إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (QS. Ali Imran : 120)
Apakah kita termasuk seperti mereka?
Seketika dada ini berdegub kencang saat mengetahui salah seorang saudara kita memperoleh kesuksesan, dan kita merasa bahwa ia telah mengungguli kita. Kemudian kekhawatiran membuncah dari dalam hati bahwa saudara yang telah mendapatkan kesuksesannya itu akan bersikap sombong kepada kita sementara kita sendiri hanya bersungut-sungut tidak bisa mengunggulinya.
Jiwa ini tidak kuasa menanggung kesombongan dan kebanggaan saudara kita itu, sebab kita hanya bisa menerima kesejajaran dengan orang lain namun tidak bisa menerima jika orang lain mengungguli kita. Bahkan mungkin, kita bersumpah agar orang itu kehilangan nikmatnya hingga tetap sama dengan kita yang tidak mendapat nikmat. duh Saudaraku, tamak sekali kita ...
Saudaraku, jika demikian, sungguh kita tak bedanya dengan saudara-saudara nabi Yusuf kecuali Bunyamin yang merasa ayah mereka tidak lebih mencintai mereka. Sehingga mereka harus menyingkirkan Yusuf agar kemudian cinta dan perhatian ayah mereka tertumpah kepada mereka saja.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al Israa : 37)
Kita sering merasa lebih cantik, lebih tampan, lebih memiliki segalanya, sehingga yang tergambar dalam hati dari kebanggaan akan diri itu adalah bahwa harus selalu kita yang lebih dulu mendapatkan segala kenikmatan. Sakit dada ini, rasa benci mencuat terhadap orang lain yang mendahului.
Misalnya, ada saudara yang mendapatkan nikmat dari Allah berupa suami yang sholeh, tampan dengan segala kelebihan lainnya, kita merasa bahwa seharusnya kita lah yang lebih berhak mendapatkannya, bukan dia. Atau setidaknya kita berharap agar kita juga mendapatkan yang serupa agar saudara kita itu tidak mengungguli kita. Namun ketika Allah belum juga memberikan karena hendak menguji kesabaran hambanya, kita marah dan kesal. duh Saudaraku, tamaknya kita ...
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS.An Nissa:32)
Masihkan kita terus merasa gundah dan tersiksa jika saudara kita mendapatkan kenikmatan-Nya?
Di pertiga malam, mata ini begitu sembab dengan linangan air mata harap akan ampunan Allah. Dalam setiap do'a, tercukil keinginan agar Allah melimpahkan rezeki dan nikmat-Nya kepada kita.
Namun, ketika Allah menguji kesabaran kita dengan menunda rezeki itu, kita marah, putus asa, bahkan berpikir bahwa Allah tidak mendengar do'a dan permintaan kita. duh Saudaraku..bukankah Allah Maha menepati janji.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.Al Baqarah:186)
Saudaraku..kita rajin berdoa, rajin optimis, rajin ikhtiar tapi jangan lupa yang di persyaratkan Allah subhanahu wa ta'ala. Saudaraku..kita rajin berdoa, rajin optimis, rajin ikhtiar tapi siapkan juga jika terkabulnya Doa terpending atau tidak diterima.
Kita tahu bahwa hidup tidak mungkin tanpa cobaan, kita begitu mengerti bahwa sebagai orang beriman tentu harus diuji keberimanan ini. Bahkan kita juga memahami bahwa Allah tidak akan memberikan beban, ujian, amanah di luar batas kemampuan makhluk-Nya.
Namun betapa sering kita mengeluh, menangis, merasa keberatan dengan semua ujian hidup ini. Kita juga merasa putus asa karena Allah belum juga mengakhiri cobaan dan penderitaan hidup ini. Lalu kita merasa bahwa hanya kita yang mendapatkan ujian begitu berat. duh Saudaraku, ...
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS.Al Isra : 142)
Tahukah saudaraku, bahwa dengan begitu berarti kita telah membenci ketentuan (qadha') Allah, tidak suka kepada nikmat-Nya yang telah dibagikan di antara para hamba-Nya, dan tidak mau menerima keadilan-Nya yang ditegakkan-Nya dalam kerajaan-Nya dengan kebijaksanaan-Nya yang tersembunyi bagi kita, kemudian kita mengingkari dan menganggap buruk hal tersebut.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan ingatlah ketika Tuhan mu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (tidak mau bersyukur), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim :7)
Setiap orang yang beriman digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sebagai orang yang memiliki pesona, beliau bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)
Indahnya menjadi manusia Beriman....
