Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Bergembiralah, namun renungkan apa yang menggembirakan kalian itu. Demi Allah, bukan kefakiranmu yang aku khawatirkan, melainkan bila kemewahan dunia telah menimpamu, sebagaimana orang-orang sebelummu. Lalu, kamu berlomba-lomba dan binasa, seperti mereka.” (HR Muslim).
Beliau bersabda demikian ketika rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah tiba di Madinah dengan membawa banyak harta dari Bahrain. Maka, penuhlah masjid untuk shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
Usai shalat, Rasul bertanya, ”Saya menduga kalian mendengar Abu Ubaidah datang membawa sesuatu dari Bahrain.”
‘Benar, wahai Rasulullah,” jawab jamaah serempak. Kemudian beliau mengutarakan nasihatnya seperti di atas.
Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini terlalu beresiko untuk diabaikan karena beliau mengawalinya dengan sumpah. Sejarah dan realitas kontemporer memang membuktikan sabdanya. Persia dan Romawi hancur. Bahkan, meski menerapkan sebagian hukum Islam, Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah juga runtuh lantaran para pembesar menjauhi kehidupan sederhana seperti Rasul dan sahabatnya, hingga mudah ditelikung musuh.
Kemewahan hidup yang berjalan bila tanpa kendali dan terarah sesuai dengan petunjuk Sang Pemberinya maka pasti akibatnya adalah kehancuran. Qorun yang telah Allah tenggelamkan bersama harta kebanggaannya adalah satu contoh dalam Al-Qur’an. Allah mengancam orang-orang kaya yang gaya hidupnya melampui batas kewajaran, alias semakin kufur kepada Allah: ”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati-Nya), namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS 17: 16).
Mafhum mukhalafah (makna kebalikan) ayat ini adalah hanya negeri yang para pembesarnya berlaku zuhud dan sederhana, mengonsumsi sesuai kebutuhan, bukan kemauan (nafsu), menaati Allah, sekaligus memimpin rakyatnya ke arah kedamaian dan kesejahteraan sajalah yang akan diselamatkan oleh Allahsubhanahu wa ta'ala .
Kehancuran akibat perilaku mewah juga terjelaskan secara aqliyah (rasional). Pertama, berlaku mewah dikendalikan hawa nafsu. Gagal mengendalikan nafsu sendiri, berarti akan gagal mengendalikan nafsu anak buah dan rakyat. Kedua, berkuasanya nafsu akan melemahkan akal, sekaligus produktivitas manusia, mulai dari berpikir, bersikap hingga bertindak.
Takkan ada keinginan untuk memperbaiki kehidupan negerinya, karena dirinya sibuk berlaku konsumtif. Padahal, perubahan selalu dimulai dari akal, sehingga ketika titik tolak itu lemah, maka melemah pula kekuatan untuk memperbaiki diri dan negeri. Ini mirip dengan susahnya perbaikan orang yang akalnya rusak karena narkoba dan minuman keras.
Ketiga, terjadi persaingan tidak sehat, saling dengki, dan menjatuhkan karena iri yang lain lebih mampu bergaya mewah. Keempat, meluasnya korupsi, kolusi, dan pencurian harta negara dan rakyat.
Bagaimanapun, gaya hidup mewah tidak mengenal batas, sementara penghasilan resmi dan halal pasti ada batasnya. Karena itu, Jangan lagi budayakan faham matrrialisme karena itu berarti menyebarkan benih-benih kehancuran. Jangan lagi ada keinginan untuk memperkaya diri dengan cara haram seperti korupsi, perzinahan, penipuan dan lain-lain, itu berarti membangun kehancuran. Kasihanilah negeri kita ini jangan sampai Allah menghancur leburkannya karena kesewenang-wenangan orang-orang kaya.
Kasihan orang-orang kaya yang semakin jauh dari hidayah Allah subhanahu wa ta'ala karena masa depannya adalah kehancuran! Jangan sampai yang tidak berpunya juga menjauh dari petunjuk Allah subhanahu wa ta'ala. Jika demikian sempurnalah sudah kehancuran negeri ini. Na’uzubillaahi min dzalik.
