Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.
Malu adalah Iman
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)
Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR: Bukhari)
Malu, Kunci Segala Kebaikan
Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.
Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”
Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:
“Bila cahaya wajah berkurang,
maka berkurang pula rasa malunya
Tidak ada keindahan pada wajah,
Bila cahayanya berkurang
Rasa malumu peliharalah selalu,
Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,
Adalah rasa malunya.”
Bukannya Tidak Pede
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Alloh-lah yang paling berhak kita malui?
Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Alloh tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab: 53)”.
Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.
Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)
Harus Ditumbuhkan
Pengunjung Media Muslim INFO yang tercinta… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).
Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.
(Sumber Rujukan: Al-Qur’an, Fathul Bari, Hadits Bukhori dan Muslim dan berbagai sumber lainnya)
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)
Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR: Bukhari)
Malu, Kunci Segala Kebaikan
Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.
Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”
Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:
“Bila cahaya wajah berkurang,
maka berkurang pula rasa malunya
Tidak ada keindahan pada wajah,
Bila cahayanya berkurang
Rasa malumu peliharalah selalu,
Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,
Adalah rasa malunya.”
Bukannya Tidak Pede
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Alloh-lah yang paling berhak kita malui?
Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Alloh tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab: 53)”.
Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.
Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)
Harus Ditumbuhkan
Pengunjung Media Muslim INFO yang tercinta… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).
Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.
(Sumber Rujukan: Al-Qur’an, Fathul Bari, Hadits Bukhori dan Muslim dan berbagai sumber lainnya)
Benar sekali. Malu memang penting untuk kita jaga. Tapi bukan malu untuk berbuat baik. :)
BalasHapusLInk Anda juga sudah terpasang. Silahkan di cek. Terima kasih.
tidak usah malu dalam hal kebaikan dan harus malu ketika akan berbuat dosa...!
BalasHapusputra, benar sahabat bahwa malu disini adalah bagaimana menempatkan malu tersebut dengan benar, salam ukhuwah sahabat. o iya terimakasih semoga silaturahmi terus berjalan dengan baik.
BalasHapusPendi Ari Wibowo, benar sahabat, terimakasih telah menambah ilmunya, salam ukhuwah sahabat.