MEMBERSIHKAN HATI DARI GHIBAH
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertiannya oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.”
Ghibah adalah haram berdasarkan ijma’. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini kecuali bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Sedangkan selain itu tetap dalam pengharaman yang sangat keras dan larangan yang sangat kuat.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap harta, kehormatan, dan darah seorang muslim adalah haram atas muslim lainnya. Cukup buruklah seseorang yang merendahkan saudaranya sesama muslim.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika aku diangkat ke langit, aku melewati suatu kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka.” Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, hai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itulah orang yang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka.’” Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Sa’id al-Khudri berkata, “Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, ceritakanlah kepada kami apa saja yang telah engkau lihat pada malam engkau diperjalankan Allah.’
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, ‘…Kemudian Jibril membawaku pergi menuju sekelompok makhluk Allah yang sangat banyak, terdiri atas laki-laki dan wanita. Ada sejumlah orang yang menunggui mereka dan bersandar pada lambung salah seorang di antara mereka. Kemudian orang itu memotong lambung mereka sekerat sebesar sandal, lalu meletakkannya di mulut salah seorang di antara mereka. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Makanlah sebagaimana dulu kamu telah memakannya.’ Dan dia tahu daging yang harus dimakannya itu berupa bangkai. Hai Muhammad, kalau dia mengetahuinya sebagai bangkai, tentu dia sendiri sangat membencinya.’ Sedangkan, dia dipaksa untuk memakan dagingnya itu.”
Astaghfirullah. Tiada tujuan dari pengutipan Tafsir Ibnu Katsir di atas melainkan sebagai bagian dari upaya saya untuk memperbaiki diri pribadi dan semangat untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
Ghibah (menggunjing) adalah membicarakan orang lain tentang kekurangan-kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan, maupun agama hingga pada pakaian, rumah, atau harta miliknya yang lain, yang apabila orang tersebut mendengarnya maka ia tidak senang (tidak ridho).
Dalam sekelompok orang yang sedang dalam perbincangan, kita sering menemui pembicaraan yang mengarah kepada kejelekan seseorang, entah yang memulai pembicaraan itu kita atau orang lain yang ada dalam sekelompok itu. Yang jelas apabila kita ikut larut dalam memperbincangkan kejelekan orang tersebut maka kita telah berbuat ghibah yang dalam Al-Qur’an dan hadits diterangkan perbuatan itu adalah terlarang (haram). Maka bagaimana sebaiknya kita menyikapi kasus yang demikian? Insya Allah berikut ini adalah poin-poin yang dapat menjauhkan kita dari ghibah:
1. Pertama mengidentifikasi apakah apa yang dibicarakan itu termasuk ghibah atau bukan. Caranya mudah, yaitu seandainya orang yang kita bicarakan kekurangannya itu mendengar apa yang kita bicarakan, jika dia merasa tidak senang maka kita telah berbuat ghibah.
2. Setelah mengetahui haramnya ghibah maka berusahalah semaksimal mungkin untuk menjauhinya yaitu dengan menyeleksi apa yang akan kita katakan, atau menelaah ulang apa yang telah kita katakan. Apabila kita ketahui apa yang akan kita katakan itu tergolong ghibah, maka tahanlah untuk mengatakannya. Atau apabila kita kemudian menyadari apa yang telah kita katakan itu adalah ghibah, maka sesegera mungkin bertobat (astaghfirullah) dan bertekad lagi untuk lebih hati-hati dalam berbicara.
3. Telaah, renungkan, dan yakinkan diri sendiri bahwa dengan membicarakan kejelekan orang lain maka tidak akan menambah derajat kita dan tidak akan menurunkan derajat orang yang kita bicarakan kejelekannya. Justru orang yang suka berbuat ghibah akan mudah untuk tidak dipercaya orang lain, dan hatinya pun tidak akan tenteram.
4. Sadarilah bahwa seseorang yang kita bicarakan kejelekannya itu adalah saudara kita sendiri, bukan musuh yang harus dihujat. Sekiranya seseorang tersebut melakukan perbuatan tercela atau yang kurang berakhlak maka sesungguhnya dia belum mengetahui tentang ilmu, maka kita seyogyanya ikut menunjukinya kepada jalan yang lurus bukannya malah meng-ghibahnya.
