Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berwasiat kepada Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu: "Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkan beberapa kalimat (nasehat penting) kepadamu, (maka dengarkanlah baik-baik!): "Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), jika kamu (ingin) meminta (sesuatu), maka mintalah (hanya) kepada Allah, dan jika kamu (ingin) memohon pertolongan, maka mohon pertolonganlah (hanya) kepada Allah...” [Hadits Shahih, Tuhfatul Ahwadzi no. 2516]
HADITS ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu, sepupu Nabi yang berjuluk “al-Bahr” (lautan) karena keluasan ilmunya. Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu adalah putra paman Nabi yang bernama ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu lahir 3 tahun sebelum Nabi hijrah. Beliau wafat di Thaif pada tahun 68 H.
Kedudukan hadits ini sangatlah agung, sampai-sampai Imam Ibnul Jauzi menggambarkan dengan ucapannya: “(Ketika) aku merenungkan dan menghayati (makna) hadits ini, aku tercengang (terpesona) dan nyaris kehilangan akal, duhai, alangkah ruginya (seorang yang) tidak mengetahui hadits ini dan kurang memahami maknanya” [dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 462]
KANDUNGAN HADITS
1. Penjagaan dari Allah bagi seorang hamba yang menjaga batasan-batasan syariat-Nya. Dalam hal ini berlaku ketentuan Allah yang disebut al-Jazaa-u min Jinsil ‘Amal (balasan yang sesuai dengan jenis perbuatan), seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu" (QS Al Baqarah:152), dan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَنْصُرُ اللهَ يَنْصُرْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu” (QS Muhammad:7) [lihat Jami'ul 'Ulum wal Hikam: 465].
2. Makna "penjagaan hamba (terhadap batasan-batasan syariat Allah subhanahu wa ta'ala)" adalah menjaga hak-hak Allah subhanahu wa ta'ala dengan menunaikannya, menjaga batasan-batasan-Nya dengan tidak melanggarnya, dan menjaga perintah dan larangan-Nya dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan barang siapa yang melaksanakan hal-hal tersebut di atas, maka dia termasuk orang-orang yang menjaga batasan-batasan (syariat) Allah subhanahu wa ta'ala yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur'an (dan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam), Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
هَذَا مَاتُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ. مَّنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَآءَ بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ
“Inilah yang dijanjikan kepadamu, [yaitu] pada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah ) lagi menjaga (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat" (QS. Qaaf:33). Dan "Al Hafiizh" dalam ayat ini ditafsirkan dengan orang yang menjaga perintah-perintah Allah subhanahu wa ta'ala, dan orang yang menjaga dosa-dosanya dengan (segera) bertaubat (kepada Allah) dari dosa-dosa tersebut [lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 462]
BENTUK PENJAGAAN ALLAH
3. Adapun makna "penjagaan Allah subhanahu wa ta'ala terhadap hamba (yang menjaga batasan-batasan syariat-Nya)", maka hal ini meliputi dua macam penjagaan:
1. Penjagaan Allah subhanahu wa ta'ala terhadap hamba dalam urusan-urusan dunianya, seperti penjagaan Allah Ta’ala terhadap (kesehatan) badannya, juga terhadap istri, keturunan dan hartanya. Maka barangsiapa yang menjaga (batasan-batasan syariat)-Nya di masa kecilnya dan dikala (fisiknya masih) kuat, maka Allah subhanahu wa ta'ala akan menjaganya di masa tuanya dan dikala (fisiknya telah) lemah, dan Allah subhanahu wa ta'ala akan menguatkan pendengaran, penglihatan, kesehatan dan akalnya.
Salah seorang ulama yang telah mencapai usia lebih dari seratus tahun, akan tetapi kondisi fisik dan akalnya tetap kuat, maka suatu hari dia melakukan suatu lompatan yang sangat kuat, sehingga orang-orang menegurnya, maka dia pun berkata: "(Seluruh) anggota badanku ini sejak kecil (selalu) aku jaga dari perbuatan maksiat, maka Allah subhanahu wa ta'ala pun menjaganya ketika aku telah tua".
Bahkan karena kesalehan seorang hamba Allah subhanahu wa ta'ala akan menjaga keturunannya sepeninggalnya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
وَكَانَ أَبُوْهمُاَ صَالِحاً
“...Sedang ayah mereka berdua adalah seorang yang saleh” (Al Kahfi:82). Ayat ini berkisah tentang dua anak yatim yang dijaga (oleh Allah subhanahu wa ta'ala) karena kesalehan ayah mereka berdua. Imam Sa'id bin Musayyib berkata kepada putranya: "Sungguh aku akan memperbanyak shalat (sunnah)ku demi kamu, dengan harapan (Allah akan) menjagamu (sepeninggalku nanti)", kemudian dia membaca ayat tersebut di atas.
Imam 'Umar bin 'Abdil 'Aziz berkata: "Tidak ada seorang mukmin pun yang meninggal dunia, kecuali Allah subhanahu wa ta'ala akan menjaga keturunan dan anak cucunya".
Dan barangsiapa yang menjaga (batasan-batasan syariat) Allah subhanahu wa ta'ala, maka Allah akan menjaganya dari semua gangguan, telah berkata salah seorang ulama : "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala, maka (berarti) dia telah menjaga dirinya, dan barangsiapa yang berpaling dari ketakwaan kepada Allah Ta’ala, maka (berarti) dia telah menyia-nyiakan dirinya, dan Allah subhanahu wa ta'ala tidak butuh kepadanya".
