السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Panel Home
Other Content
HADITSHR BUKHARI
    • Posts
    • Comments
    • Pageviews

  • Translate
  • Kajian Singkat Wawasan Al-Qur'an

    Al-Quran yang secara  harfiah  berarti "bacaan sempurna" merupakan suatu nama pilihan Allah yang  sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak  manusia  mengenal  tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat  menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

    Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan  juta orang yang tidak  mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal  huruf  demi  huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.

    Tiada  bacaan  melebihi Al-Quran  dalam  perhatian  yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi  ayat, baik  dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

    Tiada bacaan seperti Al-Quran yang  dipelajari  bukan  hanya susunan  redaksi  dan  pemilihan  kosakatanya, tetapi  juga kandungannya yang tersurat, tersirat  bahkan  sampai  kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua  dituangkan dalam jutaan jilid  buku,  generasi  demi  generasi.  Kemudian  apa yang dituangkan  dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan  mereka,  namun  semua  mengandung  kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah  permata yang memancarkan  cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

    Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus  ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti,  bahkan  diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.

    Tiada  bacaan  sebanyak kosakata  Al-Quran  yang  berjumlah 77.439 (tujuh  puluh  tujuh  ribu  empat  ratus  tiga  puluh sembilan)  kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu  lima belas) huruf  yang  seimbang  jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.

    Sebagai contoh  -sekali  lagi  sebagai contoh-kata  hayat terulang  sebanyak  antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115  kali  sebanyak  kata  dunia;  malaikat terulang   88   kali   sebanyak   kata   setan;  thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak   kata   dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

    Kata  infaq  terulang  sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing  73  kali;  kikir  sama dengan  akibatnya  yaitu  penyesalan  masing-masing 12 kali; zakat  sama  dengan   berkat   yakni   kebajikan   melimpah, masing-masing   32  kali.  Masih  amat  banyak  keseimbangan lainnya, seperti kata yaum  (hari)  terulang  sebanyak  365, sejumlah   hari-hari   dalam  setahun,  kata  syahr  (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah  bulan-bulan  dalam  setahun. Demikian

      "Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran  dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

    Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk  seperti  itu?  Al-Quran menantang:

      "Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk  menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan  berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

    Orientalis H.A.R. Gibb  pernah  menulis  bahwa:  "Tidak  ada seorang   pun  dalam  seribu  lima  ratus  tahun  ini  telah memainkan 'alat' bernada nyaring  yang  demikian  mampu  dan berani,  dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian  terpadu dalam Al-Quran    keindahan   bahasa,   ketelitian,   dan keseimbangannya,  dengan  kedalaman  makna,  kekayaan dan kebenarannya,  serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.

      "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

    Mengapa iqra,  merupakan  perintah  pertama  yang  ditujukan kepada  Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

    Iqra' terambil dari akar  kata  yang  berarti  "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."

    Dari  "menghimpun"  lahir   aneka   ragam   makna,   seperti menyampaikan,  menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

    Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?  "Ma  aqra'?" tanya  Nabi  -dalam  suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

    Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki  agar beliau  dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

    Iqra'  berarti  bacalah,  telitilah,  dalamilah,  ketahuilah ciri-ciri  sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang  tertulis  dan  tidak  tertulis. Alhasil  objek  perintah  iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

    Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam  cara  yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

    Pengulangan  perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak  diperoleh kecuali  mengulang-ulangi  bacaan,  atau  membaca  hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal  kemampuan,  tetapi juga  untuk  mengisyaratkan  bahwa  mengulang-ulangi  bacaan
    Bismi  Rabbika  (demi  karena   Allah)   akan   menghasilkan pengetahuan  dan  wawasan  baru walaupun yang dibaca itu-itu juga.

    Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin.  Berulang-ulang  "membaca"  alam  raya, membuka   tabir  rahasianya  dan  memperluas  wawasan  serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang  kita  baca dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun   pemahaman,   penemuan   rahasianya,  serta  limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan  itulah  pesan  yang dikandung   dalam  Iqra'  wa  Rabbukal  akram  (Bacalah  dan Tuhanmulah  yang  paling  Pemurah).  Atas   kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