5. Jika kita diajak membicarakan kejelekan orang lain oleh seseorang maka berusahalah untuk menghentikannya secara bertahap dengan ma’ruf tanpa menyinggung perasaannya. Pertama ingatkanlah secara lisan bahwa kita dilarang berbuat ghibah. Jika belum berhenti, maka kita bisa menanggapi seperlunya kemudian berusaha mengalihkan kepada pembicaraan yang lebih baik. Jika sekiranya kedua upaya itu belum menghentikannya berbuat ghibah maka diamlah kemudian berdoa supaya kita dan orang tersebut sama-sama dijauhkan dari perbuatan ghibah.
Saya dan juga mungkin yang lain hampir pasti pernah atau sedang terhinggapi salah satu penyakit hati ini (ghibah), lalu bagaimana kita bisa membersihkan diri atas dosa yang telah diperbuat?
Jumhur (sebagian besar) ulama mengatakan, “Cara yang mesti ditempuh oleh orang yang bertobat karena menceritakan saudaranya ialah hendaknya dia menghentikan perbuatan itu dan bertekad tidak akan mengulanginya.” Dan apakah menjadi syarat pula menyesali perbuatan yang telah lalu itu dan meminta maaf kepada orang yang telah digunjingkannya itu? Maka di antara ulama ada yang berpendapat demikian. Adapun yang lainnya mengatakan, “Tidak menjadi syarat baginya meminta maaf kepada orang itu. Karena bila dia memberitahukan kepada orang itu tentang gunjingannya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada dia tidak mengetahui apa yang telah dipergunjingkan orang terhadap dirinya itu.
Sehingga akan lebih baik apabila umpatan diganti dengan pujian
.” Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu’adz bin Anas al-Juhani r.a. bahwa Nabi Muhamad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membela seorang mukmin dari seorang dari seorang munafiq yang menggunjingkan dirinya, maka Allah akan menurunkan kepadanya satu malaikat yang akan memelihara dagingnya di hari kiamat nanti dari jilatan api neraka. Dan barangsiapa yang melemparkan kepada seorang mukmin sesuatu yang dimaksudkan untuk mencelanya, maka Allah akan menahannya di jembatan Jahannam sehingga dia menarik kembali apa yang telah diucapkannya itu.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk selalu meluruskan niat, membersihkan hati dan memperbaiki diri hingga di penghujung usia, amin.
Wallahu a’lam bish-shawab
Apakah kita termasuk seperti mereka?
Seketika dada ini berdegub kencang saat mengetahui salah seorang saudara kita memperoleh kesuksesan, dan kita merasa bahwa ia telah mengungguli kita. Kemudian kekhawatiran membuncah dari dalam hati bahwa saudara yang telah mendapatkan kesuksesannya itu akan bersikap sombong kepada kita sementara kita sendiri hanya bersungut-sungut tidak bisa mengunggulinya.
Jiwa ini tidak kuasa menanggung kesombongan dan kebanggaan saudara kita itu, sebab kita hanya bisa menerima kesejajaran dengan orang lain namun tidak bisa menerima jika orang lain mengungguli kita. Bahkan mungkin, kita bersumpah agar orang itu kehilangan nikmatnya hingga tetap sama dengan kita yang tidak mendapat nikmat. duh Saudaraku, tamak sekali kita ...
Saudaraku, jika demikian, sungguh kita tak bedanya dengan saudara-saudara nabi Yusuf kecuali Bunyamin yang merasa ayah mereka tidak lebih mencintai mereka. Sehingga mereka harus menyingkirkan Yusuf agar kemudian cinta dan perhatian ayah mereka tertumpah kepada mereka saja.
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al Israa : 37)
Kita sering merasa lebih cantik, lebih tampan, lebih memiliki segalanya, sehingga yang tergambar dalam hati dari kebanggaan akan diri itu adalah bahwa harus selalu kita yang lebih dulu mendapatkan segala kenikmatan. Sakit dada ini, rasa benci mencuat terhadap orang lain yang mendahului.
Misalnya, ada saudara yang mendapatkan nikmat dari Allah berupa suami yang sholeh, tampan dengan segala kelebihan lainnya, kita merasa bahwa seharusnya kita lah yang lebih berhak mendapatkannya, bukan dia. Atau setidaknya kita berharap agar kita juga mendapatkan yang serupa agar saudara kita itu tidak mengungguli kita. Namun ketika Allah belum juga memberikan karena hendak menguji kesabaran hambanya, kita marah dan kesal. duh Saudaraku, tamaknya kita ...
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS.An Nissa:32)
Masihkan kita terus merasa gundah dan tersiksa jika saudara kita mendapatkan kenikmatan-Nya?