2. Penjagaan Allah terhadap hamba dalam agama dan keimanannya, dan penjagaan ini adalah penjagaan yang paling utama. Allah menjaga hamba ini dalam kehidupannya dari fitnah-fitnah syubhat (kerancuan dalam memahami agama/pengkaburan yang benar dan yang batil) yang menyesatkan dan fitnah-fitnah syahwat (memperturutkan nafsu) yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, dan Allah akan selalu menjaga dan meneguhkan imannya sampai di akhir hayatnya dan mewafatkannya dengan husnul khatimah (meninggal dunia di atas keimanan), semoga Allah subhanahu wa ta'ala menganugrahkan kepada kita semua penjagaan ini.
Ibnu 'Abbas ketika menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ يَحُوْلُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah menghalangi (membatasi) antara manusia dan hatinya” (Al Anfaal:24), Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "Allah subhanahu wa ta'ala menghalangi orang yang beriman dari perbuatan maksiat yang akan menjerumuskannya ke dalam neraka".
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salam:
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلِصِيْنَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih" (QS Yusuf:24) [lihat. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 465-470].
4. Dan dipahami dari hadits ini, bahwa barangsiapa yang tidak menjaga (batasan-batasan syariat) Allah Ta’ala, dengan tidak mengindahkan perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya, maka Allah pun akan menyia-nyiakannya dan menjadikannya lupa akan (kemaslahatan) dirinya sendiri, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
نَسُوْا اللهَ فَنَسِيَهُمْ
“Mereka (orang-orang munafik) lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakan mereka" (QS At Taubah: 67), dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوْا أَزَاغَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ وَاللهُ لاَ يَهْــدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allahpun memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (QS. Ash Shaff:5).
Bahkan sampai-sampai Allah subhanahu wa ta'ala menimpakan padanya gangguan dan perlakuan buruk melalui orang-orang yang dekat dengannya, dan yang seharusnya berbuat baik padanya, yaitu keluarga dan kerabatnya. Berkata salah seorang ulama : "Sungguh (setelah) aku berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wa ta'ala, maka aku mengenali (dampak buruk) perbuatan maksiat itu ada pada tingkah laku pelayan dan hewan tungganganku" [lihat. ad-Durarus Saniyyah: 78).
5. Makna sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: "… Maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu…" adalah: Allah subhanahu wa ta'ala akan selalu bersamamu dalam semua keadaan, Dia akan selalu melindungimu, menolongmu dan menjagamu, dan inilah (yang disebut dengan) "Al Ma'iyyah al Khaashshah" (kebersamaan Allah dengan hambanya yang bersifat khusus) yang mengandung arti pertolongan, dukungan, penjagaan dan perlindungan (dari Allah bagi hambanya) [lihat. Bahjatun Nazhirin: 1/135], sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :
إنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَالَّذِيْنَ هُمْ مُحْسِنُوْنَ
”Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan" (QS An Nahl:128), berkata Qotadah: "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan selalu bersamanya, dan barangsiapa yang Allah selalu bersamanya, maka bersamanya ada kelompok yang tidak terkalahkan, penjaga yang tidak pernah tidur dan pemberi petunjuk yang tidak pernah menyesatkan" [lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 471]
6. Perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam untuk mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam meminta (berdo'a) dan memohon pertolongan, dan untuk tidak meminta sesuatu pun kepada makhluk, yang ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS Al Faatihah:5), dan dalam hal ini ada dua tingkatan:
Pertama: tingkatan yang wajib, yaitu Tauhid, dengan meminta dan memohon pertolongan kepada Allah semata-semata dan tidak kepada selain-Nya dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah. Dan inilah yang kita kenal dalam pelajaran Tauhid, bahwa memalingkan do'a dan isti'anah (memohon pertolongan) kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala adalah perbuatan syirik.
Kedua: tingkatan yang mustahab (anjuran), yaitu jika seseorang mampu untuk mengerjakan (sendiri) suatu pekerjaan, maka janganlah dia meminta (pertolongan) kepada siapapun, dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengambil perjanjian dari beberapa orang Sahabat agar mereka tidak meminta apapun kepada manusia, (sampai-sampai) perawi hadits ini berkata: "Maka salah seorang dari mereka ketika cemetinya terjatuh (dari hewan tunggangannya), dia tidak meminta orang lain untuk mengambilkan cemeti tersebut untuknya” [HR. Muslim: 1043], dan dalam hal ini kemampuan masing-masing orang untuk menunaikan tingkatan ini berbeda-beda (sesuai dengan tingkat keimanan mereka) [lihat Syarh al-Arba’in, Shalih Alu Syaikh: 107]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: "(artinya) Senantiasa seseorang itu meminta (kepada makhluk) sampai dia bertemu Allah subhanahu wa ta'ala (pada hari kiamat) dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada wajahnya" [Bukhari: 3/338-Fathul Bari dan Muslim: 1040].
Hal ini disebabkan karena meminta kepada makhluk mengharuskan seseorang untuk menunjukkan rasa butuh dan menghinakan (menundukkan) diri di hadapan makhluk, padahal semua ini tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah subhanahu wa ta'ala semata-mata.
Berkata Ibnu Taimiyyah: "Meminta kepada makhluk padanya ada tiga keburukan, keburukan (karena) menunjukkan rasa butuh kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala dan ini termasuk satu jenis kesyirikan, keburukan (karena) menyakiti orang yang kita meminta kepadanya dan ini termasuk satu jenis kezhaliman terhadap makhluk, dan (keburukan karena) menundukkan diri kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala dan ini termasuk satu jenis kezhaliman terhadap diri sendiri"
Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.
Sumber : Ust. Abdullah Taslim, MA
0komentar :
Posting Komentar