    Sungguh,  perintah  membaca  merupakan  sesuatu  yang paling berharga  yang  pernah  dan  dapat  diberikan  kepada   umat manusia.   "Membaca"  dalam  aneka  maknanya  adalah  syarat pertama dan utama pengembangan  ilmu  dan  teknologi,  serta syarat  utama  membangun  peradaban.  Semua  peradaban  yang berhasil bertahan  lama,  justru  dimulai  dari  satu  kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homerpada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir  dengan  hadirnya Kitab  Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton  (1641-1727)  dan  berakhir  dengan  filsafat   Hegel (1770-1831).   Peradaban   Islam   lahir   dengan  kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin  bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

      "Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami  (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

    Pengetahuan  dan  peradaban  yang  dirancang  oleh  Al-Quran adalah  pengetahuan  terpadu  yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran  menjelaskan  dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

    Setiap  pengetahuan  memiliki  subjek dan objek. Secara umum subjek  dituntut  berperan  guna   memahami   objek.   Namun pengalaman   ilmiah   menunjukkan   bahwa   objek  terkadang memperkenalkan  dirinya  kepada  subjek  tanpa  usaha   sang subjek.  Komet  Halley,  memasuki  cakrawala,  hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus  ini,  walaupun  para  astronom menyiapkan   diri   dan  alat-alatnya  untuk  mengamati  dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan  adalah
    kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.

    Wahyu,  ilham,  intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya  atau  apa  yang  diduga  sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan  dengan  kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

      "Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)

    Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran  sejak  dini  memadukan usaha  dan  pertolongan  Allah,  akal  dan  kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa  kalbu  menjadikan  manusia seperti  robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita  di  tangan  bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

    Al-Quran    sebagai    kitab    terpadu,   menghadapi,   dan memperlakukan   peserta   didiknya   dengan    memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.

    Ketika  Musa  a.s.  menerima  wahyu  Ilahi,  yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

      "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
       (QS Thaha [20]: 17).

    Musa sadar sambil menjawab,

      "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku, disamping
       keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).

    Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut  dalam  alam material,  Al-Quran  menggunakan  benda-benda  alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan  manusia  akan  kehadiran Allah  Subhanahu Wa Ta'ala.  dan  bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil apa  pun-  adalah  di  bawah  kekuasaan,  pengetahuan,   dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

      "Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia   mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam  kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau  kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam  jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

      "Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi  Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).

    Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat  yang  membentuk tenunan  kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran  berbicara tentang  satu  persoalan  menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya  akan
    menemukan  keserasian  hubungan  yang amat mengagumkan, sama dengan  keserasian  hubungan  yang  memadukan  gejolak  dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan  kacau,  menjadi  terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.

    Salah satu tujuan  Al-Quran  memilih  sistematika  demikian, adalah  untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah  satu  kesatuan  terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

    Bagian 2

       Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,kewajiban  menegakkan  hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, hubungan  suami-istri,  dikemukakan  Al-Quran  secara berurut   dalam   belasan  ayat  surat  Al-Baqarah.  Mengapa demikian? Mengapa  terkesan  acak?  Jawabannya  antara  lain adalah,  "Al-Quran  menghendaki  agar  umatnya  melaksanakan ajarannya secara terpadu." Tidakkah  babi  lebih  dianjurkan untuk  dihindari  daripada  keengganan menyebarluaskan ilmu. Bersedekah tidak  pula  lebih  penting  daripada  menegakkan
    hukum  dan  keadilan.  Wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari  berpuasa  di  bulan  Ramadhan.  Puasa  dan ibadah  lainnya  tidak  boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu  adalah  hubungan  seks antara    suami-istri.    Demikian    terlihat   keterpaduan ajaran-ajarannya.

    Al-Quran  menempuh  berbagai  cara  guna  mengantar  manusia kepada   kesempurnaan   kemanusiaannya  antara  lain  dengan mengemukakan  kisah  faktual  atau  simbolik.   Kitab   Suci Al-Quran  tidak  segan  mengisahkan  "kelemahan  manusiawi,"namun itu digambarkannya dengan  kalimat  indah  lagi  sopan tanpa  mengundang  tepuk  tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu,  atau  menggambarkan  saat kesadaran manusia menghadapi
    godaan nafsu dan setan.

    Ketika Qarun  yang  kaya  raya  memamerkan  kekayaannya  dan merasa  bahwa  kekayaannya  itu adalah hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah  enggan  berkali-kali  mendengar nasihat,  terjadilah  bencana longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:

      "Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).

      Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki  dari  hamba hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-  orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).