Di pertiga malam, mata ini begitu sembab dengan linangan air mata harap akan ampunan Allah. Dalam setiap do'a, tercukil keinginan agar Allah melimpahkan rezeki dan nikmat-Nya kepada kita.
Namun, ketika Allah menguji kesabaran kita dengan menunda rezeki itu, kita marah, putus asa, bahkan berpikir bahwa Allah tidak mendengar do'a dan permintaan kita. duh Saudaraku..bukankah Allah Maha menepati janji.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.Al Baqarah:186)
Saudaraku..kita rajin berdoa, rajin optimis, rajin ikhtiar tapi jangan lupa yang di persyaratkan Allah subhanahu wa ta'ala. Saudaraku..kita rajin berdoa, rajin optimis, rajin ikhtiar tapi siapkan juga jika terkabulnya Doa terpending atau tidak diterima.
Kita tahu bahwa hidup tidak mungkin tanpa cobaan, kita begitu mengerti bahwa sebagai orang beriman tentu harus diuji keberimanan ini. Bahkan kita juga memahami bahwa Allah tidak akan memberikan beban, ujian, amanah di luar batas kemampuan makhluk-Nya.
Namun betapa sering kita mengeluh, menangis, merasa keberatan dengan semua ujian hidup ini. Kita juga merasa putus asa karena Allah belum juga mengakhiri cobaan dan penderitaan hidup ini. Lalu kita merasa bahwa hanya kita yang mendapatkan ujian begitu berat. duh Saudaraku, ...
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS.Al Isra : 142)
Tahukah saudaraku, bahwa dengan begitu berarti kita telah membenci ketentuan (qadha') Allah, tidak suka kepada nikmat-Nya yang telah dibagikan di antara para hamba-Nya, dan tidak mau menerima keadilan-Nya yang ditegakkan-Nya dalam kerajaan-Nya dengan kebijaksanaan-Nya yang tersembunyi bagi kita, kemudian kita mengingkari dan menganggap buruk hal tersebut.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan ingatlah ketika Tuhan mu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (tidak mau bersyukur), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim :7)
Setiap orang yang beriman digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sebagai orang yang memiliki pesona, beliau bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)
Indahnya menjadi manusia Beriman....
MEMBERSIHKAN HATI DARI GHIBAH
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertiannya oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.”
Ghibah adalah haram berdasarkan ijma’. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini kecuali bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Sedangkan selain itu tetap dalam pengharaman yang sangat keras dan larangan yang sangat kuat.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap harta, kehormatan, dan darah seorang muslim adalah haram atas muslim lainnya. Cukup buruklah seseorang yang merendahkan saudaranya sesama muslim.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika aku diangkat ke langit, aku melewati suatu kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka.” Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, hai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itulah orang yang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka.’” Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Sa’id al-Khudri berkata, “Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, ceritakanlah kepada kami apa saja yang telah engkau lihat pada malam engkau diperjalankan Allah.’
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, ‘…Kemudian Jibril membawaku pergi menuju sekelompok makhluk Allah yang sangat banyak, terdiri atas laki-laki dan wanita. Ada sejumlah orang yang menunggui mereka dan bersandar pada lambung salah seorang di antara mereka. Kemudian orang itu memotong lambung mereka sekerat sebesar sandal, lalu meletakkannya di mulut salah seorang di antara mereka. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Makanlah sebagaimana dulu kamu telah memakannya.’ Dan dia tahu daging yang harus dimakannya itu berupa bangkai. Hai Muhammad, kalau dia mengetahuinya sebagai bangkai, tentu dia sendiri sangat membencinya.’ Sedangkan, dia dipaksa untuk memakan dagingnya itu.”
Astaghfirullah. Tiada tujuan dari pengutipan Tafsir Ibnu Katsir di atas melainkan sebagai bagian dari upaya saya untuk memperbaiki diri pribadi dan semangat untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
Ghibah (menggunjing) adalah membicarakan orang lain tentang kekurangan-kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan, maupun agama hingga pada pakaian, rumah, atau harta miliknya yang lain, yang apabila orang tersebut mendengarnya maka ia tidak senang (tidak ridho).