Wallahu a'lam bishawab
Beliau bersabda demikian ketika rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah tiba di Madinah dengan membawa banyak harta dari Bahrain. Maka, penuhlah masjid untuk shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
Usai shalat, Rasul bertanya, ”Saya menduga kalian mendengar Abu Ubaidah datang membawa sesuatu dari Bahrain.”
‘Benar, wahai Rasulullah,” jawab jamaah serempak. Kemudian beliau mengutarakan nasihatnya seperti di atas.
Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini terlalu beresiko untuk diabaikan karena beliau mengawalinya dengan sumpah. Sejarah dan realitas kontemporer memang membuktikan sabdanya. Persia dan Romawi hancur. Bahkan, meski menerapkan sebagian hukum Islam, Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah juga runtuh lantaran para pembesar menjauhi kehidupan sederhana seperti Rasul dan sahabatnya, hingga mudah ditelikung musuh.
Kemewahan hidup yang berjalan bila tanpa kendali dan terarah sesuai dengan petunjuk Sang Pemberinya maka pasti akibatnya adalah kehancuran. Qorun yang telah Allah tenggelamkan bersama harta kebanggaannya adalah satu contoh dalam Al-Qur’an. Allah mengancam orang-orang kaya yang gaya hidupnya melampui batas kewajaran, alias semakin kufur kepada Allah: ”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati-Nya), namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS 17: 16).
Mafhum mukhalafah (makna kebalikan) ayat ini adalah hanya negeri yang para pembesarnya berlaku zuhud dan sederhana, mengonsumsi sesuai kebutuhan, bukan kemauan (nafsu), menaati Allah, sekaligus memimpin rakyatnya ke arah kedamaian dan kesejahteraan sajalah yang akan diselamatkan oleh Allahsubhanahu wa ta'ala .
Kehancuran akibat perilaku mewah juga terjelaskan secara aqliyah (rasional). Pertama, berlaku mewah dikendalikan hawa nafsu. Gagal mengendalikan nafsu sendiri, berarti akan gagal mengendalikan nafsu anak buah dan rakyat. Kedua, berkuasanya nafsu akan melemahkan akal, sekaligus produktivitas manusia, mulai dari berpikir, bersikap hingga bertindak.
Takkan ada keinginan untuk memperbaiki kehidupan negerinya, karena dirinya sibuk berlaku konsumtif. Padahal, perubahan selalu dimulai dari akal, sehingga ketika titik tolak itu lemah, maka melemah pula kekuatan untuk memperbaiki diri dan negeri. Ini mirip dengan susahnya perbaikan orang yang akalnya rusak karena narkoba dan minuman keras.
Ketiga, terjadi persaingan tidak sehat, saling dengki, dan menjatuhkan karena iri yang lain lebih mampu bergaya mewah. Keempat, meluasnya korupsi, kolusi, dan pencurian harta negara dan rakyat.
Bagaimanapun, gaya hidup mewah tidak mengenal batas, sementara penghasilan resmi dan halal pasti ada batasnya. Karena itu, Jangan lagi budayakan faham matrrialisme karena itu berarti menyebarkan benih-benih kehancuran. Jangan lagi ada keinginan untuk memperkaya diri dengan cara haram seperti korupsi, perzinahan, penipuan dan lain-lain, itu berarti membangun kehancuran. Kasihanilah negeri kita ini jangan sampai Allah menghancur leburkannya karena kesewenang-wenangan orang-orang kaya.
Kasihan orang-orang kaya yang semakin jauh dari hidayah Allah subhanahu wa ta'ala karena masa depannya adalah kehancuran! Jangan sampai yang tidak berpunya juga menjauh dari petunjuk Allah subhanahu wa ta'ala. Jika demikian sempurnalah sudah kehancuran negeri ini. Na’uzubillaahi min dzalik.
Wallahu a'lam bishawab
0komentar :
Posting Komentar