    Dalam konteks  menggambarkan  kelemahan  manusia,  Al-Quran, bahkan    mengemukakan    situasi,   langkah   konkret   dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang  dimabuk cinta   oleh   kegagahan  seorang  pemuda  yang  tinggal  di rumahnya,

    Maksudnya,

      "(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai mcara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).
     
    Demikian,  tetapi  itu  sama  sekali  berbeda  dengan   ulah sementara  seniman,  yang  memancing  nafsu  dan  merangsang berahi. Al-Quran  menggambarkannya  sebagai  satu  kenyataan dalam  diri  manusia  yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak  juga  dibuka   lebar,   selebar   apa   yang   sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

    Al-Quran  kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita itu, juga  dengan  tiga  alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,

    Yang pertama dan kedua adalah,

      "Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"(QS Yusuf [12]: 23).

    Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup. "Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang  yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).

    Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut  bersatunya  kata dengan  sikap.  Karena  itu,  keteladanan  para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.

    Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati  orangtuanya, pada   saat   itu  pula  ia  mewajibkan  orang-tua  mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati  Rasul dan  para  pemimpin,  pada  saat  yang  sama  Rasul dan para pemimpin diperintahkan menunaikan  amanah,  menyayangi  yang
    dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

    Demikian    Al-Quran    menuntut    keterpaduan   orang-tua, masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat tercapai  tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu  pihak,  atau hanya   ditangani   oleh  guru  dan  dosen  tertentu,  tanpa melibatkan seluruh unsur kependidikan.

    Dua puluh dua  tahun  dua  bulan  dan  dua  puluh  dua  hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama itu pula  Nabi  Muhammad  Saw.  dan  para  sahabatnya  tekun mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya,  mereka  berhasil  membangun  masyarakat  yang  di dalamnya  terpadu  ilmu  dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.

    Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil?  Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil penelitian  seorang  guru  besar  Harvard  University,  yang dilakukannya   pada   40  negara,  untuk  mengetahui  faktor kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.

    Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar-  adalah materi  bacaan  dan  sajian yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun  menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para  generasi  muda  dibekali  dengan  sajian  dan   bacaan tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan dalam  berbagai  aktivitas,  peranan  yang  pada  hakikatnya diarahkan  oleh  kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu. Demikian dampak bacaan, terlihat  setelah  berlalu  dua puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

    Kalau  demikian,  jangan  menunggu  dampak  bacaan  terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian.  Siapa  pun  boleh optimis  atau  pesimis,  tergantung  dari  penilaian tentang bacaan  dan  sajian  itu.  Namun  kalau  melihat  kegairahan anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita  wajar  optimis,  karena kita  sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang  jaya  selama sekitar  delapan  ratus  tahun,  adalah karena Al-Quran yang mereka baca  dan  hayati  mendorong  pengembangan  ilmu  dan teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.

    Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

    Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja   mencanangkan   "wajib  belajar"  tetapi  juga  "wajib mengajar."  Bukankah  tawashauw  berarti  saling   berpesan, saling  mengajar,  sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil pencarian  ilmu?  Mencari  kebaikan   menghasilkan   akhlak, mencari  keindahan  menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga  unsur  itulah  yang  menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban.

    Al-Quran  yang  sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara lain:

    1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan     tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian    alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu    konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
       umat manusia.

    2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada  Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

    3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan  kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan  kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu keesaan, yaitu Keesaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

    4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

    5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,  kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta  pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,  ekonomi, politik, dan juga agama.

    6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial  sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia

    7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli  kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,  menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada  kebaikan dan mencegah kemunkaran.

    8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna  menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati  diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.

    Demikian sebagian  tujuan  kehadiran  Al-Quran,  tujuan yang  tepadu  dan  menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan pendekatan religius yang bersifat ritual  atau  mistik, yang  dapat  menimbulkan  formalitas  dan  kegersangan. Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari  akan membantu   kita   menemukan   nilai-nilai   yang  dapat dijadikan pedoman bagi  penyelesaian  berbagai  problem hidup.  Apabila  dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada  realitas keimanan    yang   dibutuhkan   bagi   stabilitas   dan ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat

    Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya  yang  merangsang akal  dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi kasih dan keharuan  cinta,  sehingga  dapat mengarahkan  kita  untuk memberi sebagian dari apa yang kita miliki untuk  kepentingan  dan  kemaslahatan  umat manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang  telah  tumbuh
    subur dalam negara kita

    WAWASAN AL-QURAN
    Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
    Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
    Penerbit Mizan

    0komentar :

    Posting Komentar

    top