Dalam sekelompok orang yang sedang dalam perbincangan, kita sering menemui pembicaraan yang mengarah kepada kejelekan seseorang, entah yang memulai pembicaraan itu kita atau orang lain yang ada dalam sekelompok itu. Yang jelas apabila kita ikut larut dalam memperbincangkan kejelekan orang tersebut maka kita telah berbuat ghibah yang dalam Al-Qur’an dan hadits diterangkan perbuatan itu adalah terlarang (haram). Maka bagaimana sebaiknya kita menyikapi kasus yang demikian? Insya Allah berikut ini adalah poin-poin yang dapat menjauhkan kita dari ghibah:
1. Pertama mengidentifikasi apakah apa yang dibicarakan itu termasuk ghibah atau bukan. Caranya mudah, yaitu seandainya orang yang kita bicarakan kekurangannya itu mendengar apa yang kita bicarakan, jika dia merasa tidak senang maka kita telah berbuat ghibah.
2. Setelah mengetahui haramnya ghibah maka berusahalah semaksimal mungkin untuk menjauhinya yaitu dengan menyeleksi apa yang akan kita katakan, atau menelaah ulang apa yang telah kita katakan. Apabila kita ketahui apa yang akan kita katakan itu tergolong ghibah, maka tahanlah untuk mengatakannya. Atau apabila kita kemudian menyadari apa yang telah kita katakan itu adalah ghibah, maka sesegera mungkin bertobat (astaghfirullah) dan bertekad lagi untuk lebih hati-hati dalam berbicara.
3. Telaah, renungkan, dan yakinkan diri sendiri bahwa dengan membicarakan kejelekan orang lain maka tidak akan menambah derajat kita dan tidak akan menurunkan derajat orang yang kita bicarakan kejelekannya. Justru orang yang suka berbuat ghibah akan mudah untuk tidak dipercaya orang lain, dan hatinya pun tidak akan tenteram.
4. Sadarilah bahwa seseorang yang kita bicarakan kejelekannya itu adalah saudara kita sendiri, bukan musuh yang harus dihujat. Sekiranya seseorang tersebut melakukan perbuatan tercela atau yang kurang berakhlak maka sesungguhnya dia belum mengetahui tentang ilmu, maka kita seyogyanya ikut menunjukinya kepada jalan yang lurus bukannya malah meng-ghibahnya.
5. Jika kita diajak membicarakan kejelekan orang lain oleh seseorang maka berusahalah untuk menghentikannya secara bertahap dengan ma’ruf tanpa menyinggung perasaannya. Pertama ingatkanlah secara lisan bahwa kita dilarang berbuat ghibah. Jika belum berhenti, maka kita bisa menanggapi seperlunya kemudian berusaha mengalihkan kepada pembicaraan yang lebih baik. Jika sekiranya kedua upaya itu belum menghentikannya berbuat ghibah maka diamlah kemudian berdoa supaya kita dan orang tersebut sama-sama dijauhkan dari perbuatan ghibah.
Saya dan juga mungkin yang lain hampir pasti pernah atau sedang terhinggapi salah satu penyakit hati ini (ghibah), lalu bagaimana kita bisa membersihkan diri atas dosa yang telah diperbuat?
Jumhur (sebagian besar) ulama mengatakan, “Cara yang mesti ditempuh oleh orang yang bertobat karena menceritakan saudaranya ialah hendaknya dia menghentikan perbuatan itu dan bertekad tidak akan mengulanginya.” Dan apakah menjadi syarat pula menyesali perbuatan yang telah lalu itu dan meminta maaf kepada orang yang telah digunjingkannya itu? Maka di antara ulama ada yang berpendapat demikian. Adapun yang lainnya mengatakan, “Tidak menjadi syarat baginya meminta maaf kepada orang itu. Karena bila dia memberitahukan kepada orang itu tentang gunjingannya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada dia tidak mengetahui apa yang telah dipergunjingkan orang terhadap dirinya itu.
Sehingga akan lebih baik apabila umpatan diganti dengan pujian
.” Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu’adz bin Anas al-Juhani r.a. bahwa Nabi Muhamad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membela seorang mukmin dari seorang dari seorang munafiq yang menggunjingkan dirinya, maka Allah akan menurunkan kepadanya satu malaikat yang akan memelihara dagingnya di hari kiamat nanti dari jilatan api neraka. Dan barangsiapa yang melemparkan kepada seorang mukmin sesuatu yang dimaksudkan untuk mencelanya, maka Allah akan menahannya di jembatan Jahannam sehingga dia menarik kembali apa yang telah diucapkannya itu.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk selalu meluruskan niat, membersihkan hati dan memperbaiki diri hingga di penghujung usia, amin.
Wallahu a’lam bish-shawab
0komentar :
Posting Komentar