebagai perantara antara mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana pembesar kerajaan yang menjadi perantara kepada raja. Dan tidaklah seorang pembesar menjadi perantara bagi raja kecuali karena raja sangat butuh atau sangat takut padanya, sehingga bila ada orang datang minta bantuan raja lewat perantara pembesar maka raja mengabulkannya dengan sebab kedudukan pembesar tadi. Sungguh, yang seperti ini tidak bisa disamakan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala !
Para malaikat, nabi dan orang shalih sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berlomba-lomba dengan berbagai amal shalih untuk dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh juga tidak takut pada mereka. Sehingga walaupun kedudukan mereka mulia di sisi Allah, ini tidak berarti kita boleh mengambil mereka sebagai perantara, melainkan kita langsung meminta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alasan semacam itulah yang menjadi hujjahnya kaum musyrikin dulu dan sekarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’” (QS: Az Zumar: 3).
Intinya kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menujukannya kepada selain Allah, sebagaimana hal ini menjadi tujuan dakwah setiap rosul. Sehingga mereka para rasul Allah berkata pada kaumnya: “Sembahlah Allah saja, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq bagimu selain Dia.” (QS: Hud: 50)
Mengimani Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yaitu dengan menetapkan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana telah ditetapkan Allah di dalam Al Quran atau telah ditetapkan oleh rosul-Nya di dalam As Sunnah, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah, tanpa tahrif (memalingkan makna dari makna yang semestinya), ta’thil (menolak nama atau sifat Allah), takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al A’raaf: 180)
Dengan demikian, Keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala haruslah memuat seluruh empat hal yang di atas, tidak hanya satu atau dua saja. Sehingga kita katakan bahwa keyakinan seseorang bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada ataukah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu satu-satunya pencipta belum cukup untuk dikatakan telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun juga harus meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak disembah dan beriman kepada asma dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki kita semua kepada aqidah yang shahih dan mewafatkan kita dalam keadaan muslim. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mohon pertolongan. Wallahu a’lam bish showab.
Sungguh sangat ironis sekali dimana pemahaman salah ini malah dipegangi oleh sebagian kaum muslimin yang mengaku sudah paham tentang iman, islam dan tauhid! Kalaulah memang benar apa yang mereka katakan, maka orang-orang musyrikin yang diperangi oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam malah sudah mendahului mereka dalam mengikrarkannya, sebagaimana hal tersebut banyak disitir dalam Al Qur’an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” (QS: Yunus: 31)
Maka dari itu perlu bagi kita untuk menelaah perkara penting ini semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Beriman kepada Allah harus mengandung empat perkara, yaitu:
Mengimani Adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala
Hal ini dapat dibuktikan dengan fitrah, akal, dalil naqli dan indera. Adapun ditilik dari segi fitrah, setiap manusia mengakui adanya Tuhan tanpa harus berfikir dan belajar. Rosululloh bersabda, yang artinya: “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, lalu orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Akal kita bisa berfikir bahwa tidaklah seluruh makhluk dulu maupun sekarang kecuali pasti ada yang menciptakan. Mustahil mereka menciptakan diri sendiri karena sebelumnya tidak ada, dan yang tidak ada tidak bisa mencipta. Mereka juga tidak muncul secara kebetulan, karena bagaimana mungkin susunan alam yang seindah dan sangat teratur ini dengan mudahnya dikatakan terjadi secara kebetulan? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS: Ath Thur: 35)
Dari segi dalil syar’i, seluruh kitab samawi yang diturunkan pasti berbicara tentang adanya Allah dan berbagai peristiwa yang disaksikan kebenarannya. Ini menunjukkan kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan indera kita lebih mudah untuk membuktikannya diantaranya ialah terkabulnya doa, mukjizat pada Nabi yang di luar kemampuan manusia. Ini tidaklah mungkin berasal kecuali dari Tuhan yang mengutus mereka.
Mengimani Sifat Rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yakni kita menyakini bahwa Allah lah yang memiliki hak untuk menciptakan, berkuasa dan memerintah. Keyakinan seperti ini sudah dimiliki oleh kaum musyrikin zaman Rosululloh, bahkan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang sombong yang mereka sendiri ragu terhadap ucapannya. Contoh konkretnya yaitu Fir’aun, yang mengaku sebagai tuhan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS: Al A’raaf: 54) dan “…kepunyaan-Nyalah kerajaan.” (QS: Fathir: 13).
Lihat pula bagaimana pengakuan kaum musyrikin tentang rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan dalam Al Qur'an, yang artinya: “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.’” (QS: Az Zukhruf: 9)
Dengan demikian kita ketahui bahwa yang punya kuasa memberikan rizki bukanlah malaikat, Nabi atau dewa fulan, juga yang menguasai dan mengatur berbagai macam urusan bukanlah syaikh fulan, wali fulan sebagaimana keyakinan sebagian orang. Namun hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberi rizki, mengatur, menghidupkan dan mematikan.
Mengimani Sifat Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yaitu hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang berhak disembah dan diibadahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Baqarah: 163).
Di sinilah letak titik perpisahan antara seorang mukmin dengan seorang musyrik, dimana kaum mukminin hanya menujukan seluruh aktivitas ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala baik itu berupa doa, nadzar, sembelihan, haji, sholat dan ibadah-ibadah lainnya.
Adapun kaum musyrikin, walaupun mereka mengakui hak rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka mengambil sesembahan yang banyak dan beragam, baik berupa benda-benda mati seperti batu, pohon dan matahari. Atau juga sesembahan dari kalangan malaikat, nabi dan orang shalih yang dijadikan sebagai perantara antara mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana pembesar kerajaan yang menjadi perantara kepada raja. Dan tidaklah seorang pembesar menjadi perantara bagi raja kecuali karena raja sangat butuh atau sangat takut padanya, sehingga bila ada orang datang minta bantuan raja lewat perantara pembesar maka raja mengabulkannya dengan sebab kedudukan pembesar tadi. Sungguh, yang seperti ini tidak bisa disamakan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala !
Para malaikat, nabi dan orang shalih sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berlomba-lomba dengan berbagai amal shalih untuk dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh juga tidak takut pada mereka. Sehingga walaupun kedudukan mereka mulia di sisi Allah, ini tidak berarti kita boleh mengambil mereka sebagai perantara, melainkan kita langsung meminta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alasan semacam itulah yang menjadi hujjahnya kaum musyrikin dulu dan sekarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’” (QS: Az Zumar: 3).
Intinya kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menujukannya kepada selain Allah, sebagaimana hal ini menjadi tujuan dakwah setiap rosul. Sehingga mereka para rasul Allah berkata pada kaumnya: “Sembahlah Allah saja, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq bagimu selain Dia.” (QS: Hud: 50)
Mengimani Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yaitu dengan menetapkan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana telah ditetapkan Allah di dalam Al Quran atau telah ditetapkan oleh rosul-Nya di dalam As Sunnah, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah, tanpa tahrif (memalingkan makna dari makna yang semestinya), ta’thil (menolak nama atau sifat Allah), takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al A’raaf: 180)
Dengan demikian, Keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala haruslah memuat seluruh empat hal yang di atas, tidak hanya satu atau dua saja. Sehingga kita katakan bahwa keyakinan seseorang bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada ataukah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu satu-satunya pencipta belum cukup untuk dikatakan telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun juga harus meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak disembah dan beriman kepada asma dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki kita semua kepada aqidah yang shahih dan mewafatkan kita dalam keadaan muslim. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mohon pertolongan. Wallahu a’lam bish showab.
0komentar :
Posting